Latihan atau bolos aja?

2 1 0
                                    

POV SOFI

Sudah setengah jam aku menangis di bawah tumpukan bantal dengan tubuh tengkurap. Kutekan benda empuk di atas kepala ini semakin keras dan berharap suara-suara cacian kebencian itu tak terdengar lagi.

Aku tak mau tahu siapa yang lebih benar atau salah, tapi apakah tak ada lagi keinginan untuk mengalah dari keduanya? Padahal mereka sudah bersama dalam waktu yang sangat lama. Mungkin jumlah kebaikannya sudah tak terhitung satu sama lain. Apakah saat berbuat baik, semua akan selalu terlihat salah? Kemanakah rasa cinta dalam pernikahan usia perak ini? Bukankah mereka juga sebelumnya sudah pacaran sejak SMA?

Mendengar suara tinggi dan pertengkaran kedua orang tuaku itu bagaikan sebuah rutinitas wajib harian di dalam rumah. Bisa dikatakan sejak aku kecil, mungkin seingatku sejak sekolah dasar juga tak pernah aku melalui hari tanpa pertengkaran keduanya. Aku hanya bisa diam dan berlari untuk menghindarinya sebisaku.

Rasa syukur dikuatkan oleh kejahilan kakak lelakiku satu-satunya. Kami terpaut usia empat tahun. Ia selalu mengajakku bermain keluar saat pertengkaran kedua orang tuaku terjadi, namun kini aku harus menghadapinya sendiri karena ia berkuliah di luar kota.

"A Ehan" suara parauku saat meneloponnya.

"Oit Dek, salam dulu napa. Ada apa?" jawab suara dari seberang ponsel.

"Assalamu'alaikum. Aa kapan pulang?" tanyaku lagi.

"Wa'alaikumsalam. Napa Dek? lo nangis? Ibu Bapak bukan?" A Ehan seakan sudah bisa menerka permasalahan yang terjadi saat ini.

"Heuh A" jawabku singkat sambil menyeka cucuran air mata yang terus mengalir ke wajahku.

A Ehan menghela napas "Kan udah biasa, santai aja. Mending mainlah ke rumah Dona atau sekedar baca komik ke Gramed. Buat diri lo santai, masalah mereka gak akan bisa kita beresin kalau gak ada keinginan dari mereka berdua. Lo kudu kuat ya, pokoknya hindarin dan lo kudu tetep bisa berbakti sama keduanya" nasehat A Ehan seperti biasa.

"Aa pulang atuh" pintaku lagi.

"Ya entar minggu depan insha Alloh gw pulang dah. Lo siapin makanan yang enak-enak ya, bikinin gw kopi, sama pijitin gw ya. Bisa janji gak?" ucap A Ehan yang mulai terdengar usil.

"Iya sekalian gw siapin sesajen sama kopi panas ya A. Ntar gw pijitin sekalian pake raket nyamuk, biar pegel-pegel badan lo langsung lenyap" jawabku yang tak kalah menyebalkan.

"Idih ogah baliklah kalau begitu ceritanya" jawab A Ehan.

"Ha..haha.. Pokoknya mah Aa balik dulu lah. Eh udahan dulu A, pulsa gw ntar abis. Take care dan buruan pulang. Daaah Assalamu'alaikum" aku menekan tombol merah setelah orang di seberang sana menjawab salam.

🌼Keesokan harinya🌼

Sudah beberapa hari ini aku tak melihat sepasang mata indah nan dirindukan. Hampir setiap kali ke kampus aku selalu mengambil kesempatan untuk berada di sekitar anak Ilkom. Mungkin begini kalau anak tingkat akhir, kesibukannya bukan hanya di dalam kampus saja. Tapi, bukan Sofiyah namanya kalau mudah putus asa. Segala peluang pasti dicoba, mulai dari mencari tahu jadwal kelasnya, sampai mencatat siapa aja yang terlihat sering bersamanya. Nah catatan ini yang paling aneh, karena dia lebih sering terlihat sendiri kemana-mana.

Siang ini aku duduk di dekat parkiran motor yang letaknya tidak jauh dari fakultas MIPA. Pandanganku masih beredar ke sekitar hingga aku menemukan seseorang yang berdiri memunggungiku, menggunakan topi hitam, dan ransel hitam dengan gantungan bola basket yang aku kenal.. That's him.

Jarak kami terlalu jauh, hingga aku memberanikan diri untuk berdiri dan mengendap-endap mendekati sasaran. Jujur aku nggak mau keberadaanku sekarang disadarinya. Bisa melihatnya saja sudah buat bunga-bunga dalam hati ini bermekaran.

Luminosity TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang