Sepuluh Nopember

2 1 0
                                        

Marno mulai merangkak lagi. Di depan mukanya ada batu besar. Dengan sendirinya ia menuju ke sana. Desingan peluru keras karena ia memasuki daerah tembakan lagi. Di dekat batu itu ia tiduran menelungkup badan gemetar semua, ketakutan dan harapan mendorongnya maju.Waktu melewati batu itu, pantatnya tergesek. Meskipun lelah dan sakit, angin yang bertiup saat itu terasa juga.

Marno merangkak terus diburu takut, diimbau oleh harapan. Dan ia teringat cerita ayahnya tentang surga. Ia bayangkan bahwa surga itu seperti bukit yang kini di hadapannya. Bukit yang hijau dan aman. Dan ia merasa seperti merangkak dari neraka ke surga lewat jembatan Siratalmustakim yang terentang di atas parit menyala-nyala.

Sebelum kekacauan di Rana Perang itu terjadi, Marno salah satu pejuang dan relawan tengah berkumpul dengan rakyat Surabaya dan membincangkan Ultimatum yang baru dikeluarkan oleh Mayor Jenderal Eric Garden Robert M.

Marno hanya rakyat biasa. Tinggal di pinggiran kota Surabaya. Ayah dan ibunya hanya seorang petani biasa. Dia tak pernah mengenyam pendidikan apapun bahkan ia tidak pernah sekalipun memegang persenjataan. Sehari-hari ia habiskan untuk membantu orang tuanya bekerja di sawah. Jiwanya terpanggil untuk berjuang membela negaranya meski ia tak setangguh TNI dan tak sepintar seorang Sarjana. Tapi jiwa dan raganya untuk rakyat Indonesia.

Setelah gencatan senjata antara Indonesia dan pihak tentara inggris pada tanggal 29 Oktober 1945, keaadan Indonesia berangsur-angsur mereda.

Namun bentrokan senjata ini memuncak lagi ketika terbunuhnya salah seorang pimpinan Tentara Inggris, Brigadir Jenderal Mallaby. Amarah pihak inggris memuncak yang membuahkan ultimatum baru dari pengganti Brigadir jenderal Mallaby. Pihak Indonesia diminta menyerahkan persenjataan dan juga ancaman akan menggempur kota Surabaya apabila tidak menaati peraturannya.

Namun ultimatum tersebut tak ditaati oleh rakyat surabaya, termasuk Marno. Marno dan teman seperjuangannya Parjo tidak mau jika diminta melaksanakan perintah dari pihak Inggris.

“Bagaimana bisa aku mengikuti perintahnya, lagipula kita kuat bung, jika mereka memang akan menggempur surabaya, aku tak takut melawan mereka.” Ucap Marno tegas kepada Parjo.

“Walaupun begitu tetap hati-hati no, mereka bersenjata lengkap sedangkan kita hanya bermodal bambu runcing.” Jawab Parjo.

“Tak peduli senjatanya bung, kalau perlu akan ku serahkan jiwa ragaku” Tegas Marno.

“Terserah kau, mari bersiap.” Ucap Parjo sembari menyiapkan persenjataannya.

Setelah bersiap Marno dan Parjo kembali bertemu. Parjo bertanya kepada Marno. “Kau tak takut mati bung?” Tanya Parjo. “Untuk apa? Dimana ada perang tanpa pengorbanan. Memang kau takut?," tanya Parjo tersenyum tipis.

“Aku tak akan takut jika ada bung Parjo bersamaku.” Jawab Marno tegas.

“Aku tak akan lama bersamamu, sudahi sikapmu yang bergantung itu.” Jawab Parjo santai.

“Ayahku juga berjuang untuk negara, bayangkan saja surga di depan ketika berperang, katanya.” Ucap Marno yang hanya dibalas anggukan oleh Parjo.

Penolakan rakyat Surabaya yang menyebabkan terjadinya pertempuran yang menumpah darahkan ribuan koban. Tepat pada tanggal 10 Nopember 1945 pertumpahdarahan di kota Surabaya pun terjadi. Perperangan yang terjadi karena perselisihan antara massa dengan tentara Inggris berujung bentrokan. Ketegangan semakin terasa di Surabaya, antara pemuda dan pejuang kemerdekaan dengan pasukan Inggris.

Marno, parjo dan masayarakat segera menyusun strategi untuk melakukan balasan genjatan senjata yang telah dilakukan oleh pasukan inggris.Parjo  pun bersiap untuk menyerang tetapi karena senjata yang dibawa hanyalah bambu runcing mereka tidak berani maju hanya membelakangi pasukan inggris untuk melakukan serangan dari belakang.

“MERDEKA!!! MERDEKA!!!” Sorak pejuang berlari-lari sembari membawa senjata bambu runcing mereka. Gemuruh suara pesawat terbang berkeliaran di atas kota Surabaya.

“Berlindung!” Teriak Marno pada segerombolan rakyat yang sedang menampakkan raut kepanikan. Pertumpah darahan di kota Surabaya pun terjadi. Parjo pun berhasil menumpas salah satu pasukan inggris dan menggambil senjata untuk diberikan kepada marno. “HATI HATI BUNG!! Dari belakang!!” Teriak Marno yang menyadari bahwa pasukan Inggris mulai menyerang dari belakang.

Marno pun mencari tempat persembunyian yang aman dari penglihatan pasukan inggris. Parjo  kembali  untuk membelakangi pasukan inggris lainnya. Tetapi naif, Parjo diketahui oleh tentara Inggris, kalau dia ingin menumpasnya, perperangan antara parjo dan tentara inggris pun terjadi tembakan pistol   tentara  inggris  terdengar, Marno dan pejuang Indonesia panik, ingin melihat parjo yang kala itu sendiri untuk membelakangi pasukan tentara inggris. Rasa cemas Marno kepada sahabatnya itu mulai menghantui perasaanya.

Suara tembakan yang hanya sekali  Marno berpikir apakah Parjo tertembak mati oleh tentara inggris. Marno yang saat itu sembunyi berusaha untuk keluar dari persembunyiannya dan menanyakan kepada para pejuang lainnya gimana keaadaan parjo saat ini.

“Dimana bung Parjo? Dia selamat?”, tanya Marno dengan nafas tersengal-sengal.

“Belum tau bung” Jawab salah seorang pejuang. Pada saat itu Parjo saat itu memisahkan diri. Ketika ia kira di luar sudah aman Marno dan pejuang lainnya menyusun strategi untuk mencari tahu tentang kondisi parjo.Marno pun berpisah dari pejuang lainnya  dengan membawa senjata culikan dari Parjo.

Marno berpencar dari pejuang lainnya untuk mencari parjo dengan membawa senjata yang dimiliki parjo, ketika ditengah perjalanan marno mendengarkan suara tembakan lagi marno bersembunyi karena tau itu adalah tentara Inggris, ketika keadaan sudah aman marno mulai lagi untuk mencari Parjo. “Bung kau dimana, tolong selamat bung, kau janji akan hidup dan mati bersama untuk negeri ini, kembali bung.” Ucap Marno lirih tanpa sadar air matanya mulai jatuh. Setelah mencari selama beberapa jam akhirnya marno sudah menemui parjo dengan keadaan parjo yang tewas tertembak. Ia tak dapat berkata apapun. Suara gemuruh tembakan yang sangat keras di tempat itu sama sekali tak terdengar di telinga Marno. Ia hanya tak percaya apa yang ada dihadapannya sekarang ini. Marno marah, kesal.

Tak lama kemudian mulai terdengar dentuman granat. Ia lari sekencang-kencangnya. Namun semuanya sia sia, kakinya tertembak. Ia tersungkur dibalik batu besar. Satu persatu tentara Inggris gugur yang menandakan bahwa negeri kita akan menang. “MERDEKAA!!” Teriak salah seorang pejuang Indonesia. Dibalik batu besar, terukir senyuman Marno. “Kalau kau mati demi negara, aku juga.” Tak lama setelah ucapan itu keluar dari mulut Marno. Marno tergeletak tak bernyawa di Balik batu besar. Kini janjinya bersama sahabatnya terpenuhi.

Oleh Kelompok 6 :
Azam Yasir (07)
Hilyah Rizqiyyah Annabila (14)
Muhammad Shihab Nurdin Az-Zuhri (20)
Muhammad Zainal Fanani (23)
Secha Camelia Ramadhan (30)

MarnoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang