0.1 CEMARA PENUH LUKA

433 288 597
                                    

Hy Guys ^^

Kalian apa kabar nihh, semoga selalu dalam keadaan baik ya :)

Jangan lupa bantu vote ceritanya jika kalian suka, biar aku lebih semangat update ceritanya 😺🙏

Happy Reading Guyss <3

"Non, tadi Nyonya dan Tuan menelpon, mereka bilang akan pulang malam ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Non, tadi Nyonya dan Tuan menelpon, mereka bilang akan pulang malam ini."

Itulah kalimat pertama yang di tangkap oleh indra pendengar Kiya. Jantungnya langsung berdegup kencang, dihantui oleh rasa kekhawatiran. Mengapa kedua orang tuanya pulang? Apa yang akan mereka bahas? Jarang sekali dua makhluk hidup itu menginjakkan kaki di rumah ini.

"Terima kasih, Bii."  Fake smile terukir di wajah cantiknya.

Seorang Adzkiya Savita Raykhan memang selalu begitu, dia tidak ingin orang-orang melihat sisi lemahnya. Bagaimanapun kondisinya, dia akan selalu tampil ceria di hadapan semua orang.

📍🐼📍

Senja telah pergi dengan cahaya merahnya. Sekarang hanya ada bulan dengan cahaya redupnya. Entah mengapa, sang bintang tidak turut hadir hari ini.  Cahaya yang begitu gemerlap-gemerlip itu, tidak ingin menemani Kiya di malam yang mendebarkan ini.

Waktu terus saja berputar dengan cepat, bahkan tak jarang kita tak menyadarinya. Seakan kita dipaksa untuk menerima apa pun yang akan terjadi. Begitupun dengan keadaan Kiya saat ini. Klakson mobil dari sang ayah telah menggema seisi rumah.

"Pak, buka gerbangnya," titahnya kepada satpam yang berjaga.
"Baik, Tuan."

Jantungnya semakin berdegup kencang, bahkan detak jantungnya saat ini telah mengalahkan kecepatan cahaya. Berjalan ke arah cermin dan melihat pantulan dirinya sambil berucap,"gak perlu takut dulu, Kiya. Mama sama Papa pasti mau lihat keadaan kamu." Ia pun berusaha menghempaskan rasa khawatir.

Kaki-kakinya yang ramping pun mulai menuruni satu persatu anak tangga. Di ruang makan itu, telah duduk dua orang yang sangat ia kenali. Kedua manik matanya tidak sengaja eyes kontak dengan wanita dan pria paruh baya yang sudah menunggunya. Ia pun segera menuju ke kursinya.

"Papa sama Mama apa kabar? Kiya kangen banget sama Papa dan Mama," ujarnya antusias dengan senyuman merekah.

"Makan dulu, baru bicara," balas Papanya yang berusaha tenang memakan makanannya.

Kiya pun tersentak kaget, dia lupa bahwa saat ini mereka sedang makan keluarga (di keluarganya tidak boleh berbicara sebelum semuanya selesai makan). Kiya pun segera melahap makanan yang ada dihadapannya dengan tenang.

"Bagaimana nilai kamu di sekolah?" tanya Rosa---Mama Kiya---setelah semuanya selesai makan.

"Nilai Kiya baik-baik aja kok, Ma. Terus minggu depan Kiya ada perlombaan fisika antar sekolah, Ma." Rentetan gigi putihnya terpancar, memperlihatkan bahwa ia sangat bahagia.

"Di perlombaan sebelumnya, kamu mendapatkan juara berapa?" Sekarang Chris---Papa Kiya---lah yang bertanya.

"Lomba sebelumnya, Kiya Alhamdulillah dapat juara dua, Pa. Tingkat nasional lohh," jawabnya begitu percaya diri.

"KAMU INI BIKIN MALU KELUARGA SAJA!! Sudah berapa kali saya bilang, jika ada perlombaan, seriuslah dalam menghadapinya. Mengapa bisa mendapatkan peringkat yang memalukan seperti itu?" bentak Chris yang membuat Kiya terperanjat kaget. Kedua manik matanya mulai berkaca-kaca.

"Maafin Kiya, Pa. kemaren Kiya sakit, makanya kurang fokus belajarnya," ucapnya lirih. Ia berusaha menahan agar air matanya tak keluar.

"Alasan saja kamu, SAYA TIDAK INGIN MENDENGAR KABAR SEPERTI INI LAGI," ucap pria itu dengan wajah merah padam tersulut amarah. "Ini salah kamu juga, berapa kali saya bilang, kamu itu harus pantau belajarnya Kiya. Ini terjadi karena kamu terlalu memanjakannya," lanjutnya dengan melirik tajam ke arah Rosa, istrinya.

"Kok Mas salahin aku. Aku kan bantuin Mas di kantor. Lagian belajarnya udah aku pantau, Mas. Sebelum lewat jam 1 dini hari, Kiya tidak boleh lepas dari meja belajarnya. Begitupun setelah pulang sekolah dia langsung les," bantah Rosa karena merasa tidak ingin disalahkan.

"Kamu ibunya, jadi dia tanggung jawab kamu. Pokoknya saya tidak ingin lagi mendengar kabar seperti ini," tegasnya dengan mendelik tajam ke arah kedua wanita itu.

"Udah Pa, Ma. Udahhh, maafin Kiya, Pa. Kiya janji gak bakal ngulangin ini lagi. Tapi, Papa sama Mama gak usah ribut," pintanya dengan air mata yang sudah tak dapat dibendung lagi.

"Kembali kamu ke kamar dan belajar. Papa sama Mama kembali ke kantor," balas pria itu dengan wajah datar tak peduli.

"Iya, Pa." Ia mulai melangkahkan kaki menuju kamarnya.

Setelah sampai di kamar, ia pun mendudukkan diri di ujung ranjang tidur. Hatinya kembali tersayat-sayat oleh orang sangat ia sayangi. Apakah mereka tidak mengkhawatirkan keadaannya? Bukankah Bi Imah sudah mengabari perihal dia yang mengalami demam tinggi saat itu. Walau begitu ia sudah tetap berusaha, di tengah kepalanya yang pusing tujuh keliling, tetap bukulah yang berada di penglihatannya.

"Pa, Ma. Sakit... Hati Kiya sakit, Pa. Padahal Kiya benar-benar sudah berusaha di lomba sebelumnya. Namun, kenapa usaha Kiya gak Papa hargain."

"Kiya kemaren sakit, Pa, Ma. Kenapa Papa sama Mama gak ada yang nanyain kondisi Kiya? Kenapa kalian gak pernah peduli sama Kiya?"

"Saat nilai Kiya turun, dimaki-maki. Saat nilai Kiya bagus, gak diapresiasi. Capek juga gini ya..."

Rasa sakit yang ada dihatinya semakin memuncak, dengan terhuyung-huyung ia mulai berjalan ke arah meja belajarnya. Saat sampai disana, tangan kanannya sibuk mencari sesuatu, sampai benda itu berada di genggamannya.

"Pa, Ma. Kapan Kiya bisa ngerasain yang dirasain teman-teman Kiya. Kiya juga ingin punya keluarga cemara, bukan keluarga yang merupakan sumber dari segala luka," tuturnya dengan tatapan kosong ke arah cutter yang ada di genggamannya.

"Kiya sayang Papa dan Mama."  Ia mulai menggoreskan cutter tersebut ke arah pergelangan tangan kirinya. Ada sensasi tersendiri yang dirasakan saat melakukannya, seperti ada rasa lega. Banyak darah yang mengalir dari area luka. Namun, ia tetap merasa tidak puas dengan satu goresan saja. Hal ini terus berlanjut beberapa kali, hanya untuk memenuhi hawa nafsunya.

Setelah merasa puas, dia pun membersihkan darah-darah yang berserakan di lantai kamar. Bergegas menuju WC dan membersihkan lukanya dengan kasar. Lalu dia pun kembali ke meja belajar dan mulai melakukan rutinitas hariannya. Ia tidak ingin lagi hal yang sama terulang. Ia akan berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan pengakuan dari kedua orang tuanya dan memperoleh keluarga yang diimpi-impikannya.

*****

Gimana nih guyss chapter 1 nya??

Kasian banget Kiya ya guyss, ada yang ngalamin hal yang sama? Kalau ada, You're Strong, Semangatttt (⁠◍⁠•⁠ᴗ⁠•⁠◍⁠)

Semangattt yang sedang berusaha mengejar mimpinya, lelah mungkin bisa datang tapi menyerah jangan yaaa ^^

Bantu vote, komen and follownya ya guyss 👀🙏

BAYU ( Bye and See You ) 


Revisi : 15/03/2023

MENCINTAIMU TANPA AKHIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang