"Ayah, boleh tidak Ulan ikut?"
Pagi itu, matahari belum terbit dengan sempurna, tetapi sepasang ayah dan anak di sebuah rumah kecil sudah sejak tadi ribut. Sang ayah sibuk membujuk anak semata-wayangnya padahal sebenarnya pagi-pagi sekali ia sudah harus sampai di kantor. Pria dewasa itu kepalang bingung dengan tingkah putrinya yang baru menginjak usia tiga tahun, gadis kecil yang sebenarnya tidak rewel setiap dia akan ke kantor, pagi itu berbeda.
Gadis kecil yang bahkan belum bisa memanggil namanya dengan benar itu terus saja ngotot ingin ikut. Pertanyaan "Ayah, boleh tidak Ulan ikut?" setelah berulang kali diucapkan, makin lama menjadi sebuah pernyataan yang berisi keharusan. Sang istri juga tidak bisa membantu untuk membujuk buah hati mereka. Katanya, "Tuan Putri terlalu keras kepala, Yah. Bahkan hanya perkataan Ayah yang akan diturutinya."
"Ayah, mending jangan pergi ke kantor dulu hari ini. Bulan rewel, firasat Ibu juga nggak enak. Jadi, sebaiknya Ayah di rumah saja," usul sang istri yang khawatir dengan tingkah aneh putrinya. Bahkan perasaan hatinya pagi itu juga sedang tidak baik.
"Gak bisa, Bu. Pagi ini Ayah ada proyek penting yang harus dikerjakan. Jangan khawatir lagi ya, Bu. Doakan Ayah akan baik-baik saja." Lantas pria bernama Arman itu segera meninggalkan teras setelah memakai sepatunya.
"Hiks ... Ayaaahh! Ulan mau ikuutt!" Tangis Bulan semakin menjadi di gendongan ibunya saat melihat sang ayah meninggalkan halaman rumah. Dari kejauhan Arman hanya mampu melambaikan tangannya dengan perasaan yang sebenarnya tidak bisa definisikan. Bahkan saat itu, kakinya terasa sangat susah diajak melangkah.
Dari dimensi waktu dan ruang berbeda, seseorang sedang bersedih dalam tidurnya. Bulir keringatnya seperti air terjun yang deras mengalir, raut wajah tidurnya tidak bisa diartikan tentang seberapa mengerikannya mimpi yang dialami. Napasnya keluar tak beraturan, persis seperti orang kelelahan mengejar sesuatu yang tidak sempat digapai lagi.
Menyadari hal tersebut, Arumi yang berbaring tepat di samping Bulan, dengan cepat menyadarkan gadis itu dari tidurnya. Dengan perasaan khawatir, ia menepuk pelan pipi Bulan berulang kali. Setelah Bulan sadar, Arumi pun memberinya segelas air putih dan berusaha menenangkannya.
Tanpa berkata apapun Arumi yang duduk di belakang, meraih kedua tangan sahabatnya. Kedua tangan itu, dia silangkan ke dada Bulan sambil sesekali ditepuk seperti kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya.
"Tarik napas pelan-pelan kemudian hembuskan, ya, Lan. Ingat dan pikirkan kalau itu hanya mimpi," instruksi Arumi.
Butterfly hug, gerakan itu Arumi ketahui dari seseorang di masa lalunya. Andai dia punya mesin waktu, mungkin dia sangat ingin kembali pada masa-masa dulu. Masa di mana seseorang yang dia rindukan berada.
"Kak, aku rindu," batinnya penuh kerinduan.
Setelah keadaannya membaik, Bulan pun melanjutkan tidurnya. Setelah melakukan gerakan Butterfly hug, gadis itu terlihat lebih baik dari sebelumnya. Tadi tanpa bertanya apapun, Arumi nampaknya sudah tau mimpi apa yang dialami sahabatnya itu.
Sahabatnya itu mungkin akhir-akhir ini sedang bersedih, ia kesepian. Arumi tahu betul, bahwa Bulan sebenarnya belum ikhlas berdamai dengan masa lalunya. Mimpi buruk itu ada, saat pikirannya mengawang dengan suasana hatinya yang belum mampu ikhlas. Kehilangan salah satu sayap saat belum benar-benar kuat untuk terbang adalah hal paling menyakitkan yang dialami setiap orang.
"Lan, tidur yang nyenyak, ya! Besok semesta menunggu Bulan yang ceria datang lagi," ucap Arumi lirih sebelum akhirnya benar-benar tertidur lagi.
Pagi pun tiba, Arumi yang hari ini sedang tidak bisa melaksanakan salat, bangun agak terlambat. Saat membuka mata, Bulan sudah tidak berada di sampingnya. Kamar juga terlihat lumayan rapi. Gadis itu kemudian bergegas ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan wajahnya yang mungkin agak sedikit aneh.
"Selamat pagi Bulaann!" sapanya. Saat itu yang disapa sedang memasak, memasak mie instant lebih tepatnya.
"Pagi juga sahabat akoh," balas Bulan, agak lebay.
"Pagi ini kita sarapan makanan kesukaannya Arumiii. Ini khusus aku masak Indomie goreng aceh pake telur mata sapi setengah matang, lho," sambungnya lagi dengan ceria. Maaf ya pemirsa, Bulan suka nyebut merek nih.
"Wah ajaib sih ini. Ku pikir Bulan yang sekarang udah gak berteman baik sama mie instant. Secara, kan, sekarang udah jadi mahasiswi universitas kesehatan, jurusan gizi pula."
"Kalo makannya sesekali doang, mah, gak masalah, Rum. Ayo! Kan, ini makanan kesukaan kamu," ucap Bulan tak ingin merasa disalahkan.
Hari ini pun kembali dibuka dengan Bulan yang ceria dan masih dengan cerita-cerita nostalgia mereka saat SMA. Arumi baru akan pulang ke rumahnya saat hari sudah menjelang sore. Selain itu, mereka juga kembali merencanakan agenda untuk jalan-jalan ke pantai sebelum Arumi kembali ke Surabaya empat hari lagi.
"Saat kamu belum bisa berdamai dengan masa lalu, maka saat itu pula kamu belum benar-benar ikhlas. Bukan berarti masa lalu harus dilupakan, ya! Masa lalu harus dihadapi. Logikanya, jika sekarang kamu berhadapan dengan masa lalu, belum tentu kamu juga akan mati sekarang, kan? Karena masa lalu bukan malaikat pencabut nyawa yang dikirim Tuhan dan kapan saja bisa membuatmu menghilang dari muka bumi."
Mohon kritik dan sarannya, ya :)
Kendari, 5 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Anganku Ikut Bersamamu
ChickLitArumi Azalea Razeta, sang kembang di Bulan Mei. Bercerita tentang kemarin, hari ini, dan esok, antara menunggu cinta masa lalu untuk sang abdi negara, atau beranjak bersama Elang yang menjanjikan banyak cinta, atau bahkan melangkah dengan pilihan ta...