Alun-alun kota malam hari ini tampak ceria dikelilingi kedai-kedai kecil berhias lampu nan indah. Di sebuah kursi seorang gadis terlihat sedang menikmati segelas teh dengan asap yang masih mengepul di atasnya. Masih dengan aroma khas tanah sehabis hujan, titik-titik air masih setia menghinggapi pashmina biru yang ia kenakan. Deru motor berlalu-lalang, masih indah dinikmati bersama alunan lagu merdu yang secara bergantian diputar dari sebuah kedai tak jauh dari tempatnya duduk.
"Arumii!" sapa seorang gadis dengan ceria, memaksa Arumi, gadis berpashmina biru tadi, untuk kembali dari alam lamunannya.
"Wa'alaikumussalam, Lan," respon Arumi penuh penekanan.
"Eh ... lupa. Assalamu'alaikum Arumi." Gadis yang disebut Lan tadi hanya bisa tersenyum kikuk.
Bulan Anggarini, gadis hitam manis dengan gingsul di sebelah kiri itu, menjadi satu-satunya orang yang membuat Arumi menunggu sejak tadi. Datang terlambat meski dia yang membuat janji adalah kebiasaannya. Entah karena Arumi yang terlalu tepat waktu atau memang Bulan yang tak cepat datang, air dari langit yang tadinya hanya merintik perlahan deras kembali menyapa tanah Kota Raha malam ini.
Tak berniat untuk mandi lagi, dua gadis yang sejak sepuluh menit tadi bahkan belum memulai percakapan seriusnya pun bergegas meninggalkan tempat itu. Alun-alun kota yang tadinya romantis dengan lagu-lagu cinta, semakin romantis dengan iringan hujan seiring banyak pasangan kekasih yang pelan-pelan pergi mencari tempat berteduh.
"Lan, ngapain, sih, ngajak ketemuan malam-malam kayak gini? Musim hujan pula," keluh Arumi saat mereka sudah menemukan tempat berteduh.
"Lah, ngajak main sahabat sendiri, salah? Kebetulan lagi malam minggu, Rum."
"Emang malam minggu penting buat yang jomblo? Apalagi kamu yang jomblo dari lahir ini," sindir Arumi tak sadar diri.
"Kita, Rum. Kita yang jomblo dari lahir," ralat Bulan, cepat. "Emang di Surabaya kamu ada pacar?" sambungnya lagi.
Mendengar penuturan Bulan tadi, Arumi hanya bisa diam. Tidak tau jawaban seperti apalagi yang akan keluar dari mulut mungil gadis bertahi lalat di dekat bibirnya itu, jika dia kembali merespon. Mau berdebat seperti apapun, tetap saja hasilnya sama, Bulan yang selalu menang dan Arumi yang tidak pernah menang. Dulu neneknya pernah bilang bahwa orang yang mempunyai tahi lalat di dekat bibirnya adalah seorang yang hebat berdebat. Mungkin salah satunya seperti Bulan ini.
Mereka terlihat menikmati hujan malam ini, tidak pernah lepas tawa bahagia dari wajah keduanya. Malam ini mereka saling melepas rindu, saling bertukar cerita tentang kuliah, orang-orang baru yang mereka temui dan suasana baru yang mereka alami setelah menjadi mahasiswi.
Bulan dan Arumi adalah sepasang sahabat sejak SMA, persahabatan mereka memang belum terbilang lama. Meski berasal dari latar belakang lingkungan yang berbeda, tapi mereka tak pernah mempermasalahkannya. Bulan terlalu nyaman bersahabat dengan Arumi, menurutnya gadis itu adalah seorang pendengar yang baik. Arumi yang terlampau pemalu ini, agaknya sangat pas bersahabat dengan Bulan yang bicara kadang tak suka pakai rem itu.
Teng! teng! teng!
Sebuah bunyi notifikasi dari ponsel Arumi menyadarkan mereka akan waktu yang sudah cukup larut. Bunyi notifikasi tadi adalah bunyi alarm yang sengaja disetelnya agar tidak terlalu larut untuk pulang ke rumah.
"Waduh, udah jam sepuluh aja, nih. Pulang ke rumahku aja ya, Rum. Suasana Kota Raha lagi gak baik, lagi banyak begal di kawasan Warangga apalagi kamu perempuan," usul Bulan, khawatir. Kawasan Warangga ini sebenarnya kawasan hutan jati yang sangat lebat ditambah lagi Arumi harus melewati kawasan pemakaman yang terkenal angker untuk bisa sampai ke pemukiman warga, dengan suasana seperti itu bukan tidak mungkin ada orang jahat disaat seperti ini yang sedang mencari korban.
Selain takut begal, Bulan juga khawatir jika misalnya besok Arumi akan bercerita padanya tentang sosok tak diundang yang duduk di jok belakang motor yang dikendarai sahabatnya itu. Ah, jangan bilang Bulan penakut, ya! Percaya saja kalau dia orang yang sangat peduli.
"Ish, jangan mikir terus dong. Nanti aku bantu ngomomg mama sama papa kamu, deh." Lantas, ponsel yang sejak tadi digenggam Arumi, kini berpindah tangan dan menyisakan bunyi nada sambung sebanyak tiga kali.
"Assalamu'alaikum. Kamu kapan pulang, Nak? Ini papamu, belum bisa tidur kalau kamu belum pulang." Suaranya sengaja dispeaker biar Arumi juga bisa dengar.
"Wa'alaikumussalam tante, maaf ini Bulan. Tante, ini Arumi lagi sama Bulan, boleh nggak dia nginap di rumah Bulan dulu? Kita masih mau melepas rindu nih, hehehe."
"Oh yaudah, Arumi boleh nginap di rumah Bulan malam ini, ya. Udah lama juga kalian gak ngumpul berdua."
"Wah, makasih banyak Tante. Telponnya Bulan tutup sekarang, ya. Assalamu'alaikum Tante, salam buat Om juga ya," ucap Bulan dengan tulus dan bahagia. Sejauh ini Tante Nur, mamanya Arumi, tidak pernah khawatir kalau Arumi lagi sama Bulan.
Setelah sambungan telepon terputus, Bulan dan Arumi pun bergegas ke parkiran tempat motor milik Arumi berada. Sebelum benar-benar pulang ke rumah Bulan, mereka singgah sebentar ke kawasan pertokoan cina untuk membeli kue terang bulan, makanan kesukaan keduanya.
Selamat Membaca :)
Kendari, 5 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Anganku Ikut Bersamamu
ChickLitArumi Azalea Razeta, sang kembang di Bulan Mei. Bercerita tentang kemarin, hari ini, dan esok, antara menunggu cinta masa lalu untuk sang abdi negara, atau beranjak bersama Elang yang menjanjikan banyak cinta, atau bahkan melangkah dengan pilihan ta...