BAG 9. SEMPADAN

1.5K 71 7
                                    


Dari dalam mobil, aku mengamati Mas Ganteng sedang berbicara dengan seorang pria tua. Kayaknya pria tua itu pemilik kedai yang kami datangi. Setelah beberapa saat berbincang, Mas Ganteng kembali menyusulku ke mobil.

"Sudah beres, Jon!" katanya pas membuka pintu mobil.

"Apanya yang beres, Mas?" tanyaku.

"Bapak tua itu punya satu kamar buat dipinjami. Kita bisa tidur di situ malam ini," katanya.

"Wah, rejeki dong!" kataku bersemangat.

"Jangan lupa bawa ranselmu! Kita masuk sekarang!" kata Mas Ganteng sambil menutup pintu mobil.

Aku bergegas mengambil ranselku, lalu mengikuti Mas Ganteng yang udah jalan lebih dulu.

Kedai pak tua itu lumayan bersih dan terang karena dipasangi banyak lampu. Cuma pelanggannya nggak ramai. Maklumlah, letaknya di jalan lintas di tengah hutan. Paling yang singgah ke sini hanya orang yang sedang dalam perjalanan.

Beberapa pelanggan tampak tiduran di dipan yang sengaja dibuat khusus untuk istirahat bagi pelanggan yang kelelahan atau ngantuk. Mereka sama sekali nggak peduli dengan kedatangan kami berdua. Beberapa yang lain tampak sedang ngobrol bersama rekan-rekannya sambil rebahan. Normalnya sih, aku dan Mas Ganteng juga mestinya tidurnya di dipan itu malam ini. Cuma tadi Mas Ganteng kayaknya berhasil membujuk pak tua pemilik kedai buat meminjamkan kamarnya untuk kami istirahat. Lumayanlah, lebih privasi dan aman.

"Lewat sebelah sini, Jon!" Mas Ganteng menyuruhku supaya mengikutinya. Di depan Mas Ganteng, pak tua pemilik kedai berjalan agak pincang. Pasti karena rematik atau mungkin juga pengaruh usia tua. Kami dibawa masuk ke dalam ruang keluarga yang berada di dalam kedai.

"Kamarnya di sebelah atas," kata pak tua itu sambil naik melewati tangga kayu yang udah renggang paku-pakunya.

Jadi, kalo anak tangganya diinjak, papan-papannya berbunyi menderit, seakan-akan mau roboh. Jadi ngeri juga dibuatnya. Ntah kamar model apa yang bakal kami tidurin malam ini. Tapi gak masalah sih, yang penting dapat kamar daripada tidur berhampar di dipan.

"Tenang saja, kayunya masih kuat," kata pak tua itu menjamin keamanan tangga reot yang kami naikin. Bisa aja tuh pak tua ngomong gitu. Padahal kalo ambruk, lumayan bisa bikin lebam-lebam gratis.

"Sudah lama tinggal di sini, pak?" tanya Mas Ganteng sambil mengikuti pak tua rematik itu.

"Sudah tujuh tahun. Lumayan, pak," sahutnya.

"Sendiri aja?" tanya Mas Ganteng lagi.

"Biasa sama anak saya. Tapi malam ini kebetulan sendirian," jawabnya.

Pak tua itu berhenti di depan sebuah pintu kamar, lalu membukanya. "Ini kamarnya, pak!" katanya mempersilahkan kami masuk.

Kamarnya nggak terlalu luas, tapi lumayan lah, ada tempat tidur besarnya. Kayaknya enak banget kalo tidur di situ. Apalagi bakal tidur berdua sama Mas Ganteng. Bakal seru dan menyenangkan hehe.

"Ini kamar tidur saya, cuma malam ini karena saya jaga kedai sendiri, jadi saya tidur di bawah," kata pak tua itu.

"Wah, apa kami malah gak merepotkan bapak?" tanya Mas Ganteng.

"Ya enggak lah, pak. Saya cuma tidur di kamar ini kalau ada anak saya yang jaga kedai. Daripada kosong, dipakai saja buat bapak istirahat," katanya.

"Wah, terima kasih banyak, pak," jawab Mas Ganteng.

"Tapi masih agak berantakan kamarnya. Soalnya memang biasa enggak saya pinjamin buat tamu," kata pak tua itu.

"Kalau itu gak masalah, pak. Saya malah sangat berterimakasih bapak sudah mau meminjamkan kamarnya," kata Mas Ganteng.

Jauh Jalan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang