𝐄𝐩𝐢𝐥𝐨𝐠

242 33 2
                                    

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

"Apa yang membuatmu berpikir demikian?"

Suara dingin itu. Tenggorokanku tercekat mendengarnya.

Tapi aku sudah sampai disini, mengelak pun tidak ada untungnya.

Maka aku membalikkan tubuhku, menatapnya dengan yakin dan mulai menceritakannya dari awal. Bagaimana aku melihat kedekatan mereka berdua, soal foto itu, apa yang aku pikirkan. Aku mencoba menceritakannya sesingkat mungkin.

"Begitulah." pungkasku, membuang muka. Ah, betapa konyolnya kalau dia melihat ekspresiku sekarang ini.

Lagi, Rui tidak membalas perkataanku. Ia masih terdiam di sana. Tanganku mengepal, ingin rasanya aku melarikan diri.

Sebuah napas lega ia keluarkan. Pemuda itu berdiri dari duduknya, melangkah hingga kini berada persis di depanku. Perbedaan tinggi kami sangatlah konyol. Tinggi Rui mencapai 180 cm, membuatku harus mendongak untuk menatapnya jika kami berhadapan seperti ini.

Ctak! Tangannya terangkat, menyentil pelan keningku.

"Aduh!" Aku berseru. Tanganku langsung mengusap dahi yang terasa perih, menatapnya sebal, "Apaan sih?!"

"Fufu, dengan begini kita impas ya," Rui menunjuk jidatnya, tertawa kecil.

"Kami tidak berpacaran kok," tukasnya, "Serius."

Pemuda itu malah terkekeh, "Yah, penjelasanmu cukup jelas jadi aku paham apa yang kau pikirkan, tapi begitulah adanya. Aku dan Nene hanya sebatas teman satu sekolah, tetangga masa kecil, serta partner baik di troupe yang sama."

Aku tercenung. Dia menatapku hangat.

"Kalau apa yang aku lakukan membuatmu berpikir demikian, maaf ya." ucapnya lembut, "Aku ingin (Name) percaya, kalau aku tidak akan pernah mengkhianati perasaanmu."

Mengkhianati perasaanku... Itu pemilihan kata yang dalam. Sekali lagi, aku menanamkannya di dalam memoriku baik-baik.

"Lagipula, aku tidak tahu kau mendapatkan fotonya dari mana, tapi yang jelas itu pasti palsu." tukasnya, "Aku dan Nene tidak pernah seperti itu kok."

"Pembohong." Aku memanyunkan bibir. Rui tersenyum jahil, "Oya? Setelah semua yang aku jelaskan tadi, apa kau masih merasa cemburu, (Name)?"

"Aku gak cemburu." Aku memalingkan diri, berusaha agar tidak terlihat salah tingkah di depannya, "Jam istirahat sedikit lagi berakhir. Sudah ya, aku mau kembali ke kelas dulu."

"Ah, ngomong-ngomong sebelum itu," Rui memanggilku, "Aku sarankan kau melihat ke jendela nanti ya."

"Iya, iya~" jawabku asal, buru-buru keluar dari ruangan UKS.

— ୨ ★ ☆ ★ ୧ —

Aku menghela napas. Bahkan ketika tiba di kelas pun, wajahku masih terasa hangat. Aku menepuk pipiku. Apa-apaan sih? Kenapa dia mudah sekali membuatku tersipu seperti ini?

Ah, aku lupa aku membawa bekal hari ini. Baiklah, karena aku tidak ingin pingsan kelaparan di tengah pelajaran, aku memutuskan mengeluarkan kotak bekal dari tas dan bersiap memakan isinya.

Kelas sudah mulai ramai, pertanda istirahat hampir selesai. Gawat, aku harus makan sebelum bel berbunyi-

"Wahh, hei hei lihat itu!" Seorang murid menunjuk ke arah luar jendela. "Ada balon!"

Balon? Aku mengerling, siapa murid SMA yang iseng membawa balon dan melepaskannya di lapangan sekolah?

Mataku terbelalak begitu melihat apa yang sedang terjadi. Tidak, itu bukan hanya sekedar sebuah balon yang tidak sengaja terbang menuju angkasa.

Satu balon, dua, tiga... Puluhan balon warna-warni terbang memenuhi langit di sekitar gedung sekolah. Aku tercengang, teringat perkataan Rui saat di UKS untuk melihat ke jendela.

"Indahnya..." Murid di dekatku tertegun melihat kumpulan balon-balon yang membiaskan cahaya mentari menjadi warna-warni di ruangan. Seketika suasana pun menjadi riuh, banyak yang terkagum-kagum dengan pemandangan tersebut, bahkan sampai yang mengabadikannya. Aku pun bangkit dari dudukku, ikut mendekat ke pinggir jendela dan menyaksikannya.

"Ah, ini jangan-jangan ulah si Kamishiro lagi," celetuk seseorang. Yang lainnya tertawa, "Anak itu benar-benar gak berubah ya."

Benar saja, beberapa saat setelahnya kami bisa mendengar suara orang yang berseru memanggil dua marga langganan pelanggar di catatan Komite Kedisiplinan.

"Kamishiro! Tenma! Awas kalian ya!"

Aku melongokkan kepala, melihat Rui, dengan senyum lebar di wajahnya, dan si Terompet Berjalan yang mencoba lari dari kejaran guru.

"Jangan lari!"

Seisi kelas tergelak menonton adegan tersebut. Tanpa sadar, aku ikut memasang senyum, sampai akhirnya melepaskan tawa geli karena tingkah pemuda tersebut.

Mungkin, kehidupan biasa seperti ini memanglah yang terbaik.

— ୨ ★ END ★ ୧ —

daily.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang