PROLOG

1.1K 115 7
                                    

Langit Semarang muram. Hujan turun sejak semalam. Kadang deras, kadang hanya rintik. Perasaan Laras tak nyaman sejak Subuh tadi, tapi ia tak tahu mengapa. Mungkin hanya sebal saja karena Didi, kembarannya, lagi-lagi pergi naik gunung ketika semua keluarga seharusnya berkumpul.

Beberapa tahun belakangan ini keluarga mereka jarang berkumpul secara lengkap. Terutama sejak Agung Sugiarto, ayah mereka ditugaskan di Jakarta. Awalnya hanya Agung yang ke Jakarta. Setiap Jumat malam pulang dan Minggu malam kembali ke tempatnya bertugas.

Lama kelamaan Arini, istrinya, tidak tega. Arini bersama Laras yang sekolahnya memakai sistem homeschooling  ikut pindah ke Jakarta. Srikandi, saudara kembar Laras --biasa dipanggil Didi--, tinggal bersama kakek mereka di Semarang karena sudah telanjur nyaman dengan SMA-nya yang baru dijalani beberapa bulan.  Waktu itu Wibisono Putra Sugiarto, kakak tertua mereka, sudah kuliah di Yogyakarta. Setelah lulus dan bekerja, dia tinggal di Jakarta tetapi memilih hidup terpisah di apartemen yang dibelinya sebagai investasi.  Jadi, mereka sekeluarga jarang berkumpul secara lengkap.

Selain lebaran, akhir tahun menjadi agenda wajib untuk berkumpul bersama karena berbarengan dengan libur yang cukup panjang. Paling tidak, seminggu lamanya mereka bisa berada dalam formasi lengkap. Sayangnya tahun ini Didi memilih untuk menutup tahun dengan mendaki Gunung Merbabu. Gunung setinggi 3145 m di atas permukaan laut ini terletak di sebelah selatan Kabupaten Semarang. Sebenarnya tidak terlalu jauh, tetapi hujan yang turun tiada henti membuat Laras mengkhawatirkan kondisi Didi.

Rupanya Arini, maminya, juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi mondar mandir saja di ruang tamu sambil menengok arah jalan masuk.

"Kenapa, Mi? Mondar-mandir terus dari tadi ...," celetuk Laras memecah keheningan.

Arini kaget." Oh, itu ...."

"Bilang aja nguwatirin Didi. Jam segini harusnya sudah pulang kan, Mi?" tanya Laras.

Arini menengok jarum jam pada jam besar yang berdiri di sudut ruangan.

"Sudah sore. Harusnya dia kasih kabar kalau pulang terlambat," kata Arini.

"Di gunung mana ada sinyal Mi. Lagian, hujan hujan begini kok Mami nggak ngelarang Didi muncak, sih," tegur Laras.

"Lah, kamu tahu sendiri, kan, kalau Didi selalu membantah kalau Mami bilangin. Percuma juga dilarang," kata Mami bersungut-sungut.

"Iya juga sih, Mi. Kebiasaan Didi dari kecil tuh. Karena terlalu sering diturutin sama Mami, jadi keras kepala kayak gitu. Mami juga sering belain Didi kalau Ayah melarangnya, kan?"

Arini tak menjawab. Kedua gadis kembarnya memiliki karakter yang berbeda, jadi dia memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda pula. Larasati, karakternya lembut. Anak mami banget. Semuanya tergantung kepadanya. Sejak kecil sering sakit-sakitan sehingga Arini lebih banyak mengurus Laras dan sedikit mengabaikan Didi.

Adapun Srikandi, tubuhnya sehat. Selalu blak-blakan dalam mengutarakan pendapat. Mandiri dan tak pernah bergantung kepada orang lain. Jadi, Arini lebih memilih membiarkannya dan memantaunya dari jauh. Sejak kecil Didi lebih dekat dengan nenek dan kakeknya sehingga Arini merasa tidak memiliki kuasa atas diri Didi.

Oleh karena itu, apa pun yang Didi mau, Arini berusaha mendukungnya asal itu bisa membuat anaknya senang. Sayangnya, kesenangannya termasuk hal yang sedikit berbahaya, misalnya mengikuti olahraga bela diri, mendaki gunung, bahkan off-road menggunakan Willys kuno milik kakek. Ia hanya bisa menunjukkan kasih sayangnya secara diam-diam dengan mengizinkannya melakukan apa saja. Yang penting Didi bahagia, begitu menurut Arini.

Arini tahu itu salah, tapi Didi sudah telanjur jauh darinya. Dan kemarin, ia tak sanggup mengatakan "tidak" ketika Didi meminta izin untuk mendaki gunung. Toh anak itu sudah beberapa kali naik gunung dan selama ini aman-aman saja. Lagi pula ada Kemal yang akan menjaganya. Arini yakin Kemal tak akan menelantarkan Didi.

"Ada orang membuka pagar, Mi," seru Laras tiba-tiba.

Arini terkesiap dari lamunannya. Dilihatnya sesosok pemuda memakai jas hujan tengah berjalan melintasi halaman rumah mereka. Laras, tak kalah cepat darinya, melesat menuju serambi rumah.

Dan, oh, pemuda itu, yang Arini kenal sebagai Kemal, tengah menggendong sesosok tubuh di punggungnya.

"Didi kenapa?" seru Laras.

"Dia tadi terpeleset ke jurang," jawab Kemal, "kakinya terkilir."

"Kamu siapa?"

"Temannya. Boleh kubawa masuk?"

"Oh, tentu saja," jawab Laras. Tapi gadis itu bergeming. Matanya menatap pemuda itu dengan penuh kekaguman. Dan Arini, yang masih syok karena Didi pulang dalam keadaan cedera kini melihat bagaimana Laras kemudian mengikuti Kemal ke mana pun bagaikan bayangan. Laras-nya, kini tak lagi sama dengan Laras yang lima menit lalu berbicara dengannya. Karena Arini tahu, di mata Laras, Kemal adalah ksatria berbaju zirah yang menyelamatkan saudara kembarnya. Ksatria yang selama ini dia bayangkan hanya ada dalam dongeng, kini maujud dalam bentuk sahabat Didi, saudara kembarnya. 

LARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang