Cuaca semakin dingin diluar namun Zea tetap memaksa ingin melihat bintang bersama nya, tidak ada pilihan lain ia harus mengikuti keinginan sang adik yang mulai kukuh itu
Arshaka memberikan jaket milik nya kepada Zea, agar tidak terlalu kedinginan, ntah mengapa ada rasa sakit yang mengganggu pikiran dan hati nya
"Zea kenapa mau keluar malam malam seperti ini sayang, udara nya gak baik buat kamu"
"kamu kan belum sembuh sepenuh nya dek, harus banyak istirahat"
"ish abang bawel banget sih, kan Zea mau ngerasain udara malam gini sama abang"
"kan nanti pasti gak bisa, abang juga harus sibuk ngurus yang lain nya"
"bisa jadi nanti bakalan lupa sama Zea"
"nanti juga Zea istiraha lama ko"
Ocehan Zea kini terasa asing di telinga nya, ia berusaha meyakinkan dirinya supaya tidak berpikir yang seharusnya tidak akan terjadi
"Ayolah bang cepetan nanti keburu hujan" ucap Zea mempercepat kursi roda nya itu
"sabar Ze, bentar lagi juga sampai ko, kenapa ingin sekali pergi keluar malam-malam gini"
"Zea suka malam jadi Zea mau nikmatin ketenangan malam sama abang"
"Zea juga mau ngomong sesuatu sama abang boleh kan bang"
Arshaka mulai ragu dengan kenyataan ini sekarang, ia merasa ada yang akan terjadi setelah ini
Meski dengan penuh keraguan ia menyanggupi permintaan sang adik lagi
Setiba nya di taman mereka berhenti di dekat pohon, Zea hanya diam begitu pula dengan Arshaka yang mencoba menebak apa yang akan adik nya katakan itu
Setelah keheningan terasa cukup, Zea memejam kan matanya, ia bangkit dari duduk nya dia berdiri memandang langit yang entah seperti apa warna nya
"bang apa malam ini bintang nya banyak?" tanya Zea
"gak terlalu banyak dek soal nya akan turun hujan" jawab Arshaka ikut berdiri di samping Zea
"bang Zea boleh peluk abang gak?"
"kenapa harus ijin? Kan biasanya juga langsung Ze" ucap nya lalu memeluk Zea dengan erat
"tumeben nanya dulu dek"
"hehe gak kenapa-kenapa kan bang"
"iya gak kenapa-kenapa kok dek"
"Zea mau ngomong sama abang tentang mama" ucap nya tanpa melepaskan pelukan ya
Arshaka sedikit takut tentang apa yang ingin Zea katakan saat ini, sungguh ia merasa gelisah
"bang Zea aja yang jadi pendonor buat mama, jantung Zea pasti cocok"
Benar hal yang ia takutkan kini terjadi, Arshaka terdiam ia melepas pelukan nya dan menatap sang adik
"gak usah dek, abang sama papa lagi cari kok kamu gak usah gantiin posisi itu"
"bang tapi kalo kalian telat gimana"
"abang mau kehilangan mama bang? Zea gak bakal bisa maafin diri sendiri klo hal itu terjadi"
"gak pokok nya gak boleh kamu, apa pun yang terjadi jangan sampe kamu berani lakuin hal itu" ucap Arshaka tegas sambil memegang bahu Zea
Tak lama datang Bisma, dengan seorang dokter, Ia menghampiri Arshaka dengan suara serak nya
"bang, mama" ucap nya sambil melirik Zea yang berada di samping Arshaka, Arshaka menganggukan kepala nya
"mama kenapa pa?"
"mama gak kenapa kenapa kan?"
Tanya Zea dan Arshaka bersamaan
"mama butuh pendonor sekarang" ucap Bisma menundukan kepala nya
"bu Maurin harus segera di oprasi atau kita akan kehilangan nya" ucap sang dokter yang sedari tadi diam
"bang" Zea menarik jari Arshaka membuat nya melirik
Arshaka melirik Zea ia menggelengkan kepalanya kuat kuat, ia tidak ingin kehilangan sang adik
"dok, biar saya saja yang jadi pendonor buat mama"
Semua orang yang berada disana pun terdiam, bagaimana bisa mereka mengorbankan Zea demi Maurin
Jika Maurin mengetahui nya nanti apa yang harus mereka jelaskan, bahwa Zea lah yang bersedia tanpa di paksa