Suasana kafe sore ini cukup ramai karena akhir pekan. Banyak muda-mudi yang berkumpul bersama teman-temannya. Ada yang membawa laptop dan alat tulis untuk belajar atau rapat, ada juga yang sekadar bawa diri karena tujuannya memang untuk bercengkrama. Aku dengan Ran masuk ke dalam kategori nomor dua. Kami tidak membawa laptop, buku, alat tulis atau apapun itu sebab tujuannya adalah demi membicarakan sesuatu.
Membicarakan semesta dalam pikiranku.
Jadi aku sedikit berdeham. Lalu menyedot es kopiku dengan kikuk untuk membasahi tenggorokan. "Maaf, aku minum lebih dulu, ya," ucapku tak enak hati, karena minuman Ran belum sampai.
"Tidak masalah."
Sebenarnya bisa saja aku minum ketika pesanan Ran sudah sampai, tapi resiko untuk tersedak air liur sendiri pasti sangat besar. Jadi lebih baik sungkan saat ini daripada aku menahan minum dan berakhir menjatuhkan harga diri pada akhirnya.
Selain itu, omong-omong, aku beruntung karena tempat-tempat seperti ini senantiasa menyalakan musik supaya suasana tetap berjalan cair. Tidak bisa membayangkan kalau kami ingin membicarakannya di taman belakang Ran, pasti akan lebih canggung lagi.
Eh, bukan perkara canggung, sih. Jika kami bertemu di taman belakang itu, kupikir aku PASTI sudah tidak berada di depannya lagi (baca: kabur). Jadi baguslah, pemilihan kafe ini rasa-rasanya tidak terlalu buruk.
Ah, kembali, kembali! Aku malah sibuk dengan kepalaku sendiri.
"Bagaimana dengan Sapiens? Bukunya sudah selesai kau baca?" tanyaku berbasa-basi, berusaha mengangkat topik menarik sesuai saran mesin pencarian tadi supaya gelembung kecanggungan ini bisa segera berakhir.
Ran menggelengkan kepala lalu menyandarkan punggungnya pada belakang kursi. "Belum."
"Terlalu banyak halaman, ya?" tebakku, tidak mau percakapan ini langsung berhenti.
Ia mengangkat alis sambil menggelengkan kepalanya lagi. "Bukan, bukan. Harari memang menulis kurang lebih lima ratus halaman, tapi bukan itu masalahnya." Ran agak diam sebentar, berpikir. "Kurasa karena di buku Sapiens, satu bagiannya saja sudah multi lapis," lanjut Ran.
Aku mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini. Dalam hati, aku berterima kasih kepada penulis artikel tadi karena telah membantuku dalam menemukan awal topik pembicaraan.
Jadi aku menegapkan badan lalu menarik kursi untuk bergerak maju sedikit. "Multi lapis bagaimana?"
Ran ikut membenahi postur duduknya, kurasa ia juga mulai tertarik. Lantas ia meletakkan kedua tangan di atas meja untuk memperagakan apa yang ingin ia bicarakan. "Misal, salah satu bagian kesukaanku di Sapiens adalah Revolusi Pertanian. Harari membahas mengenai domestikasi, yakni bagaimana manusia akhirnya bisa 'menjinakkan' alam di Bumi. Spesies kita yang di zaman purba mendapatkan makanan dari berburu hewan, tapi spesies saat ini? Wah, kita bisa merawat sapi sampai mereka menghasilkan 340 juta ton daging per tahun melalui kandang-kandang yang tersebar di seluruh dunia. Kita tidak perlu lagi berlari-lari mengejar rusa, kambing, atau apapun itu seperti nenek moyang kita dulu, karena semua sudah tersedia sekarang."
Aku mengerjapkan mata selama beberapa saat. Oke, ini jauh dari bayanganku. Aku tidak menyangka Ran bisa bicara sepanjang itu tentang buku, dan APA? Manusia bisa 'menjinakkan alam'? Astaga, aku harus membaca Sapiens! Ke mana saja aku selama ini?
"Itu angka yang sangat besar," ujarku, dengan mata membulat kaget.
"Tentu."
"Dan bagian multi lapisnya?"
"Dalam tema Revolusi Pertanian, Harari juga membahas 'perangkap kemewahan'." Ran berhenti bicara karena pelayan kafe datang mengantar pesanannya. Baru ketika wanita itu pergi setelah menurunkan teh hijau Ran dan disusul kami mengucapkan terima kasih, Ran lanjut bicara. "Yah, semacam mengungkap dampak dari hak istimewa yang kita punya sekarang. Harari menarik benang merah kompleks itu satu per satu."
Aku menggelengkan kepala kagum. "Sepertinya buku yang bagus."
Ran tersenyum dan mengiyakan, "Sangat bagus. Harari bisa mengatakan spesies kita amat evolusioner, tapi di waktu yang sama, Harari juga menjelaskan bahwa kecepatan kita dalam mengenal alam semesta ternyata mampu menghancurkan alam itu sendiri."
"Satu bagian saja sudah sekompleks itu. Dan kamu pasti butuh waktu untuk mencerna semuanya, 'kan?" tebakku lagi.
Ran menyesap teh hijaunya dari cangkir. Kemudian ia kembali meletakkan cangkir itu di meja dengan senyum simpul. "Kau benar, aku butuh waktu untuk mencernanya."
"Sudah kuduga!" Aku tertawa puas, diikuti oleh Ran.
"Pikiranku semudah itu untuk dibaca, ya?"
Aku mengedikkan bahu, tandanya berkata, "Yah, begitulah."
Kemudian, kami hening sebentar. Hening untuk menyerap pembicaraan dan menghargai isi pikiran masing-masing.
Isi pikiranku sendiri? Aku menyukai bagaimana Ran menjelaskan buku yang tengah dibacanya. Walaupun aku tahu Ran sudah pintar dari genetik, tapi sangat berbeda rasanya ketika kita mendengar penjelasan langsung tentang hal-hal yang menarik di matanya. Ran kelihatan tahu betul tentang apa yang disuka dan aku takjub betul mendengarkan itu semua.
"Harari adalah Ahli Sejarah Dunia, pikirannya pasti sangat multi lapis. Dan aku kagum bagaimana ia bisa dengan mulusnya menjelaskan kerumitan sejarah Homo sapiens dalam satu buku saja. Sejarah spesiesnya sendiri," tutur Ran sambil membentuk senyum. "Harari hebat sekali."
Aku mengangguk, menyetujuinya. "Benar, tidak mudah untuk membuat buku. Menjadikan pikiran kita sebagai satu wujud? Wah, sudah pasti sangat sulit."
"Sesulit kamu menuliskan surat itu?" tembak Ran mendadak.
Jadi aku tersedak. Tersedak air liurku sendiri.
Astaga, aku tidak menduga Ran akan mengungkit suratku di waktu yang tidak tepat. Maksudku, seharusnya aku yang mengambil topik itu lebih dulu, bukan malah ia yang menyeretnya!
Aku masih terbatuk-batuk. Rasanya air liurku salah masuk saluran, jadi alih-alih masuk ke kerongkongan, ia justru menyasar ke tenggorokan.
Ran ikut panik ketika melihatku tersedak dan batuk-batuk seperti kakek tua yang mau meninggal. Ia segera menyerahkan es kopiku agar lekas kuminum selagi aku menepuk-nepuk dada kesakitan. Sebelumnya tenggorokanku terasa seperti terbakar, tapi begitu minum es kopi dari tangan Ran langsung, mendadak rasa panasnya mulai mereda.
Ya ampun, kukira tragedi seperti ini tidak akan terjadi. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz: Against Fate
Fiksi IlmiahBook Series #2 Takdir Semesta bukan kita yang pegang, karena posisinya berada di luar kendali kita semua sebagai manusia. Namun, bagaimana jika kita bisa meminta-Nya untuk mengubah jalan takdir itu? Aku dan Ran mengalami masa-masa yang sulit; masa-m...