Happy reading,
Hari ke-22.
Suhu badan Alian belum juga turun, Rachel semakin dibuat khawatir. Apa yang harus ia lakukan? Seharusnya Rachel berangkat ke sekolah, tapi dia sama sekali tidak bisa meninggalkan Sang Ayah sendirian.
"Kak," panggil Alian.
Uhuk, uhuk,
"Yah, minum air hangat dulu ya," ujar Rachel.
Rachel memberikan segelas air hangat pada Alian. Ia bahkan membantu Sang Ayah meminumnya. "Batuk Ayah makin parah. Apa Ayah gak mau pergi ke rumah sakit aja?" tanya Rachel. "Kita berobat," ucapnya.
Alian menggeleng lemah. "Gak usah kak. Ayah minum obat warung aja. Gak perlu dibawa ke rumah sakit," ujar Alian menolak.
Alian selalu seperti itu, jika dirinya jatuh sakit maka ia hanya akan berharap pada obat yang dijual di warung. Tapi kalau Rachel yang sedang sakit, pasti Alian langsung membawa anak perempuannya itu ke rumah sakit. Bahkan Alian tidak peduli bagaimana cara membayar administrasinya, yang terpenting dan utama adalah kesembuhan dan keselamatan Rachel.
"Yah..." lirih Rachel. Matanya berkaca-kaca. Setiap kali melihat Alian jatuh sakit, maka Rachel selalu takut. Ia selalu berpikir jauh, ia takut Alian akan meninggalkannya.
"Kakak mohon, kita berobat aja. Kita bisa pakai uang tabungan kakak. Yang penting sekarang Ayah segera ditangani sama Dokter," ujar Rachel masih berusaha membujuk agar Alian mau pergi ke rumah sakit.
Respon yang diberikan Alian masih sama, menggeleng. "Gak perlu kak," ucap Alian. "Ayah cuma kecapekan aja. Besok juga udah sembuh. Kita gak perlu buang-buang uang hanya untuk memeriksa keadaan Ayah," sambung Alian.
Alis Rachel menyatu. 'Hanya' apakah Ayahnya tidak tau seberapa besar rasa khawatir Rachel? Ini bukan hanya semata-mata agar Sang Ayah cepat sembuh. Tapi Rachel juga ingin tau, apakah Ayahnya memiliki penyakit yang serius atau tidak. Rachel tidak pernah bisa tidur nyenyak karena mengingat bahwa Ayahnya mempunyai riwayat jantung.
"Uang bisa dicari, Yah. Bahkan kakak bisa kerja dari sore sampai malam kalau karena uang yang jadi alasan Ayah gak mau dibawa ke rumah sakit," ujar Rachel. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya.
"Kakak cuma mau Ayah sembuh. Kakak gak mau setiap malam Ayah meringkuk kedinginan. Suhu badan Ayah panas. Belum lagi Ayah batuk-batuk," ujar Rachel. "Kakak gak mau sampai ada hal serius yang terjadi sama Ayah. Dan kakak gak mau menyesal karena terlambat mengetahui itu!" Rachel hilang kendali, untuk pertama kalinya dalam hidup ia berbicara dengan intoasi yang terkesan membentak Sang Ayah.
Rachel benci dirinya yang lemah. Rachel membenci dirinya yang tidak bisa menahan kesedihan. Air matanya luruh, sialan. Rachel tidak menyukai ini. "Kakak cuma punya Ayah," parau Rachel. "Kakak takut...." Rachel menjeda ucapannya." Ia menatap lekat netra teduh Sang Ayah. "kakak takut kehilangan Ayah," lirihnya.
Alian tertegun. Seharusnya ia mengerti dan paham perasaan Rachel. Anaknya itu memang tidak bisa jauh-jauh darinya. Itu terbukti ketika Alian pulang telat, Rachel selalu menunggunya di depan pintu. Sebelum tidur Rachel menyempatkan diri untuk menurunkan rasa gengsinya, ia mencium kening dan pipi Alian. Rachel tidak malu menunjukan sikap manjanya kepada Alian. Rachel selalu bersikap seperti anak-anak.
"Kak, maafin, Ayah." Alian mendekap erat tubuh Rachel. Ia mengusap lembut punggung Sang anak. "Ayah gak bermaksud buat kakak sedih," ujar Alian.
Alian melerai pelukan keduanya. Ia menghapus air mata yang mengalir cukup deras di pipi Rachel. "Gak ada yang perlu kakak khawatirkan," ujar Alian. "Ayah gak akan pergi kemana-mana. Ayah selalu ada di sini."
"Yah----"
"Kak," Alian memotong perkataan Rachel. "Dengerin Ayah baik-baik," ujarnya menangkup wajah Rachel dengan telapak tangannya yang kasar dan panas.
Tubuh Rachel berdesir saat kulit Sang Ayah menyentuh kulitnya. Rasa panas ikut menjalar ke tubuh Rachel.
"Ayah janji sama kakak, Ayah janji kalau Ayah akan selalu ada sama kakak. Selamanya."
Alian mengucapkan janji tanpa berpikir bahwa setiap kehidupan pasti ada kematian.
●●●●●●●
"Kemana kamu semalam?"
Jantung Lena berdetak tidak karuan mendengar pertanyaan Arif. Apa yang harus Lena katakan? Jika dia jujur itu sama saja dengan dia membuka jalan masuk keributan di dalam keluarganya.
"Kamu keluar tanpa izin dari aku," ujar Arif. "Apa kamu ketemu sama anak kamu itu?" tanya Arif dengan suara yang terkesan menuntut.
Lena menggeleng. Ia memberikan susu kepada Keysa yang tengah melahap soto buatannya. "Minum sayang," ujar Lena.
"Aku gak ketemu sama Rachel," kata Lena memandang Arif. "Aku ke lokasi pembangunan rumah kita," lanjutnya.
Arif memicingkan matanya. Melihat itu Lena tersenyum samar.
"Kalau mas Arif gak percaya sama aku. Mas bisa tanya sama orang-orang yang kerja di sana," ujar Lena.
Untung saja semalam sepulang dari rumah Rachel dan Alian, Lena mampir ke lokasi pembangunan rumahnya yang terletak tidak jauh dari sana.
"Aku percaya," ujar Arif tampak malas berdebat. "Lain kali kasih tau ke aku kalau kamu mau keluar. Biar aku tau kamu pergi kemana."
Lena mengulum senyum. "Maaf," katanya. "Aku cuma gak mau ngerepotin kamu. Aku tau kamu lagi sibuk kerja," ujar Lena.
"Tapi jangan pergi sendiri. Kamu bisa minta antar sama supir," ucap Arif. "Ingat, kamu itu istri aku. Istri dari pengusaha sukses. Jadi kamu harus pakai fasilitas yang aku kasih," ujar Arif. Ada senyum kesombongan yang terpatri di wajahnya saat mengatakan kebenaran itu.
"Yah," panggil Keysa. "Nanti liburan sekolah kita jalan-jalan, yaa."
"Mau jalan-jalan kemana?" Pertanyaan ini datang dari Lena, bukan suaminya.
"Kemana aja. Asal bukan di Indonesia," ujar Keysa. "Kemarin teman aku habis dari Prancis, dia liburan di sana sama keluarganya."
Arif mengusak pucuk kepala Keysa. "Jadi kamu mau ke sana juga?" tanyanya.
"Iya," jawab Keysa antusias. "Kita udah lama kan gak jalan-jalan ke luar Negeri?"
Arif mengangguk, benar. Dia sudah lama tidak membawa keluarga kecilnya pergi berlibur ke Negara lain.
"Yaudah. Nanti kita ke sana. Tapi ada syaratnya," ujar Arif menarik hidung Keysa.
Keysa memayunkan bibirnya. "Kok pakai syarat?" tanyanya. "Gak seru."
"Syaratnya kamu harus habisin makanan dan susu kamu ini. Jangan sampai sisa," ujar Arif.
Senyum mengembang sempurna di bibir Keysa. Ia dengan gerakan cepat kembali memakan sarapannya.
"Mas," panggil Lena. "Aku boleh ajak Rachel?"
Keysa tersedak, anak perempuan itu langsung minum sampai habis tidak tersisa.
"Pelan-pelan, Key. Kamu ini," ujar Lena mengingatkan.
"Ibu..." Keysa menatap Lena, tatapan yang sulit diartikan. "Aku gak mau ada dia. Ini liburan keluarga kita!"
Lena terkejut, ia sampai melotot tidak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Keysa.
"Tapi kan Rachel juga anak Ibu. Dia kakak kamu," ujar Lena.
"Ish, pokoknya aku gak mau kalau dia ikut. Aku gak punya kakak! Harus berapa kali aku bilang soal ini." Keysa memukul meja dan meninggalkan ruang makan.
Arif mendengus kasar. "Lihat, kan? Karena kamu Keysa marah," ujar Arif menyalahkan Lena.
"Tapi aku cuma----"
"Cukup!" bentak Arif. "Apa yang dikatakan Keysa itu benar," ujarnya.
Arif beranjak dari duduknya. Ia melonggarkan dasi yang terasa seperti mencekik lehernya. "Ini liburan keluarga kita. Dan anak perempuan kamu dari laki-laki miskin itu tidak masuk ke dalam keluarga ini."
●●●●●●
Jangan lupa ☆
Tq ♡
KAMU SEDANG MEMBACA
KING IN HEART (END)
Teen Fiction30 hari sebelum kepergian, Ayah. "Yah, kakak rindu." "Yah, kakak mau makan disuapin sama Ayah lagi." "Yah, hujan deras, banyak petir, kakak takut." "Ayah, kenapa Ibu gak pernah jenguk kita?" "Yah, lihat... itu ada Ibu, di sana. Ibu terlihat bahagia...