Ruangan temaram, hanya lampu tidur yang menyala. Widyawati duduk di depan cermin lonjong berukir, menatap wajah yang memantul samar-samar.
Matanya tampak awas dengan senyum terkembang. Satu syarat telah berhasil ia lakukan. Heru sudah tidur bersama wanita pilihannya.
Syuttt!
Tiba-tiba horden tersibak dan dari luar jendela berdiri seorang wanita cantik dengan rambut terurai, memakai mahkota dan kemben berwarna merah dengan manik-manik seperti emas, beserta kain jarik yang melilit di pinggang.
Widyawati menatap dengan senyum yang tertimbang, seolah menyambut kedatangan wanita misterius yang tidak tahu dari mana datangnya.
Widyawati melenggang ke arah jendela kaca dan membukanya. Ia lalu bersujud dan menangkupkan kedua tangannya seperti seseorang tengah menyembah.
Di balkon lantai dua wanita itu berdiri dengan senyum misteriusnya.
"Nyai Damarwasih, terima kasih sudah datang, tumbal akan segera saya berikan. Hanya butuh beberapa hari saja, menjelang kematiannya, biar dia menikmati hidup sebelum waktunya tiba," ucap Widyawati dengan posisi masih bersujud.
"Hmmh, aku sudah tidak sabar menikmati darah segar itu, tapi aku akan berbaik hati. Melihat tumbal yang kau berikan sangat cantik," sahut wanita itu dengan suara lirih.
"Aku berikan waktu satu bulan, lebih baik lagi jika wanita itu mengandung, aku akan mengembalikan nyawa anakmu dan memberikan emas yang lebih banyak dari biasanya,"
Mendengar ucapan Nyai, Widyawati langsung mengangkat wajahnya dengan senyum yang terbuka lebar.
"Benarkah?"
"Heem, kau bisa pegang ucapanku ini,"
Wusshh!
Hanya dalam kedipan mata, wanita penguasa Alas Roban itu menghilang begitu saja, meninggalkan wangi kantil yang sangat menyengat.
Sepeninggal wanita itu, Widyawati berdiri dan tersenyum menatap luar jendela dengan lirihan yang keluar dari bibirnya.
"Gendis ... sebentar lagi kita akan berkumpul, Nak. Mama sudah tidak sabar menunggu waktu itu. Mama sayang kamu, Nak,"
***
Dengan mata sembab, Widi keluar dari kamar. Perutnya bernyanyi ria sedari ia membuka mata, sedang hari masih sangat pagi.Widy menyusuri koridor rumah yang cukup panjang itu, mencari dapur. Ia berencana membuat sarapan untuk Heru dan mertuanya.
Meskipun ia tak yakin Heru akan menyukai masakannya yang selalu di puji ibu tirinya dulu.
Widy akhirnya bisa menemukan dapur rumah mewah itu. Dirinya terpana saat melihat seorang wanita bersanggul dengan tubuh yang gendut memunggunginya sedang mencuci piring. Begitu hati-hatinya hingga suara denting piring terdengar lirih.
"Selamat pagi ...," Widi takut-takut menyapa wanita itu. Ia sama sekali belum banyak mengenal orang-orang di rumah itu.
Wanita itu sedikit terjingkat dan langsung menghentikan kegiatan mencuci piringnya. Ia dengan sigap mengeringkan tangannya dengan kain segi empat yang tersampir di bahunya dan langsung memutar tubuh.
"Ndo-- Ndoro Ayu ...," jawabnya takut-takut.
"Panggil Widi saja, Bik," sahut Widy sembari mendekat. Ia hendak meraih piring, bermaksud membantu wanita paruh baya berumur enam puluh tahunan itu mencuci piring yang masih tersisa.
"Ja--jangan Nona Widy, biar saya saja, nanti saya di marahi Nyonya Widya jika melihat menantunya mengerjakan pekerjaan pembantu seperti saya,"
"Ga apa, Bik. Nanti saya yang bilang. Lagian ini juga cuma sedikit. Bibi istirahat dulu, biar sekalian saya yang buat sarapan,"
![](https://img.wattpad.com/cover/325437852-288-k995218.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Mayit
Misteri / ThrillerGisella Widi, wanita bayaran yang akhirnya dipersunting seorang Pengusaha Kuliner ternama, Heru Prasetyo, keluarga kaya raya berdarah biru Prasetyo. Widi tak menyangka, hanya bermodal kecantikan, seorang laki-laki sempurna seperti Heru mau menjadika...