Widi menghempas tubuhnya diatas kasur saat ia masuk kamar yang di sediakan untuknya.
Air matanya tak surut membanjiri pipinya yang memerah. Hatinya sakit, mengingat penghinaan lelaki bertubuh bagus itu.
Ia meremas bedcover bermotif monokrom dengan warna hitam putih itu dengan keras, hingga salah satu kuku panjangnya patah dan mengeluarkan darah.
"Akh," rintihnya.
Refleks, Widi mengangkat tubuhnya dan terduduk. Ia menarik tangannya dan mendapati ujung jari tengahnya mengeluarkan darah segar.
Wussshhh!
Di saat itulah ia merasakan angin yang cukup kencang menerpa kuduknya dan menyibak rambutnya.
Widi yang saat itu hanya memakai lingerie berwarna peach itu sontak tertegun dan menyentuh bagian belakang lehernya.
Wajahnya perlahan terangkat dan mata bulatnya menyusuri setiap sudut kamar.
Aneh. Dalam posisi berdiri, Widi merasa keheranan. Darimana datangnya angin yang begitu dahsyat sedang kamarnya tertutup rapat.
Horden dan barang-barang lain pun tak ada yang bergerak. Ia tertegun, berpikir keras.
Srettt!
Tiba-tiba matanya menangkap pemandangan yang membuat bulu kuduknya meremang, di mana jelas ia melihat horden tebal yang menutupi jendela kaca itu bergerak seperti membentuk tubuh seseorang.
Dagh-digh-dugh!
"Si--siapa ka--kamu...," dengan suara bergetar, Widi berusaha bertanya dengan sosok yang ia kira ada di balik horden.
Sayangnya tak ada jawaban. Widi yang penasaran memberanikan diri untuk mendekat, tapi tiba-tiba ...
Bam!
Horden itu bergerak membentuk wajah dan mendekat ke arah Widi.
"Aaaaa!"
***
Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar Heru Prasetyo. Lelaki tampan itu sedang mengguyur tubuhnya dengan air shower yang dingin.Ia menggosok tubuhnya dengan kasar, kesal karena tubuhnya telah bersentuhan dengan wanita yang sangat ia benci saat ini. Wanita jalang pilihan ibunya.
"Ish, apa yang sudah kuperbuat! wanita penjual diri itu bisa tidur denganku, dia pasti sudah menaburi minumanku dengan obat tidur!" sembari menyabuni tubuhnya, Heru tak henti merutuki dirinya sendiri.
"Aaaaa!"
Degh!
Heru terhenyak. Lelaki tinggi berdada bidang dengan perut yang kotak-kotak bak roti sobek itu terkesiap saat mendengar suara jeritan wanita sayup-sayup terdengar di telinganya.
Ingin ia hiraukan, tapi jeritan itu terasa seperti jeritan ketakutan. Jiwa kejantanannya bergejolak.
Meskipun Heru termasuk lelaki dingin yang jika sekilas seperti tidak berperasaan dan sering berucap dengan ketus, Ia masih punya jiwa kemanusiaan.
Meski sempat berdecak kesal, Heru akhirnya meraih handuk putih yang tersampir di dinding kaca penyekat antara ruang mandi dan bathup, setelah membilas tubuhnya dan melingkarkan benda itu di pinggangnya.
Heru melangkah dengan cepat keluar dari kamar dan sempat berdiri ragu di koridor rumahnya.
Sempat merasa aneh karena tempat itu terasa sangat sepi. Kemana semua orang?
Dengan ragu-ragu Heru melangkah ke kamar wanita yang sekarang berstatus istri nya itu.
Ruangan kamar yang berada di ujung lorong dan hanya berjarak beberapa meter dari kamarnya.
Tok-tok-tok!
Heru mengetuk kamar itu yang terasa sunyi. Ia terdiam beberapa saat, memastikan apakah suara tadi benar dari kamar itu.
"Woi, kamu baik-baik aja, 'kan?" teriak Heru dari luar.
"Tolong! Mas Heru, tolong aku!"
Mendengar suara tangisan dari dalam, tanpa pikir panjang Heru langsung menekan gagang pintu dan mendorong pintu dengan kuat.
Brakkk!
Pintu terhempas. Heru menatap nanar wanita yang ia benci itu sedang memeluk kakinya dengan posisi berjongkok seperti orang yang ketakutan.
Heru langsung bergerak mendekati dan berjongkok di sampingnya. Ia mengulurkan tangan menyentuh bahu gadis itu.
"Kamu kenapa?"
Wanita itu terjingkat saat merasakan sentuhan tangan Heru yang terasa dingin di kedua bahunya.
Ia mengangkat wajahnya dan menatap Heru dengan ketakutan. Tiba-tiba saja wanita itu langsung memeluk tubuh Heru yang polos tanpa balutan selembar benang pun.
Degh!
Mata Heru membesar. Wajahnya memerah dan terasa panas, tubuhnya sempat bergetar, seperti tersengat listrik saat Widy memeluk tubuh itu erat.
Heru ingin segera melepas pelukan wanita yang ia anggap menjijikkan itu, tapi niat itu langsung ia urungkan saat terdengar isakan dari sosok yang memeluknya.
"Ka--mu ...,"
Degh!
Widy membuka mata saat ia menyadari siapa sosok yang ia peluk saat ini.
Sontak Ia langsung melepas pelukannya dan bergeser menjauhi laki-laki gagah itu dan menunduk.
Aroma semerbak menguar dari tubuh berotot yang saat itu menampilkan pemandangan yang menakjubkan untuknya. Meski sudah banyak pria yang bertelanjang dada yang pernah ia lihat, tapi tubuh ini memang begitu sempurna.
"Sudah puas kamu mandangi tubuhku, hah? dasar mesum. Apa ini cuma trik untuk membuatku datang ke kamarmu? Kamu ...,"
"A--aku melihat seseorang dari balik horden. Sosok itu menakutiku," Widy memotong ucapan Heru dan menunjuk ke arah horden dengan wajah yang masih tertunduk.
Heru terdiam beberapa saat dan matanya mengikuti arah tangan Widy. Ia lalu berdiri dan melangkah mendekati horden.
Di saat itulah Widy mengangkat wajahnya. Mendongak memperhatikan laki-laki tampan yang kini memunggunginya.
Widy berdecak kagum. Dari belakang pun tubuhnya tampak indah. Dengan bahu yang lebar dan pantatnya yang berisi, Heru memang mempesona.
Srettt!
Jantung lelaki berhidung mancung itu sempat berdegup kencang, tapi ketika ia membuka horden ia tak menemukan apa-apa.
Dengan perasaan kesal, Heru memutar tubuhnya dan mendapati Widy sedang memperhatikan dirinya. Widy langsung melesatkan pandangannya ke tempat lain saat mereka bersitatap.
"Kau mau mempermainkanku, ya? hmm... dengan air mata buaya itu. Hidupmu memang penuh drama!" umpat Heru kesal karena merasa di permainkan.
"Maksud kamu apa?" dengan wajah bingung, Widy bangkit perlahan dan menatap Heru, ia tak mengerti apa yang di bicarakan Heru barusan.
"Ini, kau lihat sendiri. Tidak ada apa-apa disini! jal*ng!" Heru menunjuk ke arah jendela yang tersibak.
Widy terdiam, mematung. Bingung. Juga sakit hati karena untuk kesekian kalinya Heru Prasetyo, pemilik beberapa cabang Restoran kuliner makanan khas jawa itu menghina dirinya.
"Aku tidak bohong, sungguh, tadi aku ...,"
"Mulai saat ini. Apapun yang terjadi dengan dirimu, aku tidak perduli. Jangan kau pikir aku bisa terjerat dengan rayuan busukmu! apa yang terjadi di antara kita, aku anggap sebagai kesalahan. Kau itu sampah! hanya sampah masyarakat! sadari itu! jangan mengharap lebih dariku!"
Brakk!
Heru menghempas pintu saat Ia keluar dari kamar Widy. Marah. Sesungguhnya Ia tak tahu mengapa ia sangat membenci wanita itu. Apa karena profesinya? atau memang ia kesal karena harus menerima perjodohan?
Entahlah. Yang Heru Prasetyo rasa saat ini hanyalah amarah yang berkobar. Meski tak ia pungkiri, gadis itu punya mata indah dan sempat membuat hatinya bergetar saat bersitatap dengannya.
Mampukah Widy melunakkan hati Heru yang keras seperti batu? atau Ia memilih menyerah?
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kidung Mayit
Mystère / ThrillerGisella Widi, wanita bayaran yang akhirnya dipersunting seorang Pengusaha Kuliner ternama, Heru Prasetyo, keluarga kaya raya berdarah biru Prasetyo. Widi tak menyangka, hanya bermodal kecantikan, seorang laki-laki sempurna seperti Heru mau menjadika...