Aku sudah berusaha memilih setelan pakaian yang menarik, tapi juga tidak mencolok. Hanya atasan turtleneck hitam dan rok floral putih (menggunakan rok feminin setelah sekian lama), kemudian memakai kalung dengan liontin kupu-kupu yang ada di meja hiasku. Selanjutnya, tadi aku menata rambut lebih rapi (aku mengepangnya seperti karakter Elsa dalam film Frozen), dan memakai flatshoes hitam favorit yang hanya digunakan di acara-acara tertentu.
Sore ini, aku tampil kasual, tapi semoga saja tidak "sesantai" itu dan tidak "senorak" itu. Aku berharap berada di tengah keduanya. Tapi ah, semua ini membingungkan.
Arloji yang melingkar pada tanganku menunjukkan pukul tiga sore di menit keempat puluh lima. Itu berarti aku masih ada waktu sebanyak lima belas menit untuk memikirkan topik apa yang cocok sebagai pembuka sebelum ke pembicaraan inti kita hari ini.
Iya, topik apa ya?
ASTAGA, aku belum menyiapkannya dari rumah! Apa aku harus mencarinya di internet dulu?
Maka aku buru-buru membuka Google dan mengetik kegusaran baruku di sana.
Seumur hidup, aku baru merasa serepot ini. Topik pembicaraan yang biasanya berjalan mengalir saja mesti aku pikirkan lebih dulu.
Memulai percakapan dengan kabar terkini? Kabar apa? Aku TAHU semuanya. Ia tetanggaku, dan kami sangat dekat, jadi bagaimana tidak?
Jason dan Chris bahkan sudah main di rumahnya sejak pagi, Charles pasti sedang asyik berselancar di media sosial, sarapan mereka tadi adalah sereal dan susu (sebuah rutinitas yang belum berubah sejak kepindahan di frekuensi baru), dan hari ini cerah ... karena lingkungan tempat kami tinggal pun sama, jadi aku tidak bisa berbasa-basi mengenai cuaca. Maka aku harus menanyakan kabar terkini yang bagaimana?
Kemudian topik musik? Ran kurang tertarik dengan musik. Jadi lewatkan saja.
Topik film? Hei, rumahnya didatangi Jason dan Chris sehari-hari demi mengejar film dan series Marvel terbaru! Aku tahu bahwa Ran ikut bergabung juga kadang-kadang, tapi ia lebih sering menyendiri. Semenjak konflik luar frekuensi itu, Ran jadi lebih suka kontemplasi. Ia menikmati masa-masa di mana hanya ada dirinya seorang.
Jadi barangkali topik buku, ya? Aku kerap menemuinya sedang membaca buku di ruang tamu sendirian, di saat yang lain sibuk di ruang televisi.
"Mungkin topik buku adalah awalan yang tepat," gumamku, mengangguk-angguk sambil menggulirkan layar, membaca lengkap artikel tersebut.
Bunyi denting lonceng menggema ke seluruh ruangan, tanda pintu masuk kafe baru saja didorong. Pelayan yang tengah mengelap meja pun refleks menyapa pelanggan, "Selamat datang."
Aku juga otomatis mengikuti arah suara. Dan coba tebak siapa yang datang?
Ran.
Laki-laki itu sudah tiba. Ia ada di sini.
Aku melihat Ran mengangguk sopan kepada pelayan itu, lalu celingukan mencari-cari tempat di mana aku duduk menunggu. Tapi yang harus digarisbawahi, aku sangat kaget menyadari setelan pakaian kami yang nyaris senada. BAYANGKAN! Tanpa membuat janji saja atasan kami bernuansa sama.
Ran juga menggunakan atasan hitam, bedanya ia mengenakan kemeja lengan pendek dan celana denim hitam. Iya, setelannya hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kontrol dirimu Jane," ingatku pada diri sendiri ketika merasakan pipi mulai menghangat menyadari kebetulan ini.
Lantas setelah dirasa sudah terkontrol, aku segera mengangkat dan melambaikan tangan, memberi arah kepada Ran supaya ia berjalan ke mari. Posisi dudukku memang di sudut ruangan, cukup jauh dari pintu masuk makanya ia kesulitan mencariku di tengah kafe yang mulai ramai.
Tak berselang lama, Ran langsung melihatku, jadi jantungku refleks berdetak lebih cepat.
Ah, hormon adrenalin itu datang lagi.
Laki-laki itu tidak langsung berjalan mendekat, tapi memesan terlebih dahulu di kasir dan memberitahukan lokasi mejanya. Setelah proses pemesanan dan pembayaran selesai, barulah ia mengarah ke sini; ke mejaku.
Aku harus menahan diri untuk tidak tersenyum spontan dan bergerak salah tingkah menyadari atasan kami yang benar-benar selaras, seperti pasangan pada umumnya, padahal hubungan kami belum sampai sana.
Tenang, Jane. Tenang.
Sekarang ... Ran menarik kursinya di hadapanku, lalu ia duduk dengan santai di sana.
Tidak ada sapaan seperti biasa, ujung bibirnya langsung menarik seutas senyum penuh arti, senyum menawan yang membuatmu ingin membekukan waktu Semesta supaya kamu bisa melihatnya selama mungkin. Ditambah, kedua iris mata Ran menatapku lurus-lurus. Bukan tatapan mengintimidasi, melainkan tatapan teduh.
Maka, aku pun membentuk senyum. Bukan senyum canggung, melainkan senyum hangat.
Ran, asal kau tahu, caramu menyapaku saja sudah berhasil membuat jiwaku melayang entah ke mana. []
***
a/n:
update pagiii! btw semangat puasanya! jaga kesehatan yaa, jangan sampai sakit manteman 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz: Against Fate
Ciencia FicciónBook Series #2 Takdir Semesta bukan kita yang pegang, karena posisinya berada di luar kendali kita semua sebagai manusia. Namun, bagaimana jika kita bisa meminta-Nya untuk mengubah jalan takdir itu? Aku dan Ran mengalami masa-masa yang sulit; masa-m...