1. Casting

584 75 6
                                    

"Ini apa, Mi?" tanya Laras ketika maminya menyodorkan bendelan kertas berjilid ke depannya.

"Itu tawaran untuk mengikuti casting film. Mami pikir kamu cocok untuk peran sebagai Emilie."

"Siapa penulisnya? Bukannya kemarin kita sudah sepakat untuk mengikuti casting yang film-nya Teh Nia, Mi?"

Teh Nia itu sutradara muda yang baru-baru ini memperoleh penghargaan sebagai sutradara terbaik. Meskipun perempuan, tapi kemampuannya tak kalah hebat dari sutradara laki-laki. Film-film-nya adalah jaminan mutu. Oleh karena itu, ketika Mami memilih film lain, Laras keberatan.

"Film ini tak kalah bagusnya," jawab Mami. "Sudah, kamu ngikut saja apa kata Mami."

"Nggak bisa gitu, Mi. Teh Nia sendiri yang kemarin nawarin Laras untuk gabung. Jadi, paling tidak, Laras bisa dapat peran di dalamnya. Mengapa sekarang kita memilih film yang ini?" sanggah Laras.

"Mami punya firasat film ini akan laku keras. Ini akan sangat memengaruhi kariermu."

"Tapi film buatan Teh Nia juga selalu laris. Apa bedanya? Lagian juga nggak mesti dapat, kan, perannya?"

"Pasti dapat. Karakter tokoh utamanya mirip dengan kamu. Kamu belum baca, kan? Ini novel yang nulis penulis kesukaannya Didi, siap tuh namanya? Ah, ya, Prahara," kata Mami.

"Ih, Prahara kan nulisnya novel thriller-thriller gitu. Nggak, ah, pasti ada adegan baku hantamnya nanti."

"Ih, ini beda. Dengar-dengar sih, ini satu-satunya karya dia yang bergenre roman. Begitu dia booming dengan novelnya, ada produser yang tertarik memfilmkan novelnya yang ini," sahut Mami panjang lebar.

"Semenarik apa sih?"

"Kamu baca sendiri. Nggak kalah dengan film-nya Nia. Menurut Mami, di film ini kamu layak menjadi pemeran utama. Kalau di film-nya Nia kan belum tentu. Yang ikut casting pasti banyak yang lebih populer ketimbang kamu."

"Kok Mami bisa yakin kalau aku yang kepilih jadi peran utamanya?" tanya Laras.

"Mami pernah baca novelnya. Ciri-ciri fisik tokoh utamanya mirip kamu."

"Mirip gimana?" tanya Laras memastikan.

"Tinggi, langsing, wajah mirip orang Prancis. Matanya saja yang beda. Di novel tokohnya bermata biru."

"Mirip Didi, dong," celetuk Laras. Yah, meskipun kedua gadis itu adalah kembar fraternal yang hanya memiliki sedikit kemiripan, tetap saja ada garis wajah yang menunjukkan bahwa mereka adalah saudara.

"Didi nggak akan maulah. Secara, dia lebih suka berada di belakang kamera. Lagi pula dia wajahnya lebih cenderung ke Jawa," jawab Mami.

"Kok Mami ngebet banget pengin aku ikut film ini, sih?"

"Nama penulisnya jadi jaminan kalau film ini akan laris," jawab Mami. "Ini adalah batu loncatan yang bagus untuk kamu supaya tidak jadi figuran di sinetron-sinetron yang menganggap bodoh penonton itu."

"Tapi setidaknya kan aku sudah bisa investasi beli apartemen dari hasil main sinetron itu, Mi," kata Laras menyesalkan Mami yang seolah meremehkan pekerjaannya selama ini.

"Iya, Mami tahu. Tapi main sinetron stripping nggak bagus buat kamu. Nyatanya, kuliahmu berantakan, kan? Masih ngisi KRS sampai sekarang. Padahal Didi sudah lulus setahun lalu."

"Iya, iya, jangan bandingin aku sama Didi, dong. Sampai kapan pun aku nggak akan bisa nyamain dia. Kecuali untuk satu hal, sih ...."

"Apa?"

"Ya, sampai sekarang aku punya pacar dan Didi jomlo abadi," kata Laras sambil terkikik.

Arini melengos. Laras memang sering tidak peka kalau soal perasaan. Dia tidak tahu bahwa sejak awal yang disukai Kemal adalah Didi. Sejak Kemal datang menggendong Didi pada sore yang hujan, Laras seolah menutup mata bahwa Didi juga menyukai Kemal. Laras terus saja mengikuti Kemal bagai bayangan.

LARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang