Nafasku tersengal saat kaki ini akhirnya menapak di rerumputan pekarangan rumah Tuan Heru--suami yang lebih pantas sebagai seorang Tuan, karena hubungan kami berdua tak lebih dari bos dan juga anak buah.
Aku berulang kali menarik nafas dan melepaskannya dengan perlahan, mencoba untuk menormalkan kembali dadaku yang saat ini bergemuruh kencang.
Bukan karena aku takut, tapi jarak antara kamarku dan juga pekarangan rumah ini cukup jauh.
Sedangkan sejak tadi aku berlarian tanpa memperhitungkan waktu, berlari dengan kencang hingga nafasku terasa tersendat di tenggorokan.
Anehnya, entah hilang ke mana gadis itu, berulang kali aku menyusuri tempat itu dengan tatapan mata yang terus awas dan juga tajam, gadis itu tak jua aku temukan.
Aku heran, padahal rumah itu berdiri tembok-tembok yang tinggi sebagai penghalang. Aku rasa, sangat sulit untuk orang-orang bisa keluar dari tempat itu jika bukan orang dalam.
Pluk!
Aku terkesiap. Dadaku naik turun, seiring dengan jantungku yang memacu, saat kurasakan sebuah tepukan di bahu.
Aku perlahan memutar tubuh dan mendapati seorang gadis dengan baju pembantu kini menatap tajam ke arahku.
Tatapannya terlihat gahar, seolah Aku ini adalah ancaman. Dadaku semakin bergemuruh, kenapa tatapan wanita ini seperti menantangku?
"Maaf Nyonya Heru Prasetyo, kenapa Anda berada di luar rumah, bukankah ini waktunya makan siang? Berbahaya di luar, lebih baik anda sekarang masuk dan makan,"
'Hah, apa maksud wanita ini?
kenapa ia berbicara seperti sedang mengancamku? berbahaya? apa yang berbahaya dari rumah ini? Aku tak habis pikir!'"Kau siapa? apa hakmu mengaturku? bagaimanapun aku adalah istri dari tuan Heru Prasetyo yang terhormat, aku bebas mau melakukan apa saja di rumah ini," karena tersulut emosi, aku begitu saja melontarkan ucapan itu.
Aku kesal melihat tingkahnya yang sok mengatur, Apalagi tatapannya itu, jauh dari kata sopan dan terkesan jutek, lebih tepatnya Ia seperti melihatku sebagai ancaman.
"Saya tahu Nona adalah istri dari pemilik rumah ini, tapi Nona jangan lupa, saya yang lebih dulu berada di sini. Setidaknya kita saling menghormati, karena perjanjian kontrak itu hanya tinggal beberapa hari lagi,"
'Apa ini? kenapa seorang asisten rumah tangga bisa tahu apa yang sedang terjadi denganku dan juga tuan Heru?'
"Apa maksudmu? urusan kontrak itu adalah urusanku, jangan berani-berani kau ikut campur!" sungutku, tapi bukannya malah takut, wanita yang sepertinya hanya terpaut usia sedikit denganku itu malah tersenyum sinis seolah mengejek ke arahku.
"Saya minta maaf Nona, silakan Nona masuk ke dalam rumah karena makanan sudah disiapkan, saya permisi,"
Otakku terasa seperti mendidih saat melihat gadis itu pergi begitu saja yang tidak punya sopan santun.
Aku mengepal tanganku dan melangkah kembali ke arah rumah, di mana wanita itu sudah jalan terlebih dahulu dan sama sekali tidak mengacuhkanku.
Seketika aku menghentikan langkahku, saat aku melihat tak jauh di hadapanku Heru sudah menunggu dengan wajah yang garang dan dengan tangan yang berada di belakang tubuhnya.
"Dari mana saja kamu. Mama sejak tadi mencarimu, menyusahkan saja. Aku yang sedang banyak kegiatan di luar ditelepon suruh pulang hanya gara-gara wanita sepertimu. Cih, menyebalkan!"
Mataku tiba-tiba berair saat mendengar hinaan kembali terlontar dari mulut tipis laki-laki tampan di hadapanku.
Bahkan hanya keluar dari dalam rumah dan berjalan-jalan di sekitar pun aku tidak boleh?
"Cepat masuk dan hapus air matamu itu, Aku jijik melihatnya. Wanita murah seperti kamu itu tidak pantas menangis,"
Aku mendongak dan menatap matanya, Aku ingin dia mengatakan kata-kata kasar itu saat menatapku langsung, tapi lagi-lagi seperti biasa, ia mengalihkan pandangannya, seolah tidak ingin menatap wajahku. Seburuk itukah aku di matanya?
Laki-laki bergodek pipis itu kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pergi begitu saja, meninggalkanku di terik matahari yang langsung menerpa tubuhku.
Aku lalu mengikutinya masuk ke dalam rumah, dan langsung menuju ke meja makan di mana Nyonya Widya sudah duduk di tempatnya.
"Duduk Widi, Mama mencarimu sedari tadi, kamu ke mana saja?" Kudengar suara wanita itu begitu khawatir padaku tapi entah kenapa perasaanku menjadi dingin mendengar suaranya itu.
"I--iya, Nyonya, sa--saya tadi berjalan-jalan ke belakang rumah," jawabku terbata.
Dahi wanita itu mengernyit dan tatapannya sangat tajam, membuatku tubuhku bergidik, ngeri.
Kudengar helaan napasnya sebelum ia akhirnya berucap," mulai saat ini jangan pernah keluar dari rumah ini tanpa pernah memberitahuku, sekarang duduk dan makan-makanan yang kamu suka, semua sudah disediakan,"
Aku mengangguk dan sempat menatap ke arah Heru yang saat itu masih asik dengan makanannya, sama sekali tidak memperdulikanku.
Aku lalu melangkah ke arah laki-laki dingin itu dan menggeser kursi di sebelahnya.
Di luar dugaanku, ia langsung menghentikan makannya dan mendongak, menatap tajam ke arahku.
"Mau apa kau di sini, cari tempat lain saja, selera makanku langsung hilang begitu berada dekat denganmu,"
Degh!
Aku tersentak begitu mendengar ucapan kasar lagi darinya. Ah, entah apa salahku padanya, iya begitu ketus seperti tidak punya perasaan.
"Ck-ck-ck, Heru, jaga sikapmu, Nak. Bagaimana pun Widi adalah istrimu," hatiku sedikit tenang saat mendengar orang tua itu terdengar sedang membelaku.
"Tapi, Ma ...,"
"Jangan membantah, Heru!"
"Baik, kalau begitu Heru kembali bekerja, selamat makan siang,"
Aku tertegun saat melihat wajah tampan itu mengeras dan menggeser tubuhnya.
Dia berdiri dan pergi begitu saja tanpa menatap ke arahku. Suara hentakan kakinya menggema di seluruh rumah. Membuat perasaanku semakin tercabik-cabik.
Begitu bencinya-kah ia padaku?
"Sudah, biarkan saja Heru itu. Kamu makan, nanti perutmu sakit. Hari sudah lewat siang jangan biarkan perutmu kosong," ujarnya dan aku segera menurutinya.
"Ba--baik, Nyo--Nya,"
"Mmm, no-no-no, jangan panggil Nyonya, panggil aku Mama, okey,"
"I--iya Ma,"
Dan, siang itu kami makan bersama. Meskipun Mama Widya terlihat misterius, tapi mama Widya ternyata orang yang sangat ramah dan juga baik. Ia sangat berbeda dengan Heru yang cuek dan jutek.
Ya, sesuai perjanjian, hanya satu bulan dan setelah itu kami akan berpisah. Perjanjian kontrak laknat ini akan aku akhiri segera.
Aku sudah tidak sabar. Rumah ini bagai neraka. Lebih baik kembali menjadi penjaja cinta, daripada hidup dengan manusia sombong dan sok suci seperti Tuan Heru Prasetyo yang terhormat.
Pantaslah ia menjomblo sampai di usianya yang matang. Kalau kelakuannya ketus dan tidak ada manis-manisnya.
Meski tampan dan jujur sempat membuat jantungku berdegup kencang, tapi lama-lama aku tak sanggup menghadapi sikapnya. Aku ingin bebas, segera!
****

KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Mayit
Mystery / ThrillerGisella Widi, wanita bayaran yang akhirnya dipersunting seorang Pengusaha Kuliner ternama, Heru Prasetyo, keluarga kaya raya berdarah biru Prasetyo. Widi tak menyangka, hanya bermodal kecantikan, seorang laki-laki sempurna seperti Heru mau menjadika...