Hari sudah gelap, pencahayaan kini diganti oleh lampu-lampu dari jalan, bangunan, dan kendaraan. Aku menangkap dengan kamera gedung-gedung pencakar langit yang gemerlap cantik. Lalu juga memotret para pengendara yang berekspresi penat. Aku maklumi wajah lelah mereka, karena hidup sebagai orang dewasa memang tidak pernah mudah.
Omong-omong, sekarang aku punya kebiasaan menyenangkan! Selama pulang dari kegiatan-kegiatan kampus, aku duduk manis di bus dan mengambil banyak sekali gambar di perjalanan. Sebelum tidur, aku akan menempel hasil jepretanku di dinding lantas menulis buku diari untuk menceritakan kondisiku hari ini. Apakah hari ini sulit? Seberapa sulit? Dari satu sampai sepuluh, angka berapa yang menggambarkan penderitaanku hari ini? Yah, semacam menjawab pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Paling tidak aktivitas ini cukup membuatku waras dan tidak merasa kesepian.
Aku melihat hasil jepretanku dan tersenyum puas karenanya. Lumayanlah, tidak terlalu buruk.
Kemudian pandanganku beralih ke pangkuan, lebih tepatnya ke tas tenteng yang berisi makanan kesukaan Ran.
Sebenarnya aku berencana pergi ke rumah Ran untuk memberikan makanan ini, aku tahu cukup sulit untuk menyelesaikan tesisnya, jadi mungkin ia butuh dimsum sebagai penyemangat? Yah, aku tidak tahu.
Aku menghela napas berat. Sudah satu tahun berlalu sejak peristiwa menghilang itu, berarti sudah satu tahun pula hubungan kami berjalan, tapi aku tidak pernah benar-benar memahami jalan pikiran Ran. Ia seperti menutup pintu, melarangku untuk masuk dan mengenalnya lebih dekat. Bukan berarti aku ingin mengeksploitasi isi kepalanya untuk dibagi dua, wah aku tidak seegois itu! Namun bukankah wajar jika aku membutuhkan kabar darinya? Bukankah semua hubungan butuh komunikasi yang berjalan lancar?
Ini kali pertama bagiku untuk menjalani relasi percintaan, dan aku tidak pernah merasa serumit ini. Kupikir hidup normal akan jauh lebih mudah daripada berpindah-pindah frekuensi seperti masalah setahun silam, tapi siapa sangka mendewasa adalah tantangan yang berat?
Jika kemarin aku tahu Manda dan David adalah orang jahat, bahwa mereka sekelompok orang egois yang mesti kita berantas, hal ini tentu berbeda dengan proses nyata kita mendewasa. Proses mendewasa sangat abu-abu, tidak ada orang jahat dan tidak ada orang baik. Semua orang di dunia seperti spektrum yang tidak bisa dikategorikan dalam dua status tersebut. Karenanya, aku banyak menghabiskan waktu untuk melamun akhir-akhir ini. Semua kebingunganku beraduk dan lebur menjadi satu. Kadang-kadang kepalaku juga tidak sanggup menanggung itu semua.
Mungkin hal baru memang butuh waktu lebih untuk beradaptasi. Jadi entah apa yang Ran hadapi saat ini, aku tidak punya pilihan selain menghargai batasan yang ia beri.
Ran, seandainya saja kamu lebih terbuka kepadaku.
***
Begitu sampai di pekarangan rumah tujuanku, aku melihat ada banyak sandal di luar rumah Ran. Menyebalkannya, aku kenal betul dengan sandal-sandal berwarna mencolok itu!
Buru-buru kulepas sepatu kets lantas masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu. Buat apa mengetuk pintu jika mereka saja sudah menerima tamu dari sebelah rumah?
"Astaga, kalian benar-benar punya banyak waktu luang!" bentakku melihat dua anak itu bermain gim bersama di ruang tengah.
Mereka berdua tidak mengindahkanku saking seriusnya dengan permainan di televisi. Aku benar-benar menyayangkan sikap Charles yang membeli PlayStation seri 5 dan membuat anak berandal ini jadi sering menghabiskan waktu untuk bersenang-senang alih-alih mengerjakan tugas.
"Hai Jane, baru pulang?" tanya Charles yang datang dari dapur sambil membawa nampan berisi gelas-gelas dan teko besar untuk es kopi. Ekspresinya sangat-sangat polos, tidak merasa bersalah.
Wah, Charles betul-betul mendukung sikap menghabiskan waktu ini.
"Charles! Jason selalu meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas Kalkulus, tapi ia malah main di sini, bukannya belajar mati-matian!" aduku menahan diri untuk tidak menindih kepalanya dengan bantal dan tubuhku. Anak itu benar-benar kelewatan.
Selama beberapa detik tubuh pria itu membatu, mungkin baru menyadari ada yang salah di sini, tapi tak lama kemudian ia meletakkan nampan di meja dengan tenang lantas berjalan mendekat untuk memegangi pundakku.
"Bagaimana mata kuliah hari ini? Menyenangkan?" tanya Charles.
Aku membuang napas. "Merasa tertinggal seperti yang sudah-sudah," keluhku kepada Charles. "Aku menghabiskan waktu di perpustakaan untuk belajar lagi Mekanika Kuantum Relativistik, tapi bisa-bisanya anak itu bermain di sini," lanjutku sinis, menyindir Jason yang asyik bermain dengan Chris.
"Dasar cari perhatian," tukasnya dengan pandangan tidak beralih sedikitpun.
"APA KAMU BILANG?"
Charles berdesis menyudahi pertengkaran kami. Mungkin ia khawatir juga rumahnya akan menjadi korban medan pertempuran.
"Sebenarnya kau bisa Jane, kau hanya takut gagal," ujar Charles menguatkan. "Hei, kau yang membantu kita semua kembali ke sini, ingat? Wajar di perguruan tinggi kita merasa salah jurusan, mungkin ada mata kuliah yang tidak sesuai ekspektasimu, tapi Jane, ingat juga bahwa mimpimu yang membawa sampai kau ke titik ini. Takdir yang mengantarmu sampai sejauh ini."
Aku termenung selama beberapa saat.
Takdir? Memang apa yang kita ketahui tentang takdir?
***
a/n: karena tokoh-tokoh Hertz di sini mulai beranjak dewasa, jadi isi kepala mereka tentu berbeda dari seri pertama yaa. btw aku berusaha membuat smooth alur cerita sebelum peristiwa jeng-jeng-jeng itu datang wkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hertz: Against Fate
Science FictionBook Series #2 Takdir Semesta bukan kita yang pegang, karena posisinya berada di luar kendali kita semua sebagai manusia. Namun, bagaimana jika kita bisa meminta-Nya untuk mengubah jalan takdir itu? Aku dan Ran mengalami masa-masa yang sulit; masa-m...