Marno mulai merangkak lagi. Di depan mukanya ada batu besar. Dengan sendirinya ia menuju ke sana. Desingan peluru keras karena ia memasuki daerah tembakan lagi. Di dekat batu itu ia tiduran menelungkup badan gemetar semua, ketakutan dan harapan mendorongnya maju.Waktu melewati batu itu, pantatnya tergesek. Meskipun lelah dan sakit, angin yang bertiup saat itu terasa juga.
Marno merangkak terus diburu takut, diimbau oleh harapan. Dan ia teringat cerita ayahnya tentang surga. Ia bayangkan bahwa surga itu seperti bukit yang kini di hadapannya. Bukit yang hijau dan aman. Dan ia merasa seperti merangkak dari neraka ke surga lewat jembatan Siratalmustakim yang terentang di atas parit menyala-nyala.
Ayah marno adalah seorang pemuka agama yang disegani didaerahnya. Marno dan ayahnya mempunyai ikatan yang sangat erat, kemanapun mereka selalu bersama. Ayah marno ditangkap karena ia dikambinghitamkan oleh seseorang dengan suatu alasan, ia mengirim mata-mata sehingga membuat keadaan menjadi semakin mencekam. Pada saat ayahnya ditangkap ia mencoba melakukan perlawanan.
"Lepaskan ayahku" kata Marno.
"Coba saja kalo bisa" jawab pasukan tersebut. Perlawanan itupun sia-sia karena pasukan yang menangkap ayahnya lebih dari dua orang. Akhirnya ayahnya pun dibawa pergi oleh pasukan tersebut. Marno hanya bisa menangis melihat ayahnya dibawa pergi meninggalkannya.
Suara gesekan kaki Marno menggambarkan perasaannya yang sedang tidak menentu saat ini, dia sedang memikirkan keadaan ayahnya di sana, dia memikirkan cara bagaimana bisa membebaskan sang Ayah. Marno akhirnya memutuskan untuk berlatih fisik bersama Suryo, teman semasa kecilnya. Suryo memiliki kekuatan fisik yang sangat baik, dia memiliki keterampilan dalam berperang, fisiknya selalu dilatih oleh ayahnya yang dulunya seorang pesilat handal.
Hari demi hari berganti kekuatan fisik Marno berkembang dengan pesat, Dia tak lagi seperti Marno yang lemah, penakut seperti dulu. Dia bersama Suryo pergi menuju markas para pasukan yang menangkap ayahnya. Ia berencana akan menyusup kedalam markas tersebut secara diam-diam. Dengan berbagai cara yang mereka lakukan, akhirnya mereka berhasil masuk kedalam markas tersebut. Mereka masuk melompati tembok yg tinggi dan kokoh itu, mereka terus berjalan mencari keberadaan sang ayah. Marno melihat ada satu ruangan terpencil dengan pintu jeruji besi, mereka berjalan kearahnya.
"ayah?! apakah itu engkau ayah???" Marno melihat seorang laki-laki dengan keadaan mengenaskan, ia tak kuasa menahan tangisannya ketika sadar bahwa itu ayahnya. Ayahnya tak sadarkan diri, tubuhnya yang kurus dihiasi dengan luka-luka dan lebam yang begitu banyak. Suryo juga menahan tangisannya, ia tak tega melihat keadaan ayah temannya seperti itu.
"Marno aku akan mencari makanan untuk ayahmu, ingat jangan sampai ketahuan para penjaga, mereka bisa saja datang untuk mengecek keadaan" Marno menjawabnya dengan anggukan.
Suara derap kaki terdengar mendekat kearahnya, tapi Marno yakin itu bukan suara langkah Suryo. Marno segera bersembunyi di balik tembok.
"heh kamu.. bangun!" Marno sekilas melihat wajah orang itu, ia ingat dia adalah orang yg sama yang menangkap ayahnya.
"makananmu sudah datang! cepat makan! atau akan ku buang makanan ini! " teriaknya dengan tangan kanannya yang menyiram air kearah Ayah Marno."Dasar pemalas, merepotkan orang saja! bangun!" orang itu membuka borgol yang diikatkan ditangan Ayah Marno, sebelum ia keluar ia menendang makanan kearah ayah Marno. Marno yang tak kuat menahan emosi, ia menarik seragam yang dipakai penjaga itu dan memukulinya secara bertubi-tubi.
Penjaga lain yang mendengar keributan tersebut berlari kearah mereka.
"apa yang kalian lakukan?" suara penjaga itu sambil menghunuskan pedangnya.
Dengan berani Marno menyerang tiga penjaga sekaligus. setelah beberapa menit mereka saling melempar serangan, Marno mulai kewalahan dengan pertarungan tiga lawan satu, tanpa Marno sadari salah seorang penjaga itu berhasil menusuk perut dan kaki Marno, darah segar mengalir dari perutnya. Marno jatuh terlentang ia melihat prajurit itu mengangkat pedangnya dan mengarahkan kearah kepalanya, Marno berusaha untuk menghindari serangan itu tetapi tidak ada sisa kekuatan yang ia punya, Marno menutup matanya dia hanya bisa pasrah dan berdoa dalam keadaaan seperti ini. Marno yang tidak merasakan apa-apa dia mencoba membuka mata ia melihat didepan matanya kepala ayahnya yang sudah mengalir darah begitu banyak.
"Ayahhh!!," teriak marno.
Dari sisi lain Suryo yang merasa ada yang tidak beres, ia segera berlari menuju Marno dan ternyata benar setelah sampai di markas Suryo melihat temannya tergeletak tak berdaya melawan para prajurit, tanpa basa basi Suryo langsung membantu Marno melawan para prajurit tersebut. Pergulatan antara Suryo dan Marno melawan 3 orang prajurit semakin sengit.
“Ayo Marno kita harus bisa melawan 3 orang gila ini, kita harus segera keluar dan membawa mayat ayahmu dengan selamat, kasihan ayahmu..” Dengan adanya afirmasi dari Suryo tersebut membuat Marno bangkit dengan semangat yang tinggi, seakan dia benar-benar tidak merasakan luka yang telah menusuk perut dan kakinya. Pertarungan pun berlanjut Marno dan Suryo melawan dengan sekuat tenaga dan menggunakan senjata seadanya.
Dipojok ruang terdapat besi yang besar, ketika salah satu prajurit mulai lengah Suryo mengambil besi tersebut dan memukulkannya dari belakang, prajurit teersebut langsung pingsan dan berdarah bagian kepalanya. Strategi perlawan Suryo dan Marno sangat hebat karena mereka sering berlatih bersama.
“ini bagaimana kita bisa keluar Suryo? Kasihan ayahku jika tidak segera dimakamkan” suara lirih Marno yang hampir putus asa.
“cepat lawan yang satu ini, aku punya sesuatu untuk menyelesaikan masalah ini” bisik Suryo dengan tegas kepada Marno agar dia tetap semangat melawan prajurit yang berbadan besar itu.
“aku tidak akan membiarkanmu hidup!!!!!!!!! Kamu telah membunuh ayahku! Menusuk kepala ayahku!” teriakan Marno kepada prajurit badan besar yang sedang bertarung dengannya.
“creppppppppppp” besi menusuk perut sang prajurit berbadan besar, dengan penuh amarah dan terdesak Marno melakukannya
Setelah melakukannya Marno langsung menggendong mayat ayahnya keluar dengan tangisan, air mata terus mengalir tanpa diinginkan. Marno kecewa dengan dirinya sendiri karena bisa menyelamatkan ayahnya keluar dari markas ini tetapi dengan tidak bernyawa. Marno berusaha berdamai dengan keadaan yang sedang terjadi padanya. Keadaan Marno sangat hancur, tidak ada ungkapan yang bisa menggambarkan keadaannya. Menggendong mayat ayahnya keluar dengan tatapan kosong. Langkah demi langkah dilaluinya dengan sangat tulus.
“dummmmmmmmmm” suara ledakan besar dari dalam markas tersebut terdengar oleh Marno, setelah menoleh ke belakang tenyata ada api besar yang mulai menyelubungi markas tersebut. Suryo berlari keluar dengan selamat menyusul Marno. Marno yanng benar-benar tidak tahu bahwa penyebab terjadinya kebakaran itu karena ulah dari rencananya Suryo. Mereka keluar dengan selamat dengan suasana yang megharukan.
Dengan perjuangan yang amat berat, keduanya berhasil melewati rintangan yang berkelok kelok. Amukan besar dari sang merah dibelakang mereka, menjadi bukti akan kerja kerasnya. Keduanya berjalan lurus menghiraukan suara suara serdadu yang hilir mudik tak karuan. Mereka berhasil keluar dari neraka yang amat kejam. Misi yang selama ini dirancang akhirnya tamat.
Namun ada pilu di hati seorang anak. Tujuannya dari misi ini tak lain dan tak bukan hanya untuk menyelamatkan sang pelita. Namun sang pelita telah lenyap. Digantikan tubuh kaku yang sudah tak bernyawa. Dengan gemetar salah satu dari mereka memandikan tubuh kaku tersebut. Menggantikan pakain yang lusuh dengan kain putih yang indah.
Sang anak tahu ini merupakan terakhir kali baginya untuk menatap sang pelita. Rasa penyesalan kembali meliputi hatinya. Ia ingin memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan sang pelita. Namun itu sia-sia, semua ini sudah kehendak sang pemilik semesta. Tak ada satupun yang bisa mengubah alur sang pemilik semesta. Sekarang hanya ada rasa ikhlas untuk merelakan sang pelita.
Oleh kelompok 4 :
Annisa Rahmadini (06)
Dawala Al Fadhli (09)
Isnaini Rahmatul Mujahidah (15)
Reza Ari Firmansyah (28)
Utari Nur Sofi (32)