Peringatan

101 24 19
                                    

Di atas pic. Mona Brown.. ^^

.

Suara tembakan menggema saat peluru-peluru itu terlontar. Setelah pembicaraan makan malam semalam, hubungan dengan orang tuaku menjadi sedikit dingin. Ya, aku yang menciptakannya. Rasanya masih kesal dan aku tak bisa menutupinya.

Lagi, aku mengisi senjataku dengan amunisi, lalu semua logam itu terlontar dalam beberapa tembakan di papan. Tinggal peluru terakhir, aku memusatkannya pada titik merah di papan. Peluru kali ini jauh lebih panjang dengan ujung simetris yang tajam, seharusnya bisa menembus papan pertama dan mengenai papan ke dua di belakangnya.

DOR!!!

Tembakan terakhir pun menggema, sebagai tanda bahwa latihan kali ini selesai. Kutarik napas panjang dengan resah. Pikiranku begitu kalut dengan rasa sesak di dada. Rinduku pada Clay mulai menjadi-jadi. Kini aku berandai-andai ia datang menemuiku dan membawaku pergi.

"Kau masih frustrasi dengan perjodohanmu?" tanya Rivha yang sedari tadi memperhatikanku.

"Aku masih tak menyangka orang tuaku akan mengambil keputusan sepihak mengenai masa depanku. Aku seperti tidak punya harapan."

"Dibanding itu, kenapa kau tidak mencobanya lebih dulu? Mungkin saja tuan Ilias adalah pria yang tepat untukmu dibanding tuan Clay."

"Mau bagaimana lagi, hatiku sudah dibawa kabur oleh pria itu. Jika aku tak mengejarnya, aku tidak bisa mencintai pria lain, kan?

Rivha mendengus. "Sejak kapan kau jadi puitis begitu? Kau yang biasanya blak-blakan berubah jadi melankolis terlihat sangat aneh. Aku tahu perasaanmu sedang bimbang, tapi tetap berpikirlah dengan jernih. Untuk apa otakmu diciptakan kalau hatimu selalu mengambil peran?"

"Ah, kau ini benar-benar gadis yang dingin. Setidaknya beri aku masehat yang hangat," gerutuku.

"Clara, kau itu beruntung." Ia mengangkat senjata bekasku latihan, lalu menembakkannya. "Kau sudah memiliki segalanya dan juga dijodohkan dengan pria paling keren di ibukota. Tak seharusnya kau mengeluh, kan?"

DOR!!!

Aku terkejut dengan suara tembakkan yang menggema. Bukankah pelurunya sudah habis? Aku tak melihat Rivha mengisi peluru. Apakah aku melewatkan sesuatu?

"Kenapa terkejut begitu?" tanyanya saat melihat tampangku.

"Kukira pelurunya sudah habis."

Ia terkekeh. "Ternyata pikiranmu lebih kacau dari yang kukira. Memangnya kau tidak ingat berapa peluru yang kau masukkan?"

"Aku mengisinya satu. Itu yang kutahu."

"Kau itu jika sedang kacau, pikunnya melebihi nenek-nenek," cibirnya. "Lucu sekali."

Aku manyun seketika. Sepertinya benar, aku lupa jumlah peluru yang kuisi. "Ah, kau sendiri bagaimana bisa tahu jika itu masih ada isinya?"

"Sebenarnya aku hanya asal menembak. Bahkan jika tidak ada pelurunya, aku akan tetap mengangkat senjata dan menembak tanpa peluru."

Aku mendengus. "Aku jadi berharap kau menembak saat pelurunya habis, ekspresimu pasti jauh lebih lucu."

"Kudengar kau akan pergi ke Utara? Bukankah seharusnya kau bersiap?"

"Ah, benar juga. Hari ini jadwalku pergi bersama tuan Daniel ke Utara."

"Berhati-hati lah saat ke Utara. Kudengar hutan di sana yang paling banyak Werewolf-nya."

Aku segera mengemasi papan-papan rusak bekas latihanku dan menggantinya dengan yang baru. "Kau sendiri, apa jadwalmu hari ini?"

"Membersihkan pajangan serigala betina di dekat aula."

SilverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang