Marno mulai merangkak lagi. Di depan mukanya ada batu besar. Dengan sendirinya ia menuju ke sana. Desingan peluru keras karena ia memasuki daerah tembakan lagi. Di dekat batu itu ia tiduran menelungkup badan gemetar semua, ketakutan dan harapan mendorongnya maju.Waktu melewati batu itu, pantatnya tergesek. Meskipun lelah dan sakit, angin yang bertiup saat itu terasa juga.
Marno merangkak terus diburu takut, diimbau oleh harapan. Dan ia teringat cerita ayahnya tentang surga. Ia bayangkan bahwa surga itu seperti bukit yang kini di hadapannya. Bukit yang hijau dan aman. Dan ia merasa seperti merangkak dari neraka ke surga lewat jembatan Siratalmustakim yang terentang di atas parit menyala-nyala.
Sebuah pistol sudah berada disamping kepala Marno secara tiba-tiba. Marno mengangkat tangannya dengan takut-takut. Tidak lama datang lima orang prajurit Belanda menghampiri tempat Marno berada.
"Dimana markasmu saat ini?," ucap seorang prajurit Belanda yang menodongkan pistol pada Marno tadi.
Tidak mendapat jawaban atas pertanyaannya, si Belanda kembali bersuara. "Hei Marno, kau pemimpin pasukan A-1 bukan?!”
Marno terkejut mendengarnya. "Beri tau sekarang atau kau dan keluargamu akan mati", ucap si Belanda lagi. Lima prajurit Belanda tadi juga mengarahkan pistol mereka pada Marno.
"Di selatan kebun pisang," ucap Marno akhirnya. Si Belanda mengangguk mendengarnya.
'Cklek.' Bunyi pistol disamping Marno membuatnya gelagapan. "Tunggu! Saya bisa bekerja untukmu"
"Maksud kau mata-mata?." Marno hanya mengangguk cepat mendengarnya. "Kau pikir aku akan percaya?"
"Saya bersumpah," ucap Marno meyakinkan. Dia tidak rela mati mengingat wajah anak istrinya yang menunggu dirumah.
"Baiklah. Nyawa keluargamu taruhannya. Besok malam datanglah ke utara kebun sawit, beri tau tempat pimpinanmu berada," ucap si Belanda membuat Marno menyesal seketika.
Marno kembali ke markasnya disambut dua sahabat baiknya, Asep dan Jajang. Melihat banyaknya luka yang ada pada sekujur tubuh Marno, Asep dan Jajang segera membawanya untuk diobati dan istirahat.
Marno terbangun ditengah malam, dia memandangi wajah kedua sahabatnya, dia menyesal, merutuki kecerobohannya dalam bertindak. Disituasi saat ini, rasanya seperti harus memilih antara keluarga atau sahabat dan teman seperjuangan lainnya.
Keesokan malamnya, Marno benar-benar datang ke utara kebun sawit sebagai misi pertamanya. Dia bernapas lega setelah berhasil mengendap-endap. Sekarang tinggal menunggu si Belanda datang.
"Hihihihihi." Sebuah suara menggema di telinganya, Marno menoleh ke belakang, sekelebat bayangan putih terlihat, buru-buru dia memalingkan wajahnya dan membaca ayat kursi.
Marno mengumpat, seseorang baru saja menepuk pundaknya. "Apa yang kau lakukan?"
"Eh. Maaf"
"Jadi?"
"Di barat sungai Brantas, dekat bukit tiga," ucap Marno dengan cepat.
"Kau tidak bohong kan? Ingat keluargamu. Datanglah di depan makam Raden, pagi buta di hari Jum'at nanti, misimu sama." Marno hanya diam mendengarnya, sementara si Belanda sudah beranjak pergi.
Marno kembali ke markas sepuluh menit setelah bertemu si Belanda.
"Dari mana kau?," tanya Asep yang sedang makan.
"Dari biasalah, buang hajat"
"Tumben sekali kau mau buang air disungai, sendirian pula, sudah berani kau ya." Marno hanya tersenyum dan mengangguk mendengar perkataan Jajang.