2 || Namanya Olivia

82 21 0
                                    

"Kita cukupkan materinya sampai di sini, ada pertanyaan?" Pak Brian mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, menelisik wajah-wajah kebingungan di kelas. "Jika tidak ada, maka sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Jangan lupa tugas kalian dikerjakan," tutup pria tersebut sambil membereskan barang-barangnya di meja lalu beranjak keluar dari kelas.

Ketika punggung Pak Brian sudah benar-benar lenyap, aku menghela napas berat kemudian menidurkan kepala di meja. "Aku tidak mengerti sama sekali dengan mata kuliah hari ini," rengekku merasa bodoh.

Dulu, kukira aku sudah cukup pandai untuk masuk ke jurusan Fisika Murni. Namun tentu saja semua akan berbeda jika kau sudah masuk ke perguruan tinggi. Hal yang kita sangka paling dikuasai, ternyata bisa membuat kita merasa rendah diri. Dan ini nyata, benar-benar kenyataan yang hanya bisa ditemui di perguruan tinggi.

"Jane, kamu bisa mengatakan itu setiap hari dan coba bayangkan perasaanku sebagai pendengarnya," kata seorang gadis di sebelahku yang tengah merapikan perangkat belajarnya di meja. Dia Olivia, satu-satunya teman kampus yang setia kendati aku banyak mengeluh dan selalu menarik energi negatif.

Aku mencebikkan bibir. Olivia tentu tidak mengerti perasaanku karena ia sendiri tidak pernah menghilang selama tiga tahun. Bayangkan, tiga tahun! Aku harus mengejar banyak sekali materi supaya tidak tertinggal, yang mana kualitas belajarku harus berkali-kali lipat dari orang-orang pada umumnya. Jadi bisa diketahui juga bagaimana kondisi kantung mataku setiap hari.

"Pak Brian cukup manusiawi ya hari ini. Beliau tidak membuat kuis dadakan seperti yang sudah-sudah," kata Olivia sambil menutup tas selempangnya. Ia sudah beres.

Dengan malas-malasan, aku berusaha bangkit duduk untuk ikut merapikan tab dan beberapa buku supaya tidak ditinggal sendirian di kelas karena kulihat mahasiswa-mahasiswa yang lain sudah mulai beranjak pergi.

"Manusiawinya Pak Brian saja aku masih merasa tertinggal," ungkapku dengan ekspresi murung.

Olivia bergumam panjang, seolah-olah  tengah berpikir keras. Lantas ia memajukan tubuh untuk melihat ekspresiku dan menunjukkan senyum manisnya. "Mau karaoke malam ini?" usul gadis itu sambil menaik-turunkan alis, menggodaku.

Aku refleks membelalakkan mata, terkejut. "Olivia! Kita mahasiswa akhir jadi yang benar saja!"

Terakhir Olivia mengajakku karaoke, ia mabuk sampai keesokannya tidak bisa mengikuti mata kuliah. Aku sendiri tidak mengonsumsi minuman beralkohol, tapi yang benar saja? Melepas penat dengan karaoke dan tidak mengikuti mata kuliah keesokannya adalah bunuh diri bagi mahasiswa akhir! Mana mungkin aku tega membuat Olivia ketinggalan seperti itu. Belum lagi kami akan mulai mengerjakan skripsi.

Olivia menarik tubuhnya dan tersenyum miring. "Itu kau tahu. Kita sama-sama tidak punya pilihan selain stres karena ini semua, jadi berhenti mengeluh!" tegasnya lagi.

Bahuku kembali turun karena ajakan karaoke itu hanya ancaman. Entahlah, setiap mata kuliah berakhir perasaanku memang tidak pernah baik-baik saja.

"Ayo makan siang bersama," ucapku seraya mengenakan ransel di punggung.

Kami berdua berdiri dari kursi bersamaan, lalu keluar dari barisan kursi dan menuruni anak tangga.

Olivia menguncir rambut panjangnya ke belakang seraya berjalan. Ia ahli dengan hal itu. Rambutnya yang hitam legam diberi sentuhan ash blonde membuat Olivia tampil dengan menawan. Olivia adalah tipe gadis yang membuat para laki-laki mau tak mau menolehkan kepala untuk melihatnya karena ia memang secantik itu! Aku tidak bermaksud mengobjektifikasi Olivia, tapi kurasa ia benar-benar pantas mendapat predikat mahasiswi cantik di kampus kami.

Lucunya lagi, Olivia tertarik dengan Jason, kembaranku yang dungu itu. Lebih dungu dariku, tentu saja.

Ah, kenapa dunia ini benar-benar menyebalkan.

"Makan siang bersama? Aku tidak salah dengar? Ke mana Ran?" tanya gadis itu beruntun.

Aku memegangi kepala karena merasa pening mendengar nama itu disebut. Ya ampun, mungkin ini yang membuat energi negatif itu datang serentak.

Ini bukan salah Olivia. Aku mewajarkan ia sampai bertanya beruntun seperti itu karena kebiasaanku setiap makan siang di kampus memang selalu bersama Ran. Kami sama-sama mahasiswa akhir dan tidak memiliki banyak waktu untuk kencan di luar aktivitas kampus, jadi satu-satunya waktu yang bisa dimanfaatkan adalah jam makan siang atau jam belajar di perpustakaan, kadang-kadang juga di rumah.

"Ia sedang tidak mau diganggu," jawabku sekilas.

"Lagi? Astaga, apa yang salah?"

Iya, ini bukan kali pertama Ran bertindak begitu.

"Tidak ada. Hanya saja... yah, mungkin krisis identitas?" jawabku lagi dengan nada mengambang. Jujur, aku sendiri bingung dengan sikapnya itu.

"Krisis identitas?" Olivia bergaya ikut pening sepertiku sambil menyentuh keningnya dengan jari. "Katakan padaku bahwa usia pacarmu masih belasan tahun."

Dan aku hanya tertawa renyah mendengar itu.

Yah, kita semua tahu, hubungan percintaan tidak pernah lepas dari kompleksitasnya. []

***

a/n: HAI GES KITA KEMBALI LAGI! aku habis break up from my relationship,  jadi kemarin hiatus dadakan dari wattpad lagi huhuu. masalah hidup memang ada-ada ajjahh. karena itu, mari mulai menuntaskan proyek ini sambil menertawakan carut-marut skenario semesta supaya bisa sembuh. WKWKWK.

btw baik-baik sama olivia ya, karakter baru nih! :¢

dan iyaa konflik sekuel Hertz nggak bakal bikin kalian mual-mual muntah seperti Hertz pertama ehehe. konfliknya light jadi bisalah dibaca pas santai. oke dah, semoga hari kalian selalu menyenangkan!

Hertz: Against FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang