"Kenapa nggak dicoba aja, Nai?" tanya Dini sambil menyuapkan potongan bakso ke mulutnya. Sekarang mereka berdua sedang makan di kantin. Setelah kelas terakhir mereka tadi, seperti biasa, Dini akan selalu menyeret Naira ke kantin dulu sebelum pulang.
Naira menatap Dini sebentar. "Gue udah lama banget nggak main, Din. Gue tuh nggak pede." jawabnya kemudian.
"Diihh.. Pede kan nama tengah lu. Naira Pedewati Gunawan. " ucap Dini sambil tertawa.
Naira menggeplak lengan Dini. Dini tak menghentikan tawanya. "Coba aja gue bilang sih. Ini si Kak Abi lho yang nawari langsung. Ibaratnya tuh, elu tuh dapet rekom langsung dari wakil ketua paduan suara. Tanpa audisi langsung diterima aja kan yee.."
"Ogah ah gue. Gue pengen ikut Hima aja. Biar bisa sering ketemu Kak Satriya." Naira tersenyum geli.
"Diihh.. Naksir kok sama Kak Satriya, robot gitu. Lah kalo gue mending Kak Abi, orangnya humble, baik, suka nolongin juga.."
"Yee Dini, gue nggak naksir. Gue cuma ngefans aja."
"Lah apa bedanya naksir sama ngefans? Sama-sama suka kan?"
"Bedalah. Kalo naksir kan pengen punya, tapi kalo ngefans kan cuma suka aja. Tar kalo dia punya pacar, juga gue ngefans-nya ganti lagi." jawab Naira enteng.
"Aneh lu, Nai. Dari dulu lu aneh." Dini menggelengkan kepalanya. Kemudian menatap Naira yang masih menikmati gado-gado di piringnya. "Kenapa dulu lu nolak Attar?"
Naira mendongak, sedikit terkejut ketika Dini tiba-tiba mengangkat topik pembicaraan tentang Attar, teman mereka ketika SMA. Naira kemudian tersenyum lebar.
"Yeee.. Bukannya jawab malah nyengir mulu lu. Attar baik menurut gue. Anaknya juga lempeng aja gitu, nggak neko-neko. Pinter udah pasti, ganteng mah iya.. Ketua Osis pula.. Kurang apa sih, Nai?" lanjut Dini gemas.
Naira meneguk es jeruknya kemudian baru menjawab, "Gue yang banyak kurangnya." Naira tersenyum.
"Elu mah gitu," Dini sedikit merajuk.
"Beneran gue, Din. Coba bayangin deh, semua yang lu omongin soal Attar barusan. Nyaris sempurna kan dia? Terus gue? Gue tuh cuma remahan rempeyek tau, Din. Jomplang banget kalo dibandingin Attar."
"Itu mah alasan lu aja." Dini kembali menyuapkan batagornya ke mulutnya sendiri. Dini selalu heran dengan sikap Naira yang satu ini. Dulu sewaktu SMA, beberapa kali Naira ditembak oleh teman laki-laki mereka, ada beberapa kakak kelasnya juga. Tapi Naira selalu menolak dengan halus. Banyak sekali alasan yang akan diutarakan Naira, termasuk ketika Dini selalu bertanya tentang hal itu.
***
Naira turun dari ojek online di depan pintu gerbang halaman rumahnya. Dia menolehkan pandangan ke arah rumah di depan rumahnya. Tampak kesibukan beberapa orang yang sedang memasukkan barang-barang ke dalam rumah.
Tadi di kampus, Ibu menelepon Naira untuk mampir ke toko kue langganan Ibu. Ibu meminta Naira untuk membeli kue dan mengantarkannya pada Mbak Sarah, sebagai ucapan permintaan maaf karena Ibu tidak bisa membantu ketika pindahan. Ibu harus mendampingi Bapak dalam sebuah acara dinasnya di Surabaya.
Naira buru-buru masuk ke dalam rumah. Dia ingin mandi dulu sebelum mengantarkan titipan Ibu, sekaligus membantu Mbak Sarah sesuai janjinya tempo hari.
Setelah selesai mandi dan merapikan diri, Naira turun dari kamarnya kemudian membawa kue brownies yang tadi dia beli.
Naira melangkah ringan ke arah rumah yang tepat berada di seberang rumahnya. Suasana di luar sudah tidak seramai tadi. Orang-orang yang tadi sibuk memasukkan barang-barang ke rumah ini sudah tidak ada.
Naira berhenti tepat di depan pintu utama rumah yang terbuka. Naira melongok sebentar ke dalam. Terdengar suara beberapa orang yang sedang berbincang dari ruangan dalam. Kemudian Naira memutuskan untuk mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sambil menunggu Mbak Sarah atau Tante Rianti yang keluar, Naira menatap kakinya yang hanya memakai sandal jepit bergambar spongebob milik Saba.
"Cari siapa?" suara berat dari dalam rumah membuat Naira mendongak. Naira terkejut. Matanya bersitatap dengan pemilik suara berat itu yang sudah berdiri di depan Naira dengan tatapan yang tak kalah kaget.
"Kak Satriya?" ucap Naira lirih.
Satriya tidak menjawab.
"Kok bisa di sini?" tanya Naira dengan suara yang lebih keras.
"Harusnya gue yang nanya begitu," jawab Satriya.
"Siapa, Mas?" suara Tante Rianti, kemudian menghampiri Satriya dan Naira yang masih berdiri di depan pintu.
"Loh, ada Naira. Apa kabar sayang?" ujar Tante Rianti sambil memeluk Naira erat. "Kenapa gak disuruh masuk sih, Mas?" Tante Rianti menepuk lengan Satriya. "Eh, udah kenalan belum?"
Naira meringis. Satriya mengernyit heran melihat interaksi Mama dan Naira.
"Masuk dulu yuuk, kenalannya di dalem aja ya." Tante Rianti mengamit lengan Naira dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Ini ada brownies titipan Ibu, Tan. Ibu minta maaf karena belum bisa bantu beres-beres pindahan." ujar Naira.
"Nggak apa-apa. Kamu aja yang dateng Tante udah seneng banget." Jawab Tante Rianti sambil tetap mengamit lengan Naira.
Satriya yang masih berdiri di samping pintu memandang heran dengan interaksi Mamanya dan Naira. Selain kaget, rasa penasaran juga memenuhi sebagian pikirannya. Setelah menutup pintu, Satriya segera mengikuti Mama dan Naira.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
DEGUP
ChickLit"Kak, boleh minta tanda tangannya?" Naira menyodorkan papan kertasnya kepada Satrya. Satrya mendongak menatap Naira. Setelah meletakkan kamera di samping duduknya, Satrya meraih papan kertas Naira dan menggoreskan tanda tangan asal. Seharian ini ent...