Sudah hampir dua jam Zhea duduk bersama tiga sahabat pacarnya menunggu Leon. Tak ada yang berbicara, karna ini memang bukan situasi yang tepat untuk berbincang atau saling menyapa.
Zhea begitu panik hingga membuat tangannya terasa dingin dengan getaran-getaran kecil yang terasa begitu menyebalkan. Bukan hanya memikirkan soal Leon, tapi juga memikirkan tentang kemarahan sang mamah yang mungkin saja bisa membuatnya mati dalam seketika.
Suara pintu yang terbuka membuat keempatnya menoleh, disana sudah
Berdiri seorang pria berkumis tipis yang memakai seragam polisi lengkap.Zhea lebih dulu berdiri, diikuti ketiga laki-laki disampingnya.
Sepertinya Leon sudah selesai diinterogasi, apakah setelah ini Zhea bisa menemuinya?
"Zhe, handphone Lo bunyi terus, mungkin ada hal penting?" kata Revan memberitahu, membuat Zhea yang sedari tadi tak memperhatikan apapun jadi kembali tersadar.
Saat benda pipih berwarna biru itu Zhea ambil dari dalam tas nya, nama mama langsung tertera disana. Seakan ada alarm darurat yang menyala otomatis dalam kepala Zhea, membuatnya secara spontan segera mengangkatnya tanpa pikir panjang.
Perbincangan antara keduanya tak lebih dari caci maki yang sudah biasa Zhea dengar, dan perbincangan itu langsung diakhiri dengan perintah cepat pulang dari Zara.
"Kayanya gue harus cepat pulang. Oh Iyah, gue bisa minta nomor kalian buat tau keadaan Leon nanti?" Gibran yang mengerti, lantas dengan suka rela memberikan nomor ponsel miliknya.
Setelahnya Zhea pergi, meninggalkan kantor polisi dengan perasaan kalut. Ia tak takut jika nanti dirinya benar-benar harus mati, tapi Zhea khawatir karena masih punya beberapa hal yang harus dirinya lakukan sebelum kematian itu terjadi.
Zhea telah sampai di rumah, ia hanya berdiri mematung di ruang keluarga dan memperhatikan rumah itu seperti kosong tak berpenghuni. Sepertinya les privat Zhia sudah berakhir, tapi kemana perginya semua orang?
Zhea pergi ke dapur untuk mengambil air, disana ia membuka kulkas dan mengambil air lalu lantas meneguknya.
"Zheaa!" suara nyaring Zara terdengar menggema memenuhi seluruh ruangan kediaman Vergara.
Zhea mengedarkan pandangannya mencari dimana asal suara nyaring itu, dan ternyata mamahnya dan Zhia sudah berdiri di lantai atas dengan wajah kesal mereka.
Zhea meletakan botol minum yang sedari tadi dipegang nya pada meja kaca, lalu segera berjalan menghampiri dua orang monster yang seakan siap menelannya hidup-hidup.
"Berani kamu kabur dari sini hah?! Berani melanggar aturan dari saya? Itu tandanya kamu sudah siap menerim konsekuensinya bukan?" teriak Zara dengan napas memburu menahan amarah.
Zara memandang Zhea tajam, seakan gadis didepannya adalah manusia paling berdosa yang harus dirinya lenyapnya sekarang juga.
Tapi ada yang aneh dalam mata tajam Zhea, seperti ada sesuatu yang berharga yang tak pernah dimiliki orang lain bahkan kembarannya, Zhia.
Zhea terlalu mirip dengan orang yang paling dikasihinya, Zayyan. Tapi mengingat fakta bahwa gadis didepannya adalah alasan dirinya mengalami kehilangan dan mimpi paling buruk dalam hidupnya, membuat ia jadi gelap mata.
Ditariknya tangan dingin itu kuat, lalu dengan kekuatan penuh ia dorong tubuh Zhea hingga membentur dinding kamar mandi kencang.
"Jangan lagi mah, jangan." Pinta Zhea memohon, dia akan menerima hukuman apapun tapi tidak dengan yang satu ini.
"Kamu sudah membuat saya marah anak sialan, dan kamu harus mendapatkan hukuman yang setimpal!" tegas Zara tak bisa dibantah.
Setelahnya, Zhea bisa merasakan air yang mengalir diatas kepalanya, membuatnya jadi bergetar hebat akibat kedinginan.
Zhea mempunyai satu kelemahan yang hanya diketahui oleh ayahnya saja, Zhea mempunyai alergi dingin yang mematikan. Ia akan mati, jika hukuman ini terus berlanjut.
Belum sampai lima menit, tubuh Zhea sudah memburu dan pandangannya menjadi buram.
Semua memori dikepalanya terasa berputar hebat, apakah saat ini sudah saatnya Zhea meninggalkan dunia dan menjadi kupu-kupu yang terbang tinggi seperti harapannya?
Zhea masih sempat tersenyum hangat sebelum gelap mengambil alih. Zhea tak mengingat apapun setelah itu.
Zhea perlahan membuka kedua matanya, namun cahaya terang yang memaksa masuk kedalam Indra penglihatan nya membuat ia segera menutup mata dengan kedua tangannya.
Tempat itu begitu putih dan bersih tanpa noda, dan ada cahaya terang yang mengelilingi tempat itu.
Zhea mengedarkan pandangannya dan melihat seorang pria paruh baya yang melihat kearahnya dari jarak yang lumayan jauh.
Terlalu jauh jarak diantara keduanya, jadi Zhea tak begitu jelas melihat wajahnya, dan itu menyebalkan.
Samar-samar Zhea mendengar suaranya, suara yang terdengar familiar tapi Zhea lupa siapa pemiliknya.
"Pulang sayang, belum waktunya kamu disini," katanya pelan, lalu sosok itu menghilang digantikan cahaya terang yang begitu menyilaukan kedua matanya.
Dimana?
Apakah Zhea sudah berubah menjadi kupu-kupu yang terbang bebas?
Atau dia sudah ada ditempat yang sama dengan sang ayah?
Zhea membuka mata dengan napas memburu, kembali memperhatikan ruangan yang terasa begitu berbeda dengan yang sebelumnya. Tak ada warna putih atau cahaya yang terang.
Dia masih hidup.
Sekujur badannya terasa begitu sakit, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa selain menggedor pintu kamar mandi yang dingin. Sial, harusnya dia sudah mati sekarang.
"Mah, buka!" pinta Zhea memohon, tangan kecilnya terus mencoba menggedor-gedor pintu kamar mandi berharap ada sedikit harapan untuk bisa keluar dari sana.
"Mah sakit," Zhea terus merintih kesakitan. Meski tak dapat dipungkiri bahwa luka dihatinya jauh lebih besar dari luka fisiknya.
"Mah buka," suaranya kian melemah, tapi tak ada sahutan dari luar membuatnya jadi putus asa.
Sebelum benar-benar tak sadarkan diri, Zhea masih sempat melihat seseorang membukakan pintu untuknya, namun sayangnya Zhea tidak bisa melihat dengan jelas.
"Kamu aman, aku janji,"
Zhea kembali membuka mata untuk yang kesekian kalinya, kali ini dia ada di sebuah ruangan yang terasa familiar.
Dia sudah berada ditempat yang seharusnya, kamarnya.
"Kepala gue," Zhea merintih sembari memegangi kepala sebelah kanannya kuat. Rasa pening yang entah sampai kapan akan terus menghantuinya, terasa semakin sakit setiap saat.
Meski pening di kepalanya tak kunjung hilang, tapi berdiam diri di ranjang juga bukanlah ide yang bagus.
Zhea segera melangkah menuju tirai jendela, membukanya dan membiarkan cahaya senja berwarna jingga masuk kedalam kamar miliknya.
Sudah berapa lama Zhea ada didalam ruangan mengerikan itu?
Dan siapa malaikat penolong yang membuatnya tetap hidup?
Manik mata kehijauan milik gadis penuh luka itu terus tertuju pada langit jingga yang sebentar lagi akan sirna ditelan gelapnya malam.
"Jika malam memang menenangkan, mengapa ia harus melenyapkan senja hanya untuk bisa disaksikan?" pertanyaan konyol yang tiba-tiba saja muncul dibenak Zhea terlontar begitu saja.
Aku adalah senja yang indah, yang senantiasa tersingkirkan oleh gelapnya malam yang tenang
KAMU SEDANG MEMBACA
Si gadis Figuran
Ficção AdolescenteSemua berawal dari kebohongan kecil yang malah berakhir menjadi kebencian besar yang tak bisa terelakkan. Zhea Xavier Vergara namanya, gadis remaja biasa yang selalu menjadi sasaran kemarahan sang Mama saat mimpi buruk itu kembali menghampirinya. Zh...