18. Siapa yang bilang?

51 11 0
                                    

"Jadi gimana, Bang?"

Nevan otomatis menoleh saat suara sang ayah terdengar. Dahi lelaki itu berkerut karena tidak mengerti. "Apanya yang gimana, Pa?"

"Ya, yang Papa bilang waktu itu. Jangan pura-pura lupa deh kamu!"

Bukannya ingat dengan apa yang ayahnya maksud, Nevan malah semakin bingung. Masalahnya, ia benar-benar lupa apa yang pernah ayahnya katakan? Perasaan, sang ayah telah mengatakan banyak hal yang tentu saja tidak bisa diingat semuanya oleh Nevan.

"Memangnya Papa bilang apa?" tanya lelaki itu pada akhirnya. "Nevan beneran nggak inget, lho, Pa. Bukan pura-pura lupa."

"Yakin?" Raka memberikan tatapan menyelidik kepada putra sulungnya itu. Matanya terlihat memicing, sementara kedua tangannya dilipat di depan dada. "Soal tantangan itu loh. Udah lewat dua Minggu, jangan kamu pikir Papa lupa, ya!"

Oh.

Sulung dari dua bersaudara itu langsung mengulum bibirnya karena tidak tahu harus melakukan apa. Setelah rencananya untuk membawa Aubri seminggu lalu gagal dilakukan, Nevan bahkan sengaja 'lari' dari ayahnya. Entah dengan cara sengaja tidak menjawab telepon dari sang ayah, atau sekadar tidak membaca pesan yang dikirimkan oleh beliau. Nevan bahkan tidak pulang ke rumah orang tuanya selama beberapa waktu dengan alasan sibuk.

Saat di kantor, pun, Nevan sengaja menghindar kalau-kalau berpapasan dengan sang ayah. Pura-pura tidak tahu, lah, begitu. Toh, ia tidak pergi bekerja setiap hari karena harus mengurus pekerjaan yang lain, di luar urusan kantor.

Sebenarnya, Raka tahu kalau putranya itu tengah menghindar, tetapi karena niat awal hanya ingin mengetes kesanggupan si sulung, makanya ia memilih diam. Membiarkan sampai Nevan menyanggupi tantangannya sendiri kapan pun ia siap.

"Gimana? Kalau nggak sanggup, bilang aja, Bang. Biar nanti Papa coba kenalkan kamu sama anaknya teman Papa."

Nevan menghela napas panjang, sebelum akhirnya berujar, "Oke." Lelaki itu menatap lurus ke arah sang ayah. "Kalau nggak nanti malam, besok Nevan bawa."

Raka menyunggingkan senyum miring, menantang sang putra. "Harus yakin, dong, kapan tepatnya, Bang. Kan, biar ada persiapan. Mau bawa calon menantu ke sini, masa nggak sambutannya?"

"Sambutan apa lagi, sih, Pa?" Nevan nyaris frustrasi. Tidak mengerti dengan yang ada di pikiran sang ayah saat ini. "Kan katanya cuma disuruh bawa perempuan aja ke rumah. Kan udah. Itu, kan, maksud Papa?"

Kali ini, giliran Raka yang menghela napas panjang. Lelaki paruh baya itu memijat dahinya yang berdenyut. Tidak menyangka jika ternyata, putra sulungnya lumayan lemot dalam beberapa hal. "Ya coba kamu pikir, deh. Namanya tamu, baiknya dikasih suguhan apa cuma disuruh duduk sambil makan angin doang?"

"Y-ya, tapi kan—"

"Pokoknya fix nanti malam, deal? Nanti Papa bilangin ke Mama buat masak banyak."

Baru saja Nevan hendak melayangkan protes, ayahnya itu sudah lebih dulu beranjak dari posisinya. Tahu-tahu, sang ayah sudah mengunci diri di dalam kamar, dengan Nevan yang terpaksa menelan kembali niat untuk protesnya tadi.

"Papa kenapa sih, pikirannya random banget?" Ia memijat dahinya yang berdenyut. Menyesal rasanya karena memutuskan untuk pulang ke kediaman orang tuanya hari ini. Padahal, niat awal hanya untuk menikmati masakan sang ibu, malah berakhir dengan ditagih janjinya oleh sang ayah seperti ini. Duh, tahu begitu, lebih baik ia tidak akan pulang ke rumah orang tuanya sampai sebulan ke depan.

Karena tagihan sang ayah itu jugalah yang membuat Nevan saat ini berada di Chocola-sweet, tepatnya tengah berhadapan dengan si pemilik toko kue, Freya yang kini menatapnya dengan tatapan bertanya. Ibu dari sepasang anak kembar itu jelas sedang dilanda rasa penasaran yang mendalam terhadap apa sebenarnya alasan yang mendasari Nevan—salah satu sepupu sang suami—melakukan ini?

Terpaksa Menjadi Selingkuhan Fangirl ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang