~t h i r d~

5.5K 445 15
                                    

Setelah acara makan malam selesai Angkasa pun memutuskan untuk kekamar saja, melanjutkan membaca buku yang beberapa waktu lalu ia ambil.

Tapi setelah ia pikir-pikir membaca dikamar terlalu biasa, jadi ia memutuskan membawa beberapa buku lalu membawanya keluar dari kamar entah menuju kemana ia pun tak tau.

Ting

Berlin pun keluar dari lift berjalan santai dengan sembari membaca buku yang ia pegang.

Sangking terlalu fokusnya sampai membuat tubuhnya menabrak guci besar di depannya.

Untung tidak pecah, hanya goyang sedikit saja.

"Apa yang kau lakukan sialan?! Kau hampir membuat guci kesayangan bang Ken pecah!" Maki Alon menatap sang adik tajam.

"Membaca"

"Tidak lihat"

Dahi Alon berkerut dan matanya menukik tajam. "Apa harus membaca sambil berjalan? Kau bisa duduk lalu membacanya, berhenti menyusahkan orang lain!"

"Terserah"

Memilih acuh lalu duduk di sofa tak jauh dari mereka yang menatap Berlin dengan berbagai tatapan.

"Gila si Berlin berubah jadi tembok berjalan, euy."

"Ramahnya udah ilang bzirr, jadi ngeri liatnya."

"Gak cocok sama muka imutnya,"

"Bener banget lagi, noh liat pipi buletnya yang tumpah-tumpah. Pengen gue gigit,"

"Brisik"

Menatap tiga pemuda yang asik membicarakannya, membuat fokusnya terganggu oleh mereka.

"Sorry cil, kelepasan." Cakra Wira Sanjana, menumpukan kedua telapak tangannya meminta maaf.

Berlin hanya mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada acara membacanya.

"Baca apaan cil?" Tanya Ferdan Grumeet, penasaran dengan apa yang bocah itu baca.

"Buku"

Ferdan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ya gak salah sih sama jawaban Berlin.

Hanya saja, ya gitu lah.

"Menjauh" usir Jarvis Quinn Beckett ketua dari ZEROUNLAIS.

Geng yang beranggotakan 7 inti, dan 100 lebih anggotanya. Membuat geng yang di ketuai Jarvis sangat di segani, bukan karena banyaknya anggotanya. Tapi juga karena kekuatan dan kekuasaannya di jalanan.

Srett

Bugh

Berlin terjatuh, tubuhnya terduduk di karpet bulu di bawah. Matanya mengerjap beberapa kali.

Mata sayu nya menatap sang pelaku penendangan dengan tajam.

Sedangkan mereka terlihat diam, terlalu membeo dengan kejadian barusan.

"Jangan berlebihan." Enzio Rapell Nourlan, menatap Jarvis datar.

Jarvis hanya memandang datar, menggidikan bahunya acuh.

"Bangun"

"Bangun gue bilang!" Geram Jarvis saat tidak mendapat respon dari Berlin.

"Ada apa? Apa dia berbuat ulah?" Langkah Louis mendekat ke arah mereka.

"Tanya kan pada adik mu itu," acuh Alon menatap malas sang kakak.

Louis melirik sekilas Berlin yang masih anteng duduk di karpet berbulu itu, bahkan mata legamnya bersitatap dengan mata biru itu beberapa detik. Sebelum ia memilih memutuskan pandangannya.

Berlin bangkit dari duduknya, memungut buku yang jatuh lalu menatap Jarvis datar.

"Kau, penggangu"

"Siapa yang kau sebut pengnggu?"

Jarvis bangkit dari duduknya, berhadapan langsung dengan Berlin yang hanya sebatas pundaknya.

Berlin mendecih, menatap pemuda di depannya sengit.

"Tinggi"

Dahi mereka berkerut, tinggi? Maksudnya?

"Ck, kau terlalu tinggi sialan." Maki Berlin lalu mendorong Jarvis menjauh.

Memilih kembali mendudukan tubuhnya di sofa lalu kembali membaca bukunya dengan tenang, tidak perduli dengan tatapan mereka yang mengarah padanya.

"Lo gak pegel bos?"

Seakan sadar, Jarvis ikut duduk di samping Berlin yang kembali asik dengan bukunya.

"Dapat dari mana?" Tanya Louis yang sudah ikut nimbrung di sana.

"Perpus" jawabnya tanpa melirik sang empu.

"Kau mengambil nya?" Yang di balas anggukan oleh Berlin.

"Tanpa ijin?" Dan kembali Berlin mengangguk singkat.

"Lancang! Tidak punya sopan santun mengambil barang orang lain!"

"Lantai 4"

"Hah?!" Shanteo Olsen, menatap bingung dengan apa yang Berlin katakan.

Dia sungguh tidak mengerti dengan bahasa orang datar, jadi tolong beri tahu Shan.

"Lo gak bisa gitu ngomongnya yang jelas, cil?"

"Perpustakaan lantai 4, di sana tidak ada orang. Jadi tak perlu meminta ijin," jelas Berlin dengan ogah-ogahan.

Berbicara banyak itu sangat mengeluarkan tenaga banyak, dan ia paling tidak suka. Di tambah lagi Berlin bukan lah Berlin, melainkan seorang Angkasa si ice prince yang dingin nan datar.

"Oalah, gitu ta. Kan gue ga ngerti njir," kekeh Shan menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Makannya kursus bahasa orang datar biar ngarti." Sela Cakra.

"Emang ada tempat begituan?"

"Ada! Nanti gue yang bikin!" Kata Ferdan santai.

Hoam~

Berlin menguap kecil, mata sayu nya semakin terlihat sayu. Tangannya terus ia buat mengucek matanya yang gatal karena mengantuk.

Matanya mengeliar mencari keberadaan Abang kedua Berlin yang tidak ada, membuatnya terlihat semakin tak bersemangat.

Karena tidak akan ada yang menggendongnya nanti.

Memilih menghilangkan gengsinya, Berlin bangkit dari duduknya. Berjalan mendekat ke arah Louis yang juga tengah menatapnya.

"Apa?"

Tanpa permisi Berlin langsung mendudukan tubuhnya di pangkuan Louis, membuat mereka menatapnya membola.

Kaget mereka tu.

"Gendong, Asa ngantuk." Rancaunya, membuat mereka menatapnya heran.

Seolah terhipnotis, Louis langsung mengangkat tubuh Berlin ke gendongan koalanya, membawa sang adik ke kamar untuk menidurkannya.

Dan pandangan itu, tak luput dari mereka.

'Asa?'

TBC
21 November 2022

Typo? Tandai ya, biar bisa langsung di perbaiki.






























Chp yang ini terlalu sedikit huhuhu, maaf gak sampai 1000 kata. ༎ຶ⁠‿⁠༎ຶ

VOTENYA sayang jangan ketinggalan☺️🤸‍♀️

_CHANGE_Where stories live. Discover now