𝐃𝐚𝐲 𝟓

158 33 0
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Aku bosan.

Sudah berhari-hari sejak kejadian tersebut. Orangtuaku melarangku untuk masuk sekolah dan berkata mereka akan mengurus semuanya. Tidak ada yang aku lakukan di rumah selain bermain dengan ponselku atau menyelesaikan buku bacaan, makan dan tidur. Benar-benar seperti pengangguran.

Aku memandangi jendela kamar Rui dari balik jendela ruanganku. Rui, sejak hari itu pula aku belum bertemu dengannya sama sekali. Hal terakhir yang aku ingat adalah setelah dia mengobati lukaku, aku sempat tertidur di rumahnya dan tahu-tahu saat terbangun aku sudah ada di kamar.

Hari sudah gelap dan matahari sudah di pucuk langit barat, biasanya lampu temaram miliknya akan menyala, menerangi ruangan tersebut.

Ah, sudah menyala. Terlihat bayangan tirai yang membatasi jendela kamar tersebut. Aku masih tenggelam dalam lamunanku sampai tirai tersebut bergeser dan menampakkan sosok Rui.

"Oya, (Name)?" Aku dan Rui sama-sama mengerjap.

Jarak antara jendela kamar kami sebenarnya tidak begitu jauh, aku dan Rui bisa saling bercakap tanpa khawatir ada tetangga yang mendengarkan.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya—basa basi.

"Yah, sudah lebih baik. Mungkin, besok aku akan berangkat sekolah." jawabku.

Pemuda itu membalas dengan "oh" ringan. Suasana langsung berubah menjadi canggung. Sebelum ia bersiap untuk kembali menutup tirainya, aku buru-buru memutar otak untuk mencari topik pembicaraan lainnya.

"Omong-omong, Rui. Kenapa kau tidak mengunjungiku sama sekali sejak waktu itu?" tanyaku.

Terdapat sebuah jeda di antara pembicaraan kami.

"Ada... sesuatu yang harus aku urus." jawabnya. "Maaf ya."

Aku terdiam. Kentara sekali soal "sesuatu" yang ia katakan.

"Apa yang sedang kau urus?" Aku berusaha mendesaknya untuk bercerita. Tanganku yang tersampir di bingkai jendela mengepal erat. Rui tidak menjawab, bahkan ekspresinya tidak berubah.

"Maaf." Lagi-lagi kata tersebut keluar dari lisannya. "Tapi, jangan khawatir. Semuanya akan segera beres kok."

Nadanya terdengar seperti ingin menenangkanku.

"Rui..."

"Waktu itu, kenapa kau ada di sana?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku langsung tersentak, menyadari apa yang baru saja aku ucapkan.

Namun, Rui sepertinya tidak keberatan dengan pertanyaan itu. Rui malah tersenyum simpul, bertopang dagu di bingkai jendela ruangannya. Matanya memandangku dengan serius, tapi di saat yang bersamaan tatapan tersebut terasa hangat.

"Aku mengintip kelas waktu itu." jawabnya, berterus terang. "Lalu karena aku penasaran jadi aku mengikutimu dan meminta tolong Tsukasa-kun serta yang lain untuk membantu jikalau ada masalah yang serius, dan ternyata aku benar."

"Itu saja?" Aku pikir dia setidaknya diam-diam menguping pembicaraan anak-anak perempuan sok hits itu, atau bahkan menguntit mereka.

Ia tertawa kecil, "Fufu, kau berpikir aku akan melakukan hal yang lebih dari itu?"

Aku mengangguk. Mungkin ini karena aku terbiasa berpikir ia akan melakukan hal yang lebih dari apa yang aku prediksikan.

"Kau mungkin benar, karena aku tidak biasanya melakukan sesuatu tanpa persiapan terlebih dahulu. Yah, aku memang membawa obat bius untuk jaga-jaga kalau memang firasatku benar."

"O-Obat bius..." Aku bergidik. Kali ini itu benar-benar jauh di luar bayanganku. Jadi itu alasan kenapa mereka langsung tak sadarkan diri di tempat.

Sebuah seringai muncul di wajahnya. Lagi-lagi ia tertawa, "Fufu, bukan yang berbahaya kok. Aku membuatnya sendiri dengan bahan-bahan yang aman setelah mencari caranya di internet."

Seram. Bahkan setelah mengenalnya setelah sekian lama, aku masih tidak bisa membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan di balik sikap dan perilakunya.

Lelah berpikir, aku menghela napas. Biarlah. Toh, besok aku akan masuk sekolah dan mengetahui apa yang sebenarnya ia lakukan. Setidaknya dia mau menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang ada di benakku setelah kejadian di hari itu.

"Oh, iya." Rui tampak teringat sesuatu. Raut wajahnya berubah semangat, "Besok, aku akan ada sedikit kejutan untukmu. Nantikan ya."

Kejutan?

"Apa maksudmu?"

"Kalau begitu, aku mau kembali mengurus robot-robotku." Pemuda itu mengakhiri pembicaraan alih-alih menjawabku, "Sampai ketemu besok, (Name)."

Lalu jendela dan tirai kamarnya kembali tertutup. Aku bahkan tak sempat membalas lambaian tangannya. Aku tercengang.

"Eh..."

Lampu-lampu jalan pun turut menyala, menggantikan cahaya dari mentari yang sudah tenggelam di langit sana.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

daily.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang