Kami termenung. Kami bertiga duduk di kursi tengah yang berbeda, tapi pandangan kami mengarah ke satu titik yang sama. Tatapan kami sama-sama tidak beralih dari sebuah surat yang terletak di atas meja, sebuah surat paling buruk yang pernah kubaca seumur hidup.
Charles terus membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Beberapa kali ia menggelengkan kepalanya tidak percaya, beberapa kali juga ia mengambil napas panjang sambil menghadap langit-langit, berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir di pipi. Charles sangat terpukul seusai membaca isi surat itu.
Sedangkan Ran masih mengepalkan tangannya. Sejak tadi, tangan itu tidak pernah berhenti mengepal. Aku tahu Ran berusaha keras untuk tidak meninju dirinya sendiri karena kami semua berakhir mengetahui kenyataan itu, tapi tetap saja, aku tidak mengerti kenapa Ran memilih menyembunyikan ini semua.
Lalu bagaimana denganku? Bagaimana denganku yang baru mengetahui kabar bahwa aku dan Ran akan mati dalam waktu tiga bulan mendatang? Bagaimana perasaanku setelah membaca surat itu?
Aku tidak mengerti. Perasaanku kosong. Pikiranku hampa. Aku tidak menyadari gejolak apapun di dalam diri. Aku hanya memandang lurus surat tersebut dengan putus asa, dengan tatapan kosong, dan hilang harapan.
Surat sialan. Bisa-bisanya ia merenggut semua warna hidupku dengan drastis.
"Di mana Jason dan Chris?" Aku menoleh ke Charles, karena ia yang terakhir melihat mereka pergi dari sini.
"Masih membeli dimsum," jawab Charles dengan suara bergetar.
Aku mengangguk, lalu menepuk lutut. "Yah, kalau begitu aku harus pulang sekarang."
Ran mengangkat kepala dan menatapku. Kedua matanya memerah, dan tangan Ran tidak lagi mengepal. Ia menghalangi jalanku dengan kakinya. "Jane ...."
Setelah dua minggu, ini kali pertama aku mendengar Ran menyebut namaku lagi. Setelah dua minggu yang menyakitkan karena aku harus berspekulasi sendirian, ini kali pertama aku mendengar Ran menyebut namaku lagi. Seharusnya aku senang karena Ran sudah kembali, tapi tidak, aku tidak merasa senang sedikit pun. Malahan sebaliknya, aku merasa muak kepada Ran. Aku muak mendengar ia menyebut namaku lagi. Aku muak mendengar ia memanggil namaku dengan lirih bersama kedua matanya yang merah. Aku muak berada di posisi ini.
"Jane ... maafkan aku," jelas Ran, melengkapi kalimatnya.
Namun aku terlanjur muak dengan kalimat itu. Aku muak dengan segalanya. Aku membenci Ran lebih dari siapapun di dunia.
"Jane ...." Ran terus memanggilku karena aku tidak merespon.
Dan entah bagaimana, serangan emosi itu baru datang sekarang. Marah, sedih, benci, sakit, semuanya. Dadaku sesak dan pikiranku mendadak penuh. Aku juga merasa mual karena semua perasaan itu datang terlalu serentak.
"Bagaimana bisa kau menyimpan ini semua sendiri?" Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulutku.
"Aku tahu, aku salah. Maaf ...."
Aku menggeleng. Aku berusaha keras menahan genangan di mataku agar tidak pecah sekarang juga. "Bagaimana bisa kau menyembunyikan ini dariku? Bagaimana bisa kau menjauhiku setelah mengetahui kabar ini?!"
"Jane, aku--"
Aku bangkit berdiri. "Bagaimana bisa ... kau menyembunyikan kabar kematian kita dan menghabiskan waktumu sendirian? Kau kira tidak ada yang ingin kulakukan sebelum aku mati?"
"Bukan begitu."
"Egoisnya." Aku memilih tidak mendengarkan Ran, karena memang, ia yang sudah tidak mendengarkanku dari awal. "Egoisnya kau membiarkanku mengetahui kabar ini sendiri. Egoisnya kau membiarkanku tahu dari orang asing yang bahkan tahu setiap perjalanan kita! Bagaimana kau ...?"
Lalu aku menangis. Aku menangis terisak dan kembali terduduk di kursi. "Itu maumu ... Ran? Kau ingin aku mati sendirian?"
Charles datang ke kursiku, lantas ia merengkuh tubuhku supaya berada di pelukannya.
"Charles, Ran ... ia ...." Aku terisak-isak sampai tidak mampu menuntaskan kalimatnya.
Charles tidak banyak bicara. Ia hanya memeluk tubuhku dan mengusap punggung, lalu sama-sama menangis di pelukan. Aku melupakan kenyataan Charles sebelumnya. Dan sekarang, aku tahu bahwa ia juga sama-sama terpukul seperti kami berdua. Karena memang, tidak ada yang pernah siap dengan kehilangan. Begitu juga dengan kabarnya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz: Against Fate
Ficção CientíficaBook Series #2 Takdir Semesta bukan kita yang pegang, karena posisinya berada di luar kendali kita semua sebagai manusia. Namun, bagaimana jika kita bisa meminta-Nya untuk mengubah jalan takdir itu? Aku dan Ran mengalami masa-masa yang sulit; masa-m...