Jason pernah bilang padaku, bahwa game online adalah jenis permainan yang kompleks. Katanya, bayangkan saja, bagaimana kerumitan para tim ketika membangun dunia game sampai-sampai bisa membentuk gambaran visual yang memukau dan detail karakter-karakter yang fantastis. Setiap pertarungan, setiap pemilihan karakter, setiap kekuatan ... semuanya rumit. Semuanya dibangun dengan rumit dan serius dan bersama hati yang penuh sehingga mereka mampu menciptakan game yang membuat beberapa orang di dunia betah lama-lama memainkannya—nah, ini alasannya Jason main game dari pagi-siang-sore-malam-tengah malam.
Yah, itu kata Jason tentang game.
Namun buatku, perasaan kitalah yang rumit. Bukan game, bukan hal-hal yang sudah terbentuk dan mampu kita lihat.
Hal yang kompleks adalah hal yang tidak bisa kita lihat secara terang-terangan, seperti frekuensi, seperti perasaan kita, pokoknya apa pun itu yang tidak kelihatan dengan mata telanjang.
Bukannya aku tidak menghargai game. Aku sangat SANGAT menghargai para pekerja seni di luar sana. Tapi sebelum mereka menciptakan game, bukankah ada proses kegusaran yang panjang? Bukankah ada proses mengidentifikasi perasaan di dalam masing-masing pekerja seni; di dalam semua orang? Bagaimana cara mereka tahu apa yang benar-benar mereka inginkan? Bagaimana para tim itu bisa membentuk imajinasi mereka menjadi sebuah game (objek) yang nyata? Bukankah proses berpikir ini lebih rumit dan juga menyenangkan untuk dibahas?
Sebenarnya aku ragu. Aku ragu betul mengenai apa yang benar-benar kuinginkan. Kadang, kita butuh waktu panjang untuk merekognisi pola perasaan kita sendiri, hanya untuk menjawab pertanyaan yang jawabannya tidak jauh-jauh dari sekitar kita.
Maka setelah proses merenung jam dua pagi beberapa hari belakangan, hari ini ... atau tepatnya hari setelah aku menyadari perasaanku, aku ingin menyatakannya langsung kepada Ran.
Katakanlah aku terlalu nekat, terlalu ambil resiko, terlalu melawan norma sosial karena semestinya yang maju lebih dulu adalah laki-laki bukannya perempuan. Aku tidak peduli.
Justru aku akan lebih gila lagi kalau harus menahannya lebih lama. Kamu tahu, 'kan? Perasaan tidak nyaman yang mengganggu di sepertiga malam hanya karena memikirkan apakah ia menyukai kita balik atau tidak.
Hari ini, aku mau menuntaskan kebingungan itu. Aku mengidentifikasi perasaanku sendiri untuk membuatnya menjadi lebih berbentuk, bukan untuk disimpan rapat selamanya.
Dan kau tahu apa yang sudah kulakukan demi melancarkan aksi itu?
Aku menulis surat.
Iya, surat cinta.
***
Aku berdeham, berusaha menetralisir hormon bahagia yang melonjak naik akibat mendapat pujian mendadak dari Ran. Tidak, pokoknya jangan sampai semua rencanaku kacau karena itu.
"Ran, bisa bicara sebentar?" tanyaku setelah beberapa kali berdeham.
"Silakan."
Aku berdeham canggung lagi. "Maksudku, bukan di sini," lanjutku dengan penekanan, sambil memberi isyarat dengan tatapan bahwa di sini ada terlalu banyak orang: Charles, Jason, Chris. Ya ampun, mana bisa aku melakukan itu di depan mereka?
Ran masih mengunyah kue kering. Ia sangat menyukai kue kering tersebut sampai-sampai tidak mengindahkanku. Entahlah, aku bingung harus merasa senang atau sebaliknya.
"Bagaimana dengan taman belakang?" usulku berusaha terlihat santai. "Kudengar ada tanaman baru yang dibeli Charles secara online kemarin. Ia sudah sampai? Boleh aku melihatnya?" lanjutku beruntun, terdengar memaksa, tapi terserahlah.
Ran mengangguk santai, lalu menyudahi aktivitas makan kue keringnya dan bangkit berdiri dari kursi. "Ayo," katanya saat sudah berdiri di sampingku.
Kini, ganti degup jantungku yang berdetak melebihi kecepatan wajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz: Against Fate
Science FictionBook Series #2 Takdir Semesta bukan kita yang pegang, karena posisinya berada di luar kendali kita semua sebagai manusia. Namun, bagaimana jika kita bisa meminta-Nya untuk mengubah jalan takdir itu? Aku dan Ran mengalami masa-masa yang sulit; masa-m...