𝐃𝐚𝐲 𝟐

165 32 2
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

"Hei, Kamu."

Aku menghentikan gerakan kakiku, merasa terpanggil. Mataku melirik sinis ke arah si pemanggil.

"Kenapa?" tanyaku malas. Tiga orang teman sekelasku melihatku dengan tatapan meledek. Salah satunya tertawa, bersiap menunjukkan sesuatu di ponselnya, "Jangan jutek gitu dong. Aku ada sesuatu yang menarik, nih."

Lalu mereka berdua tertawa, membuatku menghela napas kasar, "Kali ini apa—"

Aku melebarkan kelopak mataku begitu melihat apa yang tampil di layar ponsel norak itu. Menegak ludah, aku berusaha menjaga kerasionalanku.

"Kemarin, kami dapat foto ini dari kenalan, lho. Mau? Siapa tahu kau mau melabrak Rui dan menunjukkan ini kepadanya." ejeknya, kembali menarik ponselnya.

"Hahhh... Dasar Rui. Jelas-jelas Si Putri Pengadu ini punya rasa dengannya, eh malah kesengsem sama Kusanagi-san dari kelas 1-B." Yang satunya lagi meneruskan sambil terkekeh merendahkan.

"Berisik." desisku, menatap tajam kedua orang di hadapanku. "Aku tidak tahu siapa kenalan kalian yang mengambil foto tersebut, tapi ini melanggar privasi. Aku—"

"Kenapa? Mau melaporkan ke guru? Kau pikir mereka akan menanggapi hal ini dengan serius?" potongnya cepat. Dia bangkit dari duduknya di meja, berdiri di sampingku.

"Kalau kau melaporkan hal ini nanti malah jadi boomerang untukmu sendiri, lho." bisiknya. Tangannya menggenggam bahuku erat, "Asal kau tahu, jika kau sungguhan melakukannya, aku benar-benar tidak akan membiarkanmu."

Aku menegak ludah. Gadis itu tersenyum sinis, melepaskan genggamannya dan melenggang pergi. Temannya ikut menyusul. Sementara aku masih terdiam di tempat, mengabaikan berisiknya kelas di jam istirahat.

Tenanglah. Itu tidak seperti yang kau pikirkan, batinku dalam hati. Aku mengepalkan tanganku yang bergetar hebat. Kumpulan obrolan orang-orang yang bising seakan hanya suara latar yang terdengar samar di telingaku.

"Benar... kan?"

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Tanganku lagi-lagi berhenti bergerak, termenung. Saat sadar dari lamunan, aku berdecak sebal, kembali lanjut merangkum materi yang belum sempat aku lakukan hari ini.

"Aku yakin harusnya itu tidak seperti yang aku pikirkan..." Aku bergumam keras, "Tapi kenapa? Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?"

Foto itu. Walau aku tidak memilikinya di ponselku, aku masih bisa menggambarkannya dengan baik di kepalaku.

Taman belakang sekolah yang sepi, berhiaskan dedaunan kering dan cahaya mentari senja yang biasa terlihat di jam pulang.

Rui, yang memberikan sebuah rangkulan hangat pada Nene. Tangannya terlihat seperti mengusap lembut rambut gadis tersebut. Ia menyandarkan kepalanya di atas puncak kepala Nene, begitu juga Nene yang bersandar di bahu tegap pemuda tersebut.

Dadaku sesak, terasa panas. Sebagai teman masa kecil Rui dan Nene, aku tahu betul dengan sifat mereka. Aku pun sadar dengan kemungkinan terburuk yang selalu membayangiku sejak dulu sekali.

Kemungkinan kalau kedua orang itu bisa saling menyukai satu sama lain.

"Sekalipun benar, harusnya aku merasa senang dan tidak terlalu memikirkannya kan..."

Benar. Aku harusnya senang karena mereka bisa lebih dekat terhadap satu sama lain kan?

Tapi kenapa?

Fantasiku buyar begitu suara ketukan aneh terdengar dari jendelaku. Aneh. Kamarku ada di lantai dua. Memangnya hantu bisa mengetuk kaca?

Aku bangkit dan berjalan ke arah jendela, melihat sebuah drone terbang di luar kamarku. Aku membuka jendela, merasakan hembusan pelan angin dari baling-baling drone tersebut.

Benda itu terlihat seperti drone yang waktu itu Rui tunjukkan padaku. Namun bedanya, yang ini membawa sebuah cokelat yang ditempel sticky notes warna kesukaanku.

Aku termenung sejenak. Mataku menangkap sosok Rui di jendela kamarnya. Tangannya yang bebas dari remote melambai ke arahku. Aku membalas lambaiannya. Ragu-ragu, tanganku tergerak mengambil cokelat tersebut. Setelah itu drone bergerak menjauh, kembali ke tempat ia berasal. Rui mengambil benda itu, lalu melempar senyum ke arahku. Aku ikut menarik sudut bibir dan pemuda itu pun melanjutkan aktivitasnya.

Memastikan orangnya hilang dari pandangan, aku menatap lamat cokelat dengan memo di atasnya tersebut.

Jangan terlalu memaksakan diri. Istirahatlah jika perlu.

- Rui

Begitu isi tulisannya. Aku terdiam. Mungkin ia melihatku belajar dengan raut serius di wajahku, padahal aku sama sekali tidak fokus dengan apa yang ada di hadapanku.

Dalam kepalaku, dua pemikiran yang berbeda masih terus memperdebatkan argumennya.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

daily.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang