10 || Lebih Dulu

31 9 0
                                    

Setelah tenggorokanku lega, aku segera mengambil es kopiku dari tangan Ran, lalu meletakkannya kembali di meja sambil terbatuk-batuk canggung.

"Maaf," ucapku sambil meringis. Harga diriku pasti sudah lenyap di mata Ran, memalukan!

Ran juga jadi kelihatan canggung. Namun karena ia sangat ahli dalam mengendalikan diri, maka ekspresi kakunya hanya selama beberapa detik saja, dan di detik berikutnya ia sudah kembali normal seperti biasa. Sungguh, seandainya saja aku memiliki kemampuan seperti itu.

Semakin petang, kafe semakin ramai. Pelayan kafe mondar-mandir mengantar pesanan yang tak pernah habis. Melihat itu sebenarnya aku berniat membeli minuman lagi atau memesan menu lain, tapi mengingat kalau aku bangkit berdiri untuk pergi ke kasir dan merasakan betapa bebasnya dari kursi ini; dari tatapan menegangkan Ran, yah... aku takut tidak akan kembali lagi (baca: KABUR DARI RAN).

Jadi sekeras mungkin, aku menahan diri.
Jangan, jangan kabur untuk kali ini.

"Sejak kapan?" kata Ran mendadak.

Aku mengernyit heran. "Apa?"

"Sejak kapan kau menyukaiku?" ulang Ran, memperjelas pertanyaan sebelumnya dan sukses membuat darahku berdesir.

Aku termenung, dalam diam sebenarnya berusaha meredam festival drum yang terjadi di dalam tubuhku, selain itu aku juga berpikir. Sejak kapan, ya? Aku tidak ingat betul waktu persisnya.

"Mungkin sejak kita pergi berdua?" jawabku, mengambang.

"Berdua?"

"Iya, ketika di Derivea, kita pergi melihat-lihat kondisi kota di sana berdua." Aku mengelus jari-jemariku, mengalihkan pandangan dari tatapan lurus milik Ran. "Kurasa dari sana, semuanya mulai berbeda," lanjutku dengan senyum simpul di akhir.

Ada hening yang menenggelamkan di sana. Gelembung keheningan yang membuatku sesak napas karena merasa tidak nyaman.

Apakah aku salah bicara? Kenapa Ran diam saja? Kenapa ia tidak merespon?

"Ran, soal surat itu ... maaf, aku tidak bermaksud memaksamu untuk--"

"Berarti aku lebih dulu," putus Ran tiba-tiba.

Aku menengadahkan kepala dan mengernyit bingung. "Apa?"

"Aku menyukaimu lebih dulu."

Mataku mengerjap tidak percaya. Mulutku terbuka dan aku segera menutupnya dengan telapak tangan. Ini terlalu mendadak. Ini sangat di luar ekspektasi. Aku bingung harus merespon apa atau harus bersikap bagaimana. Jantungku rasanya mencelus ke bawah. Atau, aku yang terbang menembus angkasa. Ini seperti ... tidak nyata.

"Bagaimana bisa?" tanyaku, masih tidak percaya.

Ran menyukaiku lebih dulu? LEBIH DULU? Mimpi apa aku semalam?

Dan, sejak kapan? Aku tidak mengingat betul semua waktu yang kami habiskan bersama. Aku juga tidak menyadari gelagat Ran yang mulai menyukaiku. Maksudku, ia sama saja dari awal. Ia tetap tenang, santai, dan ... normal. Ia tidak kelihatan seperti seseorang yang dilanda hormon-hormon jatuh cinta. Ran terlalu normal untuk bilang itu. Jadi, bagaimana bisa? Bagaimana bisa Ran menyukaiku lebih dulu?

"Kau sudah menarik sejak awal."

Napasku tercekat. Ran tidak menjelaskan apapun. Bukan itu jawaban yang aku butuhkan. Jadi aku semakin mengerutkan kening karena kian bingung dengan perkataannya.

"Aku dulu pernah mengintaimu di Quardon, ingat?" kata Ran, mulai menjelaskan.

Mengintai?

Oh, apakah yang dimaksud itu dulu sekali? Ketika Ran berencana mengambilku dari frekuensi satu? Ketika kami bahkan belum ... bertemu?

"Jujur, menarik sekali melihat seorang remaja berusaha mengungkap kompleksitas dunia yang bahkan melebihi kerumitan dirinya sendiri." Ran tertawa hangat seraya memutar-mutar gelas kopinya. "Kemudian, sampai akhirnya kita ada di satu frekuensi yang sama. Aku bisa mengenalmu lebih jauh, dan--"

Aku menangis. Air mata itu mendadak tumpah ruah di pipi dan menjadikanku jelek. Maka aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan menghindari tatapan orang-orang di sekitar. Aku yakin mereka sedang membicarakan kami. Tapi aku tidak peduli. Sangat tidak peduli.

"Jane, kamu kenapa?!" Ran panik, lalu ia beranjak mendekat.

Namun aku tetap menangis. Menangis seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan keinginannya. Aku hanya terus menangis terisak dan tidak memikirkan apa-apa.

Mungkin ini respon alami tubuh ketika kamu merasa senang berlebihan. Serangan dopamin itu tidak bisa lagi tubuhku terima sehingga respon yang terjadi malah tangisan anak-anak.

Aku senang. Sangat senang. Tapi kesenangan ini terlalu mendadak. Aku juga kaget. Sangat kaget. Lagi-lagi, semua ini terlalu tiba-tiba. Aku bingung bagaimana meresponnya.

Ran menyukaiku dari awal? []

Hertz: Against FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang