04

464 104 0
                                    

Jinho duduk di meja kerjanya, mengurusi tumpukan kertas yang menyita waktu tidurnya. Dia sengaja tidak terlelap malam ini karena harus membereskan berkas-berkas yang menumpuk. Ia paling nggak suka menunda, makanya dirinya sering menggunakan jam istirahatnya untuk kerja.

Apalagi sekarang di rumahnya ada dua makhluk tak diundang. Yang satu menghuni kamar tamu, yang lainnya terlelap di kamarnya. Dia sebenarnya bisa saja tidur bareng Jihoon, tapi ia malas mendengar dengkuran temannya yang membuat tikus takut.

Kalau tidur bareng Taehoon, sepertinya bukan ide bagus. Alpha dan omega tidak boleh berada dalam satu ruangan yang sama. Takutnya terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Maka dari itu Jinho menggunakan jam tidurnya untuk hal yang lebih bermanfaat.

Jinho memang ke Busan untuk liburan dan sengaja membeli rumah ini supaya bisa tinggal sementara. Harapannya adalah menikmati hari-hari yang tenang tanpa beban. Namun ia malah mengurusi anak ilang, ditambah bertemu dengan teman kantornya yang nggak modal.

Sebenarnya Jihoon punya rumah sendiri karena Busan adalah kampung halamannya. Namun berhubung dia nggak modal, akhirnya memilih numpang hidup di rumah Jinho. Katanya sekalian jagain Taehoon, tapi pria itu berkali-kali menggoda anak kecil yang nggak tahu apa-apa.

Jinho jadi ngerti rasanya inang yang ditempeli benalu. Tiba-tiba telinganya menangkap suara gemuruh dari luar. Dia yakin sebentar lagi akan turun hujan lebat, mengingat perkiraan cuaca yang ditayangkan di televisi.

"Semoga tidak mati listrik.." ucapnya penuh harapan sembari menanda tangani selembar berkas. Sebenarnya dia tidak mau membawa semua pekerjaannya ke Busan karena memiliki niat liburan. Namun ia tak yakin jika harus menyerahkan tugas ini ke sekretarisnya.

Jinho belum percaya sama sekretaris yang bernampilan menor dan sering menggodanya. Dia memiliki firasat jika perempuan itu bekerja untuk orang lain. Makanya ia selalu berhati-hati bila ingin menyerahkan kewajibannya.

Tak lama kemudian hujan turun dengan lebat disertai petir yang menyambar-nyambar angkasa. Kilatan cahaya yang muncul setelah gemuruh membuat Jinho terperanjat dan berdecak. Dia tak sengaja menyoret sisi putih berkas ketika hendak menandatangani.

Tok. Tok. Tok

Jinho mengernyitkan dahi, memandang pintu coklat yang terketuk dari luar. Lalu mengorek-ngorek telinganya untuk memastikan apakah ia salah dengar atau tidak.

Suara ketukan pintu pun kembali terdengar. Menandakan bahwa dirinya tak salah dengar. Setelah itu ia beranjak dari kursinya, berjalan menuju pintu yang terus terketuk pelan.

Jinho membuka pintu tersebut, menampilkan sosok bocah berambut coklat yang memeluk gulingnya sembari menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dia pun berjongkok di depan Taehoon, mengusap air mata yang mengalir dari sudut matanya. Lantas ia bertanya, "Kenapa menangis?"

Taehoon menggeleng pelan sembari mempererat pelukannya pada guling. Dia terbangun dalam mimpi indahnya ketika petir menjerit, membuat jantungnya tersentak seketika. Ia sangat takut dengan hujan.

Entah karena apa, tapi dia sangat takut. Ia seperti telah mengalami peristiwa yang sempat dikubur dalam memorinya. Samar-samar Taehoon mengingat potongan-potongan kejadian yang membuat kepalanya berdenyut lara.

Hatinya terasa diremas saat mengingatnya, kepalanya seakan mau pecah berkeping-keping. Ia pun terisak dalam lamunannya, membuat Lee Jinho spontan menariknya dalam dekapan hangatnya.

Pria muda itu memeluk Taehoon yang terisak, menepuk-nepuk punggungnya pelan seakan menenangkan anak kecil tersebut. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan anak laki-laki di depannya, yang pasti itu bukan hal baik.

"Berhenti menangis.." ucapnya seraya mengelus rambut karamel si bocah.

"Saya ada di sini.." lanjutnya.

Bocah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang