Prolog

150 20 0
                                    

Hari sudah siang, matahari sudah bersinar terik. Naira menutupi kepalanya dengan papan kertas supaya tidak terkena langsung sinar matahari. Tugas yang diberikan panitia ospek kali ini adalah meminta tanda tangan seluruh panitia ospek. 

Naira mengedarkan lagi pandangannya ke sekitar halaman kampusnya. Nandini? Ah, sahabatnya itu sudah entah ke mana untuk berburu tanda tangan juga. 

Pandangan Naira berhenti pada sosok yang duduk di bangku taman dekat gasebo, di pojok halaman. Tidak ada yang mengerubutinya. Dia sendirian saja. 

Yes, kesempatan. Batin Naira girang. Dengan langkah ringan Naira mendekatinya. 

Satriya namanya. Senior, salah satu panitia ospek yang fansnya banyak. Selama seminggu ini saja, Naira sudah mendengar banyak teman-temannya yang membicarakan Satriya. Naira akui, Satriya memang tampan. Jarang senyum. Dan Naira juga salah satu dari sekian banyak fansnya itu. Haha

"Permisi, kak," Naira berdiri tepat di depan Satriya yang sibuk dengan kameranya. 

"Kak, boleh minta tanda tangannya?" Naira menyodorkan papan kertasnya kepada Satriya. Satriya mendongak menatap Naira. Setelah meletakkan kamera di samping duduknya, Satriya meraih papan kertas Naira dan menggoreskan tanda tangan asal. Seharian ini entah sudah berapa banyak mahasiswa baru yang minta tanda tangannya, sebagai bagian tugas dari panitia ospek buat mahasiswa baru.

"Sekalian ditulis nama kakak di bawahnya ya," ujar Naira yang masih berdiri di depan Satriya. Satriya kembali mendongak menatap Naira tajam, aneh. Tapi akhirnya ditulis juga namanya.

Naira tersenyum puas. "Kenalin kak, saya Naira." ujarnya sambil mengulurkan tangannya pada Satrya. Tak lupa, senyuman lebar yang memperlihatkan susunan giginya yang rapi. Manis.

Satriya kembali mendongak untuk menatap Naira. Berani juga anak ini, batin Satriya. Tanpa sadar, Satriya mengulurkan tangan kanannya. Langka. Kejadian langka. 

***





DEGUPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang