part 10

255 19 3
                                    

Brak!

Heru menggebrak meja, dan Widy hanya bisa mematung. Mata sipitnya membulat, menatap wajah Heru yang berubah garang.

Mereka saling bersitatap. Wajah Heru tampak tegang. Tampak sekali jika laki-laki itu merasa kesal dengan ucapan Widi barusan.

"Coba kau ulangi ucapanmu itu, berani-beraninya kau mengumpat di depanku!" Gigi Heru bergemeretuk, rahangnya mengeras menahan amarah.

"Sialan! bisa-bisanya kau menghina masakan yang telah aku buat dengan susah payah. Apakah kau tidak punya hati?"

Widi mencoba untuk tenang, ia tidak mau Heru menganggapnya sebagai wanita lemah, yang bisa ia hina dan injak-injak setiap saat. Bukankah statusnya kini jelas, Nyonya Heru yang terhormat.

"Ka--u!" Heru hendak mengangkat tangannya, tapi ia langsung sadar dan mengepal tangan itu dengan keras.

Untuk pertama kalinya, ada wanita yang berani dengan tegas menghina dirinya, apalagi wanita di hadapannya ini adalah bekas wanita tuna susila.

"Kenapa? Kau ingin menamparku? Silahkan saja Tuan Heru yang terhormat, yang harus kau ingat, aku bisa melapor atas tindakan KDRT, bagaimanapun kau membenciku, Aku adalah istri sahmu," Widi mengulas senyum smirk, menantangnya. Ia mengangkat kedua tangannya dan melipatnya di dada.

Mata Heru membulat, kesal. Ia lalu meraih gelas kaca yang ada di balik badan Widi dan menghempaskan gelas berisi air itu ke lantai hingga hancur berkeping-keping.

Jantung Widi rasanya akan copot saat itu juga, kalau mendengar suara dentingan kaca yang berserakan.

Nanar, ia hanya bisa menatap nanar serpihan kaca itu dan gelas yang  tidak lagi berbentuk.

Sebegitu bencinya-kah lelaki itu padanya? hingga untuk mengakui masakannya enak saja ia gengsi dan marah.

"Mulai saat ini, kalau tidak perlu masak apapun untuk diriku. Aku najis mencicipi masakan yang tidak enak itu,"

"Dan, jangan pernah kau menyebut dirimu sebagai istriku, ini hanya pernikahan kontrak, dalam jangka waktu sekejap kau akan kuceraikan dan kita tidak akan mengenal satu sama lainnya, jadi, jangan pernah kau merasa dirimu adalah bagian dari hidupku, aku sama sekali tak pernah menganggap kau ada,"

Dengan tegas Heru mengungkapkan isi hatinya, ia sudah jengah melihat wanita yang terpaksa ia nikahi itu.

Heru kemudian berbalik dan melangkah pergi. Sentakan kakinya terdengar begitu menyesakkan dada Widi.

Gadis itu akhirnya bisa bernapas lega, saat Heru benar-benar hilang dari pandangannya.

Ia tak menyangka, dibalik wajah tampan yang dimilikinya, Heru adalah laki-laki yang begitu tegas dan juga dingin.

Widi menyentuh dadanya yang bergemuruh kencang. Anehnya, meski Heru sudah berulang kali mencaci maki dirinya dan menunjukkan ketidaktarikannya, Widi merasa tertantang untuk bisa meluluhkan hati Heru Prasetyo, owner tampan beberapa restoran kuliner yang sedang naik daun di kotanya.

"Lihat saja Mas Heru Prasetyo, suatu saat kau akan mengiba cintaku dan memperlakukanku seperti Ratu. Aku... Gisella Widi, akan meluluhkan hatimu yang keras seperti batu itu. Ini janjiku,"

Setelah mengucapkan kalimat yang terdengar sakral itu, Widi membersihkan butiran nasi yang tadi Heru muntahkan, dan juga membereskan serpihan beling yang saat itu ada di lantai.

Ia tak ingin menangis, ini adalah hal kecil dan ia anggap sebagai hambatan tiada arti dalam kehidupannya yang penuh dengan teka-teki.

***
"Yanto, aku ingin sarapan nasi goreng. Minta chef Jericko buatkan sekarang juga!" Heru yang baru saja sampai di salah satu restoran miliknya langsung memanggil Manager yang saat itu mendekatinya.

"Baik Pak Heru, akan segera saya laksanakan," pria itu lalu bergegas meninggalkan Heru yang saat itu sedang berdiri menatap restoran di seberang.

Ia menatap lama-lama seorang wanita cantik berhijab yang sedang melayani para tamu.

Heru menyentuh dadanya yang berdegup kencang. Betapa damainya melihat gadis blasteran arab-jawa yang terlihat begitu jelas di seberang sana.

Hanya dengan menatapnya saja, dunia Heru terasa begitu tenang. Ia yang sejak tadi diliputi emosi, perlahan mulai melupakan kejadian buruk yang menimpanya tadi pagi.

Wirda--wanita di ujung sana merupakan tipe idealnya. Dia sangat menyukai gadis-gadis berwajah Arab dengan kulit putih, alis tebal, hidung mancung dan berbibir merah jambu dengan balutan baju gamis panjang dan hijab yang menutupi rambut indahnya.

Meskipun Heru bukan lelaki sempurna dan juga tidak memiliki iman yang begitu kuat, tapi ia memiliki keinginan untuk mempunyai istri yang bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya kelak.

Bukan seperti Widi, wanita yang terpaksa ia nikahi karena menuruti permintaan mamanya.

Wanita seksi dengan kata-kata yang suka mengumpat dan suka membangkang kepadanya.

Ia sama sekali tak masuk kriteria. Jangankan untuk membuatnya tenang, melihat wajahnya saja Heru sudah emosi dan tak ingin berdekatan dengannya.

"Ini, Pak Heru, pesanannya,"

Suara di balik tubuhnya membuatnya sedikit terjingkat. Heru merapikan jas yang ia pakai, perlahan ia memutar tubuh tingginya dan mengulas senyum pada karyawannya.

"Terima kasih, kamu bisa kembali bekerja," tukas Heru seraya duduk di salah satu kursi restorannya.

Ia menatap menu nasi goreng yang saat ini terhidang di depan matanya. Aroma yang menguar tidak se-sedap masakan wanita yang saat ini ia benci.

Sedikit ragu-ragu, Heru menyuap se-sendok nasi goreng dengan potongan baso sapi sebagai topping.

Keningnya mengernyit saat ia mengunyah perlahan makanan itu. Rasanya jauh berbeda. Ibarat nasi goreng restorannya level 5 dan nasi goreng olahan wanita itu level  10.

"Cih, apa yang salah. Kenapa setara Chef berpengalaman pun tidak bisa menyaingi rasa nasi gorengnya?" Heru mengumpat, umpatannya itu sempat terdengar di telinga salah satu bawahannya.

Nasi itu ia biarkan begitu saja dan beralih dari mejanya, sedangkan pikirannya masih saja tertuju pada nasi goreng buatan istri kontraknya. Hanya sekedar nasi goreng, kenapa ia harus memikirkan itu? jangan-jangan ...

***
Sementara itu. Widy tampak murung di dalam kamarnya. Ia mendekat ke arah jendela dan keluar menuju balkon untuk membuang kejenuhan yang kini merajai dirinya.

Pandangannya menyisir sekitar rumah yang memiliki pekarangan luas.

Ia terkagum pada kekayaan keluarga Heru, suaminya.

"Hmm, setidaknya aku bisa mencicipi jadi nyonya rumah meski hanya beberapa waktu saja," Widi berbincang pada dirinya sendiri.

Syuttt!

Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seseorang yang berlari ditaman bunga.

Seorang gadis dengan tinggi yang hampir sama dengannya dan rambut yang terurai panjang, membuat Widy terkesima.

Ia memutuskan untuk keluar dan mendekati gadis yang sejak tadi mengusik pikirannya.

Widy menuruni anak tangga dengan ceria, tanpa ia sadari ada sepasang mata yang mengikuti gerak-gerik kakinya yang begitu lincah.

Sosok itu menggeram kesal sembari mengepal tangannya.

"Aku tidak akan membiarkanmu memiliki Tuan Heru, dia hanya milikku!"

****

Kidung MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang