10

585 83 9
                                    

Bugh.

Jinho memukul roda kemudinya saat melihat jalan raya yang begitu padat. Mobil-mobil di depannya seolah mengantri tiket lotre yang berharga. Ia ingin menyalip, tapi keadaannya sangat tidak menguntungkan.

Mobil hitam kesayangannya terhimpit di antara kendaraan-kendaraan lainnya. Dia tidak mungkin berteriak kesetanan dan memaki para pengendara hanya karena rasa khawatirnya yang memuncak. Itu akan membuatnya malu seumur hidup, tetapi Taehoon dalam bahaya.

Jinho pun mengolah pikiran dalam otaknya. Lalu muncullah sebuah ide yang mungkin kedengeran konyol bila didengar. Sebenarnya tidak terlalu konyol, hanya saja mirip seperti adegan di sinetron. Setelah itu dia menelepon Lee Jihoon, memberi beberapa petuah supaya rekannya mau ke sini untuk membawa mobilnya pulang.

Awalnya Lee Jihoon menolak, tetapi berkat bujuk rayu Jinho yang akan menaikkan gajinya pun berhasil membuat hatinya luluh. Dia mau melakukan apapun asal menghasilkan duit. Karena ia tak ingin berbuat sesuatu yang sia-sia.

Jinho menutup sambungan telepon lalu memasukkan handphone-nya di saku mantelnya. Ia pun keluar dari kendaraannya dan menguncinya. Dia tidak mau barang berharga di dalamnya dicuri meskipun risikonya tinggi.

Setelah itu Jinho berlari kencang, menembus padatnya jalanan. Dia harus segera menuju lokasi yang tertera di data milik Kim. Itu tak jauh dari sini, makanya ia memilih untuk memanfaatkan tenaganya dibanding membuang waktu berharganya.

Kedua kakinya terus berpacu layaknya kuda. Tak menghiraukan protesan para pejalan kaki yang ditabraknya. Dia tidak peduli bila mereka melapor atau memaki karena sekarang Taehoon lebih penting. Ia harus menyelamatkan bocah malang tersebut dari nasib mengenaskan.

Sesampainya di pertigaan gang sebuah desa. Dia berhenti kemudian merogoh saku mantelnya dan mengambil handphone-nya. Jinho membuka aplikasi GPS untuk mengetahui lokasinya saat ini.

"Tinggal sedikit lagi," gumamnya lirih sembari melihat layar yang menampilkan kedua titik berjarak dekat. Setelah itu Jinho kembali berlari, menyusuri gang sempit yang akan mengantarkannya ke sebuah desa.

Dia hanya perlu menghafalkan lekuk jalanan gang yang mirip sebuah labirin. Setelah keluar dari tempat tersebut, Jinho dihadapkan oleh keadaan sekitar yang merusak pandangannya. Ia sedikit terheran, mengapa ada manusia yang mau tinggal di daerah seperti ini?

Sepanjang jalan dia selalu menemui sampah dan sampah. Rumah di sekitarnya juga terlihat kumuh seperti tak pernah dirawat oleh sang pemilik. Jinho yakin, para penghuni di sini pasti nggak betah tinggal di desa ini.

Namun ekonomi yang meprihatinkan membuat mereka harus tinggal di tempat ini. Jinho sempat merasa kasihan, tetapi rasa itu dikubur dalam hati saat matanya tak sengaja bersitatap dengan seorang ibu-ibu yang mencibir.

"Dasar sok kaya.."

Hei, Jinho memang kaya! Dia adalah orang terkaya di Seoul. Kalau ia nggak kaya, buat apa bangun perusahaan besar yang namanya tersohor di muka bumi?

"Ck, hanya orang iri," gumamnya seraya terus berlari. Jinho tak ada waktu untuk meladeni penghuni desa ini karena prioritasnya adalah Taehoon.

Brugh.

Jinho tak sengaja menabrak seorang kakek tua yang tengah menuntun sepedanya. Dia tidak tahu kalau ada orang yang keluar dari belokan lain karena pandangannya tertutupi oleh tembok beton. Ia pun berjongkok, memungut kaleng-kaleng yang melompat dari karung.

"Maaf, Kakek. Saya tidak melihat anda tadi. Maafkan saya," ucap Lee Jinho seraya memasukkan kaleng-kaleng kosong ke dalam karung.

"Tidak apa, saya juga salah karena tidak hati-hati. Omong-omong, kamu mau kemana?" Sang kakek membalas dan bertanya pada Lee Jinho yang tersenyum ramah.

Bocah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang