07

7 4 1
                                    

Kabut pekat disertai awan gelap mendominasi perkotaan yang telah porak-poranda. Dimana ini?

Tiba-tiba saja aku mendapati diriku disini. Di kota yang hancur ini. Berpijak diatas aspal bercorak yang hilang keindahannya akibat retakan-retakan tak jelas dan genangan air kotor beserta darah menghiasi jalanan tempat ku berada saat ini. Bau hangus beserta anyir menusuk indra penciumanku. Lalu kusadari, orang-orang yang aku yakin telah mengenal wajah mereka dengan baik berada di sekelilingku. Membuatku terkejut bukan kepalang. Sudah berapa lama aku tidak merasa setakut ini? Apa yang terjadi?

Mereka terlihat... berserakan. Aku tidak tahu bagaimana caranya mendeskripsikan mereka, teman seperburuanku saat di pedalaman hutan melawan hydra. Tergeletak bersimbah darah dengan seonggok tubuh mereka yang hancur. Menatapku dengan tatapan kosong dengan wajah pucat pasi.

Ada apa ini?

Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Kupaksakan kaki yang terasa berat bagai tercekal rantai berjalan menghampiri seorang pria bersurai putih dengan tatapan horornya menatapku. Tergeletak dengan posisi tak wajar; tubuhnya terlihat seperti telah dipelintir atau barangkali sebuah baju yang diperas untuk di jemur. Apakah terjadi pembantaian saat aku tertidur? Aku mulai merasa mual melihat darah segar disekelilingnya, juga yang keluar dari mulutnya.

"Ar... Arno!"

Suaraku tercekat begitu memanggilnya. Tak ada respon. Aku berjongkok, menatap dari dekat wajahnya. Terlihat mengerikan. Benarkah ia telah tiada? entah mengapa aku merasa aneh, sebab netra merahnya meskipun terlihat padam namun dapat kurasakan ia masih menatapku. Rasa takut dan kengerian mulai menggerogotiku tatkala mata-mata yang lain juga masih tertuju padaku, menatapku.

"Pembohong."

Kutatap Arno dengan lekat. Dia baru saja berbicara sesuatu. Tapi, benarkah ia berkata seperti itu padaku?

"Pembohong? apa maksudmu?" balasku dengan hati-hati. Kulihat Arno mengatupkan bibirnya. Bulu kudukku meremang ketika netra kami saling beradu. Namun, mengapa hatiku tak begitu... resah? atau berdetak lebih cepat dari yang seharusnya?

"Pembohong tidak akan mengakui dirinya adalah pembohong."

"Pengkhianat."

"Bajingan."

"Enyhlah dari hadapanku!"

Arno, Claress, Wakuna, dan Aomi dengan segala kengerian mereka... tidak. Aku menggeleng, itu tidak benar! Tuduhan tidak jelas seperti itu, sangat tidak mungkin mereka berkata seperti itu. Apalagi dengan keadaan yang ... tak mampu aku jelaskan. Kuhirup udara yang begitu tak mengenakan dalam-dalam, berusaha tetap tenang.

"... Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya."

Aku menunduk. Tak mampu membalas tatapan mereka yang mengintimidasiku. Entah mengapa aku merasa bersalah. Mungkinkah ini tak akan terjadi jika aku tak tidur beberapa saat yang lalu?

"Sungguh sebuah ketidakadilan, bukankah begitu?"

Aku tertegun. Sebuah suara kini terdengar tepat dibelakangku. Kali ini membuatku merasa lebih was-was. Sebab suaranya bukan lagi familiar, tapi itu seperti....

Berbalik, aku menatap sosok yang kini berdiri dihadapanku. Keterkejutanku bertambah dua kali lipat ketika mendapati diriku berada dihadapanku.

"Huh...?"

Tubuhku mematung ditempat. Aku melihat diriku. Diriku yang lain?

Terlihat dia—diriku yang lain namun aku enggan mengakuinya—dengan bola mata yang sepenuhnya hitam pekat, kulit pucat, lalu seringaian tajam tersungging di bibirnya. Melihatku dengan tatapan merendahkan. Menguarkan aura tak kasat mata; terasa begitu kuat dan mengintimidasi. Benarkah itu aku?

Magical PhantasmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang