Katanya, banyak luka yang sebenarnya tidak pernah bisa disadari oleh manusia. Kadang, mereka akan menutup mata dan telinga agar luka itu tidak dapat dirasa. Haruskah tetap seperti itu?
Kebencian akan tetap tumbuh selagi akar dari masalahnya tidak diketahui, saat rahasia tentang kebenaran yang sesungguhnya belum terkuak, manusia bisa apa?
Malam itu, Zhea berdiri didepan cermin besar yang ada di kamarnya. Memperhatikan beberapa memar yang masih terlihat pada bagian lengannya. Andai ayahnya masih ada bersamanya, mungkin ia akan segera memeluk tubuh ringkih milik putri kecilnya.
Perasaan takut akan dibenci sang kaka, membuat Zhea melakukan hal paling bodoh sepanjang hidupnya.
Zhea masih ingat, kapan terakhir kali ia merasa menjadi manusia, saat tragedi paling tak manusiawi terjadi didepan matanya. Zhea benci menjadi pusat perhatian sejak hari itu.
"Harusnya, nggak gini kan? Harusnya Lo tepati janji buat terus sama gue," katanya sembari terus menatap pantulan dirinya didalam cermin.
Saat sunyi hampir menguasai, suara dering ponsel milik Zhea berdering. Tertera nama Gibran disana.
"Halo, ini gue," sebuah suara yang akhir-akhir ini memenuhi isi kepalanya seketika terdengar.
"Leon?" tanya Zhea memastikan.
"Iya, ini gue, Leon. Gue pinjem handphone Gibran karena dia bilang kalau dia punya nomer Lo. Bisa ketemu?" tanyanya penuh harap, di sebrang sana ia terus menatap langit malam dengan Cemas.
"Dimana?" ucap Zhea setelah meyakinkan diri beberapa saat.
"Taman Deket sekolah? Gue disini," katanya segera memberi lokasi.
"Gue kesana," setelahnya, panggilan ditutup.
Zhea segera memakai jaket tebal yang tergantung dibalik pintu, lalu tidak lupa memakai sepatu karna malam ini terasa lebih dingin dari biasanya.
Rumah kediaman Vergara tampak sepi, lampu-lampu yang biasanya bersinar terang kini sengaja dimatikan.
Zhea berjalan dengan begitu hati-hati, karena jika ia menimbulkan suara sedikit saja, maka ia sudah dipastikan tidak akan selamat.
Sepertinya keberuntungan tengah berpihak pada Zhea, tapi siapa yang peduli dengan itu sekarang?
Setelah berhasil mengeluarkan mobil miliknya dari garasi, Zhea segera membelah jalanan ibu kota malam itu, dengan ditemani sunyi yang berkepanjangan.
Setelah memarkirkan mobil didekat taman, Zhea segera mencari keberadaan Leon yang katanya sudah menunggunya.
Tak banyak orang yang berkunjung malam itu, hanya beberapa pasang anak muda yang terlihat tengah menikmati malam yang sunyi berdua. Diantara beberapa manusia itu, hanya satu orang yang menarik perhatian Zhea.
Sosok laki-laki dengan kaos putih polos yang tampak berdiri membelakanginya, dan ia tahu bahwa laki-laki itu yang saat ini tengah ia cari.
Zhea melangkah mendekat, sesekali ia akan memeluk erat tubuhnya sendiri yang terbalut jaket tebal guna menghangatkan tubuhnya yang terasa seperti akan membeku.
"Leon?" panggil Zhea saat dirinya sudah berada tepat dibelakang Leon.
Leon berbalik, menatap Zhea sesaat sebelum tanpa aba-aba memeluk erat tubuh dingin Zhea.
Zhea tak bereaksi, seperti ada sesuatu dalam hatinya yang membuat gadis tangguh itu mendadak membantu. Zhea yang bingung harus bereaksi apa, mau tak mau jadi membalas pelukan erat sang kekasih, menyalurkan kehangatan yang mungkin tengah dibutuhkan Leon.
Mereka berpelukan cukup lama, entah apa yang membuat keduanya seakan betah dengan posisi seperti itu.
"Maap, untuk semua hal yang telah gue lakuin. Maap," tutur Leon pelan, dengan kepala yang tertunduk dan sedikit Isakan kecil yang masih bisa Zhea dengar.
"Hei, Lo nangis?" tanya Zhea memastikan. Tapi seakan enggan menjawab, Leon hanya berdiam diri tanpa suara.
Zhea tau ini sulit, jadi ia menarik pelan tangan Leon untuk ia bawa pada bangku panjang taman. Ia ingin Leon bisa terbuka padanya, menganggapnya ada meski tidak selalu dianggap istimewa.
"Jadi, gue disuruh kesini. Cuman buat didiemin doang?" sindir Zhea telak.
Leon menoleh, dan dapat Zhea liat penampilan Leon dengan jelas karna wajahnya tersorot tepat oleh lampu taman.
Mata yang merah, hidung yang sembab dan rambut yang berantakan.
"Apa yang terjadi? Cerita sama gue Yon," pinta Zhea memohon.
"Gue ngga bisa berhenti Zhe, gue ngga bisa. Lo udah tahu sehancur apa gue kan?" tanyanya dengan tatapan malu.
Zhea mengigit bibirnya kuat, menatap Leon lembut untuk pertama kalinya.
Tatapan teduh yang selalu Leon cari dari mata hitam legam itu akhirnya terlihat. Leon menemukannya!
Leon tak dapat menahan diri, jadi ia segera memeluk Zhea erat sekali lagi, seakan jika ia melepaskannya maka Zhea akan pergi jauh meninggalkannya.
"Gue terlalu takut kehilangan Lo, gue takut ngga bisa cinta sama seseorang sebesar gue cinta sama Lo," tutur Leon pelan nyaris seperti berbisik.
"Sebentar Zhe, sebentar. Gue cuman butuh pelukan hangat Lo kali ini," sambungnya memohon.
Zhea mengangguk pelan, membiarkan kali ini Leon yang memegang kendali. Leon tersenyum haru tapi air matanya seakan tak tahu malu karena terus menetes dan membasahi jaket milik Zhea.
Setelah cukup lama, Leon akhirnya melepaskan pelukan panjang itu. Ditatapnya mata indah yang senantiasa selalu menjadi tempat favoritnya. Leon tanpa sadar sudah terlalu dalam menyelami mata indah Zhea.
Keduanya terus larut dalam malam yang dingin dan sunyi, tanpa suara tapi keduanya tau bahwa mereka tengah menguatkan satu sama lain.
"Zhe, gue ngga tau kenapa gue bisa sesuka itu sama Lo. Gue ngga tahu kapan dan bagaimana gue jatuh begitu dalam dengan pesona Lo," Leon kembali berucap panjang lebar, dengan mata yang kini tertuju pada langit dengan banyak bintang yang menghiasi.
"Lo terlalu sempurna untuk gue yang ngga ada apa-apanya, Zhe. Gue Takut Lo hilang saat gue berbalik, gue takut Lo pergi saat gue baru aja akan kembali, dan gue jadi serakah dengan minta Lo buat terus disini sama gue," sambungnya dengan diakhiri tawa miris dari laki-laki berusia 18 tahun.
"Udah ngomong panjang lebarnya?" tanya Zhea mengakhiri omongan panjang Leon.
Leon kembali menoleh, memberikan giliran untuk Zhea berbicara kali ini.
"Gue ngga nyangka Lo bisa sesuka itu sama gue. Dan gue ngga berharap di cintai sebegitu hebatnya sama Lo, karena gue ngga pantes dapetin itu Yon. Gue ngga pantes," kata Zhea mengungkapkan isi hatinya.
"Tapi gue mau Lo berhenti buat minum, bisa?" tanya Zhea tiba-tiba mengalihkan topik.
"Gue udah nyoba Zhe, tapi sulit. Gue mau nolak tapi tubuh gue maksa buat terus lanjutin itu," katanya dengan kaki yang bergerak-gerak dengan tak nyaman, mencoba merangkai kata-kata yang sekiranya tidak akan menyakiti perasaan wanita rapuh disampingnya.
"Tapi Lo mau nyoba kan Yon?" tanya Zhea berharap.
"Gue mau Zhe, gue selalu mau. Tapi kadang gue bisa jadi manusia nggak tahu diri yang selalu melanggar aturan yang udah gue buat sendiri," jawabnya ragu.
"Gue disini, Lo ngga usah dikhawatirkan apapun karena gue disini. Lo cuman perlu melangkah untuk melakukan sedikit perubahan," ucap Zhea menyemangati tanpa sadar.
Keduanya jadi saling bertatapan, dan malam itu menjadi malam paling manis yang pernah Leon rasakan dan hidupnya.
Berbicaralah padaku, maka kamu akan mengerti bahwa aku selalu ada disini
KAMU SEDANG MEMBACA
Si gadis Figuran
Teen FictionSemua berawal dari kebohongan kecil yang malah berakhir menjadi kebencian besar yang tak bisa terelakkan. Zhea Xavier Vergara namanya, gadis remaja biasa yang selalu menjadi sasaran kemarahan sang Mama saat mimpi buruk itu kembali menghampirinya. Zh...