05

5 6 0
                                    

"Astaga, Aomi?!"

Nampak jelas keterkejutan mereka bertiga ketika melihat seseorang—yang begitu mereka kenali—terbaring diatas tanah dengan noda darah pada pakaiannya. Tak terlihat topi kerucut yang selalu gadis penyihir itu pakai—pun dengan sapu-ijuk-ajaibnya.

"Apa yang ia lakukan disini?!"

Wakuna memekik kaget, lantas menghampiri Aomi yang tak sadarkan diri. Disusul oleh Claress yang kemudian berjongkok disampingnya, memegang urat nadi Aomi; siapa tahu ia sekarat.

"Dia hanya pingsan," ujarnya.

"Kau tak lihat pakaiannya penuh darah seperti ini?" sahut Wakuna.

"Dia tidak terluka separah itu hingga berdarah-darah seperti ini. Lihat, pakaiannya masih utuh." Claress menunjuk kearah pakaian bagian abdomen yang memperlihatkan darah kental disana, namun tak ada robekan bahkan sebuah luka dalam. Hanya sedikit terkikis di beberapa bagian—barangkali terjadi gesekan pada pakaiannya dengan tanah saat jatuh dari ketinggian—dan, beberapa serpihan kaca?

Shou kembali melirik pada Arno yang menunduk dibawah bayangan rindangnya pohon tempat ia beristirahat, menahan diri untuk tak mencoba melangkah sedikitpun. Hanya diam, tersiksa dengan nafsunya. Mengetahui itu membuat Shou ingin melakukan sesuatu.

"Hey," Shou menyahut Claress dan Wakuna—dan mereka menoleh, "bisakah kalian menunggu penyihir itu sementara aku dan Arno pergi sebentar? tidak akan lama," lanjutnya. Lalu dibalas dengan anggukan mereka, tanda setuju.

Tanpa persetujuan si vampire yang sedang kehausan, Shou segera berteleportasi, membawa Arno ke tempat yang lebih sepi. Dalam beberapa detik mereka sampai. Masih di pedalaman hutan, tidak terlalu jauh dari tempat perkemahan kecil mereka (karena api unggun dari tempat mereka berada saat ini masih terlihat)—hutan di seberang sungai.

"Baiklah. Terimakasih karena kau berhasil menjauhkan mangsa—ah, dia seharusnya membawa darah yang ku pesan!" Arno terlihat frustasi; bahkan memukul pohon cukup keras. Shou terdiam. "Kutebak semuanya tumpah." Wajah Arno semakin kentara memperlihatkan dirinya yang mulai dikendalikan rasa haus bangsa vampire.

"Jadi begitu." Shou menyahut. "Apakah vampire selalu seperti ini?"

Arno menatapnya lekat. "Saat kau sedang kehausan, apa kau tak butuh air?" Terdengar nada tak suka disana.

Shou kembali diam. Memunculkan dagger, ia menyayat tangan kirinya. Darah menetes keluar. Ditatapnya Arno yang terpaku ketika melihat darah, dan bahkan tak berkedip barang sedetikpun. Shou mengangkat sebelah tangannya yang sengaja ia lukai, sedangkan darah segar masih terus menetes. Arno hanya diam sambil menelan ludah, membuat Shou merasa kesal.

"Kau ingin membuat darahku terbuang sia-sia? cepatlah."

Lagi, Arno menelan ludahnya. "Kau yakin?" ujarnya, menatap Shou.

"Kau fikir untuk apa aku melukai tanganku sendiri? lagipula aku tidak memberimu semua darahku, ini hanya untuk menghilangkan rasa hausmu sementara waktu." Masih dengan wajah datar seolah tak peduli, namun tak menutupi rasa empatinya pada si vampire.

"Kalau begitu...."

Arno menjalan mendekat, atmosfir disekitar mereka berubah. Entah mengapa Shou merasakan intimidasi yang semakin kuat seiring Arno mendekat. Menoleh kebelakang, adalah sebuah pohon yang menahan Shou untuk tidak menghindar. Sial. Firasatnya mulai buruk.

"Ingat, jangan sampai kau membunuhku."

Meraih tangan Shou, lantas Arno menjilat darah segar yang mengalir disana—membuatnya merinding. Lalu menghisapnya, membuat aliran darah keluar lebih banyak; dan meneguknya. Shou sedikit meringis ketika lukanya dihisap seperti itu, ia begitu enggan melihatnya dan hanya menatap kearah lain.

Magical PhantasmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang