part 4

252 30 2
                                    

Widi turun dari mobil saat pintu dibuka oleh sopir. Ia berdecak kagum saat melihat rumah besar di depannya.

Rumah dengan desain Eropa yang punya pekarangan yang luas dan arsitektur modern layaknya seperti istana.

Cat putih mendominasi, seolah menunjukkan jika pemilik Rumah itu adalah orang yang sangat kaya.

Derap langkah kaki Prasetyo menghentak lantai ubin yang begitu mengkilat. Suara hentakan kakinya itu membuat Widi mengalihkan pandangan ke arahnya.

Tak dapat dipungkiri, Prasetyo mempunyai pesona yang tidak kaleng-kaleng. Ia melangkah mantap dengan tubuh idealnya dan jas hitam yang rapi.

Lelaki berkacamata itu berjalan begitu saja meninggalkan Widi masih berdiri terpaku di samping mobil.

Aroma parfum milik Prasetyo yang terbawa angin membuat Widi semakin terlena. Jika saja lelaki itu tidak dingin terhadapnya, Widi yakin akan sangat mudah baginya untuk jatuh cinta padanya.

Tiba-tiba saja lelaki itu menghentikan langkahnya dan menggerakkan kepalanya menoleh ke arah Widi saat itu masih terpaku.

"Mau sampai kapan kau berdiri di sana seperti orang idiot? cepat ikuti langkahku dan kita bertemu dengan ibuku di dalam," hardik laki-laki itu dengan gaya songongnya.

Widi yang mendengar ucapan ketus laki-laki itu semakin merasakan panas yang berkobar di dalam hatinya, rasa kagum terhadap laki-laki bertubuh tinggi itu seketika memudar berganti dengan rasa kesal.

"Idiot?" desis Widi dengan menggemeretukkan giginya, kesal.

Bukannya menjawab, Prasetyo malah kembali memutar tubuhnya dan melangkah dengan tegas meninggalkan Widi yang terpaksa melangkah mendekatinya dari belakang.

Gadis itu mengekor di belakang tubuh lelaki itu dengan jarak sekitar 3 meter. Prasetyo terlihat cuek.

Widi pun akhirnya memasuki rumah saat asisten rumah tangga membuka pintunya. Gerbang rumah yang sangat besar itu tak ayal membuat Widi kembali terheran-heran, karena untuk pertama kalinya ia melihat rumah sebesar  dan semegah itu.

"Kau duduk di situ, aku akan kembali beristirahat di kamarku. Nanti akan ada asisten rumah tangga yang akan membantumu dan menunjukkan di mana kamarmu, sebentar lagi ibuku akan turun, bersikap sopan lah kepadanya," titahnya tanpa sedikitpun melihat ke arah Widi yang saat itu masih melihatnya dengan kesal.

Widi saat itu refleks mengepalkan tinju ke arahnya, tapi naasnya Prasetyo saat itu langsung berbalik dan melihat ke arahnya.

Seketika Widi langsung menarik tangannya dan mengalihkan pandangan ke arah jendela.

Prasetyo yang sudah terlanjur melihat berusaha menepis amarah yang sejak tadi juga berkobar di dalam dadanya. Ia lalu memasukkan dua tangannya ke kantong celana dan membusungkan dadanya.

"Kau jangan macam-macam, ingat semua janjimu! semua perjanjian itu sudah tertera di atas materai, jika kau melanggar maka kau akan merasakan akibatnya," ancam laki-laki itu dan dalam hitungan detik saja Ia melangkah menjauhi Widi yang sejak tadi merasakan dentuman di dalam dadanya.

Sepeninggalnya laki-laki itu Widi kembali menggerakkan kepalanya dan menatap laki-laki yang saat itu masuk ke dalam ruangan lain.

"Huh, ganteng-ganteng kayak es batu," decaknya kesal.

Widi menunggu di ruangan besar itu sembari matanya meneliti ke setiap sudut dan juga barang-barang yang terdapat di lemari ruangan itu.

Ia lalu berdiri dan mendekat ke arah lemari besar yang menunjukkan pajangan-pajangan indah, terbuat dari keramik dan juga patung-patung yang terbuat dari kayu yang diukir sedemikian rupa.

"Hmh, sangat estetik. Keluarga yang mempunyai darah seni yang tinggi seperti ini harusnya tidak punya anak yang punya sifat seperti es batu," Widi ngedumel sendiri.

Ning-nang-ning-nung!

Widi terhenyak. Tiba-tiba saja rungunya menangkap suara gending Jawa yang terdengar begitu merdunya. Suara gamelan tanpa diiringi suara sinden itu terdengar begitu sakral dan menghanyutkan dirinya.

Widi seolah terlena dan tanpa sadar menutup matanya. Ia pun merasakan kantuk yang teramat sangat dan merasa tubuhnya sangat kaku dan dingin saat itu juga.

Entah apa yang terjadi selanjutnya Widi tak ingat, yang terakhir ia ingat adalah tubuhnya yang terasa ringan dan gelap yang menyelimutinya.

***

"Aku semakin ilfiil dengan wanita itu, Ma. Bisakah Mama mempercepat pernikahan kami dan setelah itu aku ingin pergi dari rumah ini secepatnya," ucap Prasetyo sembari membuka jas yang menutupi tubuhnya.

"Sudahlah, yang penting semua rencana kita berjalan dengan lancar, dan ingat! jangan sampai jatuh cinta kepadanya!"

Laki-laki berahang tegas itu berdecih. "Cih, itu tidak mungkin, Ma. Aku tidak mungkin jatuh cinta pada wanita murahan seperti dirinya."

Wanita yang memakai daster berwarna hitam itu kemudian mengangkat tubuhnya dari kursi goyang dan melangkah ke arah anaknya.

Tangannya yang putih dengan aksesoris cincin emas berbentuk bunga di jemari manisnya itu menyentuh lengan anak kesayangannya.

"Kau tak perlu menyentuhnya, mama hanya minta kau jangan sedikitpun jatuh cinta kepadanya, anggap saja Ia adalah budak yang kita tolong dari tuannya yang kejam. Kau memang pintar, Heru. Mama yakin, kau tidak akan berbuat bod*h. Ini semua demi untuk mengembalikan adikmu."

Prasetyo tak menjawab. Kalau saja bukan karena rayuan mamanya, ia tidak akan mau melakukan hal konyol seperti ini. Menikahi wanita penjaja cinta seperti Widi.

"Sudah, Mama mau menemui calon pengantinmu dulu, Mama dengar ia pingsan di ruang tamu tadi. Kamu ini bagaimana, dia adalah tamu malah kau tinggal pergi begitu saja," wanita bernama Widyawati itu menunjukkan raut wajah masam pada Pras yang tiba-tiba menatapnya heran.

"Pingsan? padahal tadi aku melihat  dia baik-baik waktu ditinggal ke kamar,"

Tanpa mendengarkan ucapan anaknya lagi, wanita itu pergi begitu saja meninggalkan pras dan melangkah menuju kamar tamu di mana Widi sedang tertidur.

Saat wanita itu keluar dari kamar, asisten  rumah tangganya lari tergopoh-gopoh menuju ke arahnya, asistennya itu...

Kidung MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang