Happy reading,
Hari ke-7.
"Kamu gak mau beli ponsel?"
Rachel menggeleng, menolak tawaran baik Ibunya. Ntah sudah berapa kali Rachel memberi respon dengan menggelengkan kepala atas semua pertanyaan yang dilontarkan Lena.
Hari ini Rachel dan Sang Ibu bertemu di taman dekat rumahnya, Lena mendapat waktu 30 menit untuk bertemu dengan Rachel.
"Tadi Ibu mau bawa Keysa ke sini, tapi dia gak mau. Katanya panas, hehe. Kamu sama Keysa itu berbeda, kalau kamu suka panas-panasan sementara Keysa gak suka karena dia udah terbiasa tinggal di dalam rumah yang dingin. Soalnya kan kamu tau sendiri gimana Ayah Arif, dia pencinta dingin jadi sangat banyak ac yang ada di dalam rumah kami."
Lena terus bercerita tanpa menyadari perubahan raut wajah Rachel. Apakah waktu 30 menit yang diberikan sama Arif hanya dipergunakan Lena untuk membicarakan tentang keadaan keluarga mereka?
Shit,
Rachel muak.
"Ada handphone keluaran terbaru. Kamu tau itu? Kemarin Keysa baru beli. Ibu bisa beliin buat kamu kalau kamu mau," ujar Lena.
Rachel tertawa sumbang. Ia geleng-geleng kepala.
"Apa gak bisa dalam pembicaraan kita Ibu gak usah bawa-bawa nama Keysa dan nama suami Ibu?" Rachel sedang mengeluarkan unek-uneknya, ia sudah tidak tahan lagi.
"Rachel bukan benci sama mereka. Tapi Rachel cuma bosan dengerin tentang mereka dari Ibu. Seharusnya Ibu nanya ke Rachel, gimana hari-hari yang Rachel jalani sama Ayah. Bukan terus memamerkan kehidupan kaya Ibu," ujar Rachel mampu membuat Lena tercekat.
Rachel menggenggam kedua tangan Lena. "Kapan Ibu mau sadar? Kalau Rachel terluka setiap kali Ibu membicarakan kebahagiaan yang Ibu dapatkan bersama keluarga baru Ibu."
"Kenapa harus Ibunya Sesil yang ngasih Rachel kasih sayang? Kenapa bukan Ibu?"
Lena bungkam, ia tidak dapat membalas semua perkataan putrinya.
"Ada Rachel di sini, di samping Ibu. Tapi yang Ibu bahas selalu tentang Keysa. Kapan Ibu bisa ngerti kalau anak kesayangan Ibu itu gak pernah bisa nerima Rachel sebagai kakaknya?"
"Hel, Ibu gak bermaksud untuk----"
Lena menghentikan perkataannya saat mendengar suara gelak tawa Rachel. Gadis itu tertawa sarkas.
"Lucu, lucu banget," ucap Rachel masih dengan sisa-sisa tawanya. "Jelas-jelas Ibu bahas mereka dalam keadaan sadar," lanjutnya.
"Kenapa kamu gak bisa ngertiin Ibu?" Lena bertanya pada Rachel yang tampak bingung.
"Ibu gak punya teman cerita. Apa salah kalau Ibu mau berbagi kehidupan Ibu sama anak kandung Ibu sendiri?" tanya Lena. "Kamu udah besar, jadi Ibu pikir kamu lebih paham sama apa yang sedang Ibu alamin."
"Meskipun Ibu udah gak tinggal sama kamu tapi Ibu gak pernah ngelupain kewajiban Ibu," ujar Lena. "Ibu selalu kirim kamu uang setiap bulan. Apa itu masih kurang?"
"Kalau Ibu perhatikan penampilan kamu dari dulu selalu seperti ini. Kamu gak ada perubahannya. Padahal Ibu berharap kamu bisa gunakan uang dari Ibu dengan baik. Apa jangan-jangan uang dari Ibu dipakai sama Ayah kamu, iya?"
Cukup, sudah cukup semua cemooh ini. Rachel sudah tidak bisa lagi menyembunyikannya.
"Apa Ibu pikir tanggung jawab Ibu hanya sebatas memberi uang aja, iya?"
"Ada tanggung jawab yang Ibu lupain. Ibu lupa kalau tugas seorang Ibu itu lebih dari sekedar memberi uang," ujar Rachel tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk Lena berbicara.
"Maaf, Bu. Yang Rachel harapin dari Ibu bukan hanya uang. Bahkan Rachel gak butuh itu karena Ayah bisa memberikan Rachel kehidupan yang baik. Rachel cuma butuh kasih sayang Ibu," ujar Rachel, tanpa sadar air mata gadis itu luruh membasahi wajahnya.
"Rachel ingin diajarin masak sama Ibu, Rachel ingin ngerasain masakan Ibu, bahkan Rachel ingin denger Ibu marahin Rachel ketika Rachel buat kesalahan. Rachel mau hubungan antara seorang Ibu dan anak yang sesungguhnya." Rachel menghapus kasar air matanya. Ia membuang pandangannya, menatap ke arah lain.
"Rachel gak pernah nuntut banyak hal sama Ibu, cukup gunakan waktu Ibu dengan baik di saat kita sedang ketemu."
Rachel beranjak dari duduknya, ia menatap Lena yang memancarkan sorot sedih. Rachel tau, ia sadar bahwa dirinya sudah melukai hati Lena, Rachel tidak bermaksud untuk melakukan itu.
"Maafin Rachel, Bu. Rachel sama sekali gak ada niat untuk buat Ibu sedih. Rachel cuma anak remaja yang sulit mengontrol diri."
"Hel, kamu mau kemana sayang?"
"Udah 30 menit. Ibu gak sadar, kan?" Rachel tersenyum tipis.
"Dari awal kita ketemu sampai sekarang gak ada sedikit pun Ibu nanya tentang kehidupan Rachel sama Ayah. Ibu hanya membahas kesenangan Ibu sendiri," ujar Rachel semakin membuat Lena terdiam.
Lena bangkit dari duduknya, ia berdiri tepat dihadapan Rachel.
"Maaf, Hel. Ibu tau kalau Ibu udah nyakiti perasaan kamu. Ibu cuma mau kamu tau kalau sekarang Ibu baik-baik aja. Bahkan Ibu sangat bahagia dengan kehidupan Ibu."
Rachel mengangguk paham. Ia tersenyum lebar. "Tapi kebahagiaan yang Ibu dapatin hasil dari rasa sakit yang dialamin Ayah."
●●●●●●●
"Itu pasirnya dibenerin. Batu batanya juga disusun yang rapi. Kamu bisa kerja gak sih! Kenapa Pak Bimo harus merekomendasikan kamu untuk mengerjakan pembangunan ini. Dasar gak becus!"
Alian berusaha tidak mendengar ucapan Arif. Dari tadi, sejak pagi ia sudah menerima hinaan itu. Bahkan banyak rekan-rekan kerja yang menatap kasihan pada Alian, mereka tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada bos dan karyawan tersebut. Tapi mereka semua jelas bisa melihat bahwa pekerjaan Alian sudah benar, tidak ada yang salah. Tapi Arif selalu mencari celah untuk dapat melihat kesalahan Alian.
"Sudah, cukup!" Arif mendorong kasar tubuh Alian. "Saya tidak mau melihat kamu ada di sini lagi. Silahkan pergi sekarang juga."
Alian tidak akan memohon pada Arif, dia tidak akan mengemis. Meskipun Alian sangat butuh pekerjaan ini tapi harga dirinya lebih butuh untuk dilindungi.
"Baik, terima kasih untuk kesempatan ini, Pak. Saya permisi." Alian membungkuk dengan hormat.
"Tunggu dulu," ujar Arif.
Arif berjalan ke arah mobilnya. Lalu ia kembali berjalan mendekati Alian, dan tanpa diduga oleh semua orang, Arif melempar lembaran uang berwarna merah ke wajah Alian. Hal itu sangat merendahkan harga diri Alian.
"Ambil, itu sebagai gaji terakhir kamu! Orang miskin seperti kamu pasti butuh uang."
Alian menggepalkan kedua tangannya, giginya bergelutuk menahan marah. Dan pada hitungan detik Alian melayangkan satu pukulan ke pelipis Arif.
"Saya tau anda orang punya. Tapi tidak seharusnya anda melakukan hal seperti itu kepada saya."
Kejadian itu semakin tidak terkendali saat Arif balas memukul perut Alian, bahkan semua pekerja langsung menghentikan aktifitas mereka dan melerai keduanya.
"Kalau saya mau. Sudah dari dulu saya menjebloskan anda ke penjara karena sudah selingkuh bersama istri saya!"
Ucapan Alian berhasil membuat semua orang menatap terkejut pada Arif. Bisikan tidak mengenakan langsung dapat terdengar.
Arif yang tidak terima dengan hal itu langsung menyentak kasar kedua tangannya yang dipegang oleh beberapa anak buahnya.
"Saya tidak bisa memaafkan ini. Saya akan menuntut kamu karena sudah memukul saya! Saya akan bawa masalah ini ke ranah hukum. Dan akan saya pastikan bahwa kamu akan mendekam di dalam penjara."
●●●●●●●
Jangan lupa ☆
Tq ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
KING IN HEART (END)
Подростковая литература30 hari sebelum kepergian, Ayah. "Yah, kakak rindu." "Yah, kakak mau makan disuapin sama Ayah lagi." "Yah, hujan deras, banyak petir, kakak takut." "Ayah, kenapa Ibu gak pernah jenguk kita?" "Yah, lihat... itu ada Ibu, di sana. Ibu terlihat bahagia...