12. mempertahankan

2.2K 318 18
                                    


[Name] tak menjawab, ia malah memalingkan wajahnya dan memainkan jarinya yang nampak bergetar gelisah.

"[Name], ini gak ada jaminan kalian berdua bakal selamat."

Pria itu menarik pergelangan tangan sang istri, ia menghadapkan wajah istrinya itu pada dirinya yang khawatir.

"[Name], jawab."

Dengan gemetar, [Name] melepaskan genggaman tangan Ice dari dirinya. Ia memeluk erat tubuhnya sendiri.

"A-aku takut, Ice. Aku takut kamu nyuruh aku buat gugurin dia!" hanya dengan keberanian yang tersisa, [Name] menjawab.

"Tapi kalo kamu mau tetap mempertahankan dia, itu malah bikin aku takut, [Name]!"

"Dia anakku dan anakmu, anak kita. Aku gak mau kalo disuruh gugurin entah itu disuruh kamu, Papa, Mama, Ayah, Bunda, aku gak mau."

[Name] mengelus pelan perutnya yang mulai membesar itu. Jujur, [Name] sendiri juga takut dengan hal yang akan terjadi selanjutnya. Ia seperti merasa, berada di ujung tanduk.

Mempertahankan atau melepaskan.

Awalnya, ia memang bahagia dengan kabar ini, apalagi ia adalah orang yang pertama kali tahu tentang ini. Namun, semua kebahagiaan itu tergantikan dengan rasa takut saat ia cek ke dokter untuk bulan ketiga.

Dokter bilang, kandungannya lemah. [Name] memang merasa ada yang aneh sejak memasuki bulan kedua, ia pikir itu normal untuk seorang yang hamil muda, tapi ternyata, itu karena kandungannya lemah.

Sebisa mungkin, ia menyembunyikannya dari Ice, sampai baru memasuki bulan kelima, Ice akhirnya menyadari semuanya.

Itupun karena ia tak sengaja mendengar percakapan antara istrinya Halilintar dengan istrinya Gempa. Saat kedua wanita itu menyebutkan nama [Name], Ice tertarik dan menguping.

Tapi, siapa sangka ia malah mendapat kabar buruk yang bahkan sama sekali tak ia inginkan?

"Kamu yakin? Aku takut, [Name]."

"Aku juga ragu, Ice! Tapi aku gak mau ngegugurin dia. Dia gak salah apa-apa."

Astaga, masalah akhirnya datang juga di rumah tangga mereka.

"[Name], resikonya tinggi."

"Aku gak peduli, Ice. Mau kamu ngomong apapun buat dia, aku gak bakal dengerin. Aku bakal tetep jaga, sampe dia lahir."

Ice menggigit bibir bawahnya, sulit untuk membujuk [Name] jika [Name] sudah seperti ini. Bahkan cara itu juga tak bisa menjadi jalan keluar saat ini.

"[Name], tolong ... aku takut. Kandunganmu gak kuat, badanmu kecil, akhir-akhir ini juga kamu pusing terus."

"Ice, aku gak mau."

"Aku juga gak mau, [Name]! Mau BaBer atau kamu, aku gak mau salah satu dari kalian pergi. Tapi mau gimana lagi,"

Pria itu membawa sang istri kedalam dekapannya, bibirnya terus-menerus memberikan kecupan lembut pada puncak kepala si istri.

"Ice, aku gak bakal nurut buat kali ini. Aku tetap mau jaga dia, kalo nanti makin parah, aku tetap bakal tahan. Aku gak mau gagal jadi ibu, seenggaknya, walau nanti harus aku yang berkorban, aku lega karena berhasil bertahan dan ngelahirin dia."

Tangannya ikut melingkar di tubuh si suami, ia merasa nyaman dan aman saat suaminya ini memeluknya, padahal dia tahu kalau sekarang dia berada di ujung tanduk.

"Kamu lega, tapi aku yang stress, [Name]."

Ah benar juga. [Name] mungkin memang mencoba ikhlas dan lega ketika ia yang berkorban, tapi, ia tak memikirkan bagaimana Ice tanpa dirinya nanti. Apa bisa dia merawat BaBer? Menjadi seorang ayah yang baik untuknya, memiliki banyak waktu luang dan sebagai hal lainnya.

"[Name], pikirin juga aku."

Tolong, siapapun, bantu Ice untuk mencari jalan keluar dari masalah ini.

"Kamu lebih sayang aku atau bayi ini?"

"... aku sayang kalian berdua, Ice."

Ice menghela napas kasar, ia melepaskan pelukan mereka, mengacak rambutnya frutrasi.

"[Name], ini berhubungan sama nyawa, loh."

"Jadi maksudmu nyawaku lebih penting gitu daripada nyawa BaBer?"

"Enggak, bukan gitu maksudku, [Name]. Tapi—Arrgh! Udah, deh. Terserah kamu."

"Kalo terserah aku, aku pilih buat bertahan,"

Ice benar-benar tak mengerti, pada akhirnya [Name] tetap teguh pada keputusannya. Tak ada niat ingin ganti keputusan atau bagaimana. Itu terlihat dari matanya yang menunjukkan sebuah kebenaran dan rasa percaya diri.

Pria itu menggelengkan kepalanya pelan, firasatnya buruk tentang hal ini.

"[Name]—"

"—daripada bahas itu, kenapa kita gak pura-pura gak tau tentang ini aja? Mending kita bahas tentang gender, baju bayi, kan? Kamu mau bayi perempuan atau laki-laki?"

Mencoba mengalihkan topik, [Name] menatap Ice dengan wajahnya yang seperti biasa lagi. Seolah tak ada yang terjadi.

"... apapun gak masalah. Aku cuma mau kalian berdua pulang kesini lagi, bukan cuma salah satu dari kalian yang pulang kesini."

__________

apa ya, apa ya, apa ya.

gitu deh, ya, antara BaBer atau [Name], Ice pasti milih [Name] kalo kondisinya begini, tapi, Ice kayak labil juga gitu, dia gamau [Name] ngegugurin dan dia tau itu dosa, cuma dia juga takut [Name] ninggalin dia duluan 😔

maaf, muka Ice muka-nya orang sadboy banget bagiku



blue sea; b. ice [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang