"Jadi, Mas ini anaknya Bu Dara!?"
Pertemuan kembali antara Aubri dan sosok anak dari Bu Dara—lewat aksi penjambretan yang sempat terjadi beberapa saat lalu dengan Aubri sebagai korbannya—bisa dibilang adalah awal bagi mereka untuk saling mengenal.
Maksudnya ya, mengenal dalam artian yang sebenarnya. Bukan dalam konteks yang aneh-aneh, kok, tenang saja.
Jelas, ini pertama kalinya Aubri melihat sosok anak Bu Dara karena waktu itu, ia langsung pergi begitu saja tanpa mencari tahu dulu siapa orang yang telah membantunya. Aubri pikir waktu itu, ya sudah. Toh, ia telah menitipkan ucapan terima kasih kepada Bu Dara.
Akan tetapi, kalau tahu anak yang Bu Dara maksud itu memiliki wajah setampan ini ya, jujur, Aubri menyesal. Seandainya ia menunggu lebih dulu sampai sosok yang menolongnya itu kembali dari urusannya, mungkin Aubri tidak akan beranjak dari hadapan Bu Dara dan menerima tawaran dari wanita paruh baya itu.
Duh, sumpah, deh. Aubri ingin memutar waktu saja rasanya walaupun beras sudah menjadi nasi kuning alias tidak bisa kembali putih seperti nasi biasa.
Lupakan soal perumpamaan ribet yang Aubri buat. Kini, gadis itu tampak duduk sambil terus memperhatikan sosok di hadapannya tanpa tahu malu. Bahkan ia tidak berkedip selama belasan detik sampai-sampai sosok yang diperhatikan terlihat kurang nyaman karenanya.
Lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Nevan itu hanya diam. Diam-diam risi, maksudnya. Sesekali ia menyesap kopi miliknya yang dibeli di minimarket merah dan masih memikirkan kiranya apa yang membuat si gadis di hadapannya itu terus-terusan menatapnya seperti sekarang.
"Kamu kenapa liatin saya terus?" tanya Nevan kemudian. Akhirnya, ia menyuarakan rasa risinya yang sejak tadi membara-bara.
Aubri yang ditanyai begitu hanya mengerjap beberapa kali, kemudian memberikan cengirannya bodohnya. "Nggak apa-apa," jawabnya. "Soalnya Mas Nevan ganteng banget kayak bias saya."
Nevan yang memang tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu, praktis mengerutkan dahinya bingung. "Bias? Bias cahaya, maksud kamu?"
"Bukaaan!" Aubri langsung menyanggah ucapan Nevan barusan. "Bias itu ... duh, gimana ya, jelasinnya? Pokoknya, bias itu idola, gitu."
Antara paham dan tidak, sebenarnya, tetapi Nevan memilih mengangguk saja daripada urusannya semakin panjang.
Kalau ditanya, mengapa keduanya bisa duduk berhadapan di kursi yang sengaja disediakan di minimarket merah? Jawabannya karena insiden yang terjadi beberapa saat lalu tentu saja.
Mulanya, Nevan yang sedang berada di salah satu gerai usahanya, secara tidak sengaja mendengar teriakan seseorang yang terus-terusan mengatakan 'jambret' dengan suara lantang. Kebetulan, jarak gerai miliknya memang tidak begitu jauh dari lokasi kejadian, kira-kira dua ratus meter dari toko kue yang sempat Aubri jelaskan tadi.
Iya, Aubri memang sudah menceritakan banyak hal selama kurang lebih tiga puluh menit mereka duduk berhadapan di depan salah satu minimarket itu. Mulai dari alasan kenapa ia berada di lokasi dan bagaimana detail kejadian hingga ponselnya dijambret.
Dari sana jugalah Nevan tiba-tiba menyeletuk bahwa beberapa waktu lalu, dirinya sempat membawa gadis itu ke apartemennya. Katakanlah ia merasa tidak enak karena tanpa izin membawa Aubri begitu saja dan meninggalkannya tanpa penjelasan lebih dahulu. Sampai akhirnya gadis itu harus berhadapan dengan sang ibu.
Beruntungnya, Aubri tidak marah. Gadis itu malah berterima kasih sampai-sampai bercerita kalau beberapa detik sebelum kesadarannya menghilang, ia sempat berdoa semoga dirinya ditolong oleh orang baik.
Intinya, masalah di antara keduanya berakhir saat itu juga.
Hanya saja, setelah selesai bercerita, gadis itu malah sibuk memperhatikannya tanpa berkedip. Nevan bahkan berpikir, mungkinkah di wajahnya ada sesuatu atau bagaimana? Namun, saat ditanya, Aubri malah menjawab dengan jawaban yang membingungkan. Nevan mana paham dengan hal-hal seperti yang dimaksudkan oleh gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menjadi Selingkuhan Fangirl ✓
Romance[REVISI 6/8/24] 16+ Demi menghindari perjodohan yang dilakukan oleh keluarganya, Aubriana Salsabilla memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah dan merantau ke kota besar sendirian. Namun, siapa yang menyangka jika kepergiannya ke kota malah memperte...