3. Siapa Raja?

482 81 2
                                    

"Kamu dari rumah?" tanya Laras ketika melihat Didi menjemputnya menggunakan mobil Agung, ayah mereka.

"Iya. Tadi ditelepon Ayah waktu di rumah sakit."

"Gimana hasilnya?"

"Baik, kok. Cuma tensinya agak tinggi," jawab Didi santai sambil mulai mengemudi. "Kapan-kapan kamu mesti belajar nyetir. Biar Ayah nggak bingung kalau nggak ada yang jemput."

Tentang belajar nyetir itu, sejak dulu Didi selalu mengingatkan. Namun, Laras merasa belum perlu. Tepatnya belum berani. Lalu lintas di Jakarta padat. Belum lagi kalau di jalan kadang ada yang suka emosian. Mentalnya tak cukup kuat untuk menghadapi cacian dari para pengguna jalan jika ia sedikit lengah. Kalau berada dalam tekanan, dia seringkali sesak napas hingga tremor. Terkadang bahkan sampai kejang-kejang.  Dokter bilang, liran listrik di otaknya tidak stabil jika mendapatkan tekanan yang begitu tinggi. Oleh karena itu, sebisa mungkin dia menghindarkan diri dari tekanan yang bisa membuat penyakitnya kambuh. Toh, selama ini ia juga tidak mengalami kesulitan mobilitas.

"Jadi Ayah yang nyuruh kamu?" tanya Laras.

"Mami sih sebenarnya," jawab Didi. "By the way, kok kamu bisa ikutan pesta sih. Tumben-tumbenan. Mumpung nggak ada Mami, ya."

"Mmm ... nggak sepenuhnya karena itu sih. Tapi sedikit banyak iya," jawab Laras.

"Kok tahu aku di situ?"

"Tahu dong," jawab Didi kalem. "Hari gini, gampang saja untuk tahu posisi seseorang. Itu namanya the power of menjadi follower," lanjutnya.

Beda Laras, beda Didi. Kalau Laras memiliki jutaan follower, maka Didi menjadi follower jutaan orang. Tidak sampai jutaan, sih, tapi banyak. Mungkin ratusan. Utamanya orang-orang dari dunia hiburan dan desain grafis, bidang yang kini ditekuninya. Jika Laras wajib meng-update aktivitasnya untuk para follower-nya, maka Didi cukup melihat update Laras dan teman-temannya untuk mengetahui aktivitas mereka. Yah, sesimpel itulah dunia sekarang. Untuk mengetahui di mana Laras berada, Didi cukup melihat story Siska saja ketika mereka tadi masuk ke restoran. Dan mengingat restoran ini memiliki izin untuk menjual minuman keras, maka Didi segera menjemput Laras sebelum semua menjadi tidak terkendali.

"Jadi, gimana Raja Danadyaksa di lokasi syuting? Se-humble yang dikatakan orang-orang, nggak?" tanya Didi.

Laras memutar bola matanya. Humble dia bilang? Sombong iya.

"Alah, pencitraan media itu. Aslinya sih sombong bin angkuh. Songong kuadrat."

"Yang bener?"

"He em, masak tadi aku mau nggak ikut terus dia bilang ke Aruna, yang nggak ikut berarti nggak kompak," jawab Laras sambil manyun.

Didi tertawa. "Iya, iya, tapi mulutnya jangan mencong mencong gitu dong."

"Heran aku, bisa-bisanya jadi aktor utamanya dia. Mana jadi produser pula. Apa nggak nepotisme tuh."

"Ya nggak, lah. Kan dia jadi aktor juga karena mampu. Nggak bisa dipungkiri, dia salah satu aktor terbaik di Indonesia. Rising star yang digadang gadang sebagai the next Nicsap, kan?"

"Iya, sih," aku Laras. "Tapi mengapa dia mesti jadi produser juga sih?"

"Ya karena dia punya uang," jawab Didi sambil tertawa. "Orang kaya mah bebas ...."

"Kok bisa sih, dia setajir itu?"

Didi menoleh kepada Laras sejenak. "Kamu nggak tahu? Selama syuting dengan dia kamu nggak ingin tahu gosip apa pun tentang Raja?"

"Ogah. Si Runa tuh sering nggibahin Raja, tapi kupikir nggak sesederhana itu. Makanya aku males. Lebih baik jauh-jauh, deh."

"Raja itu kayaknya dari golongan old money deh," kata Didi. "Kupikir wajahnya mirip-mirip dengan klan Artejo," kata Didi.

LARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang