10

4 4 0
                                    

Sepuluh menit yang lalu kapal telah berlabuh membelah lautan, Shou dan Claress tak sengaja mendengar desas-desus para awak kapal yang mengatakan jika mereka akan tiba saat fajar. Itu membuat mereka berdua resah karena tak dapat segera pergi menuju hutan Leinet yang minim penjagaan ketika malam. Hal ini tak pernah terpikirkan oleh Claress sebelumnya. Ternyata pelayaran ilegal tidak memakai jalur menuju ibu kota Grandale, tetapi dengan memutar melalui hutan Pagramantis dan Pulau Norah.

"Perjalanan kita akan panjang," bisik Claress. "Kita tak bisa menyelinap masuk ke hutan, mungkin kita akan ditangkap oleh para awak kapal!"

"Mengapa begitu?" sahut Shou.

"Mereka bilang kapal akan tiba saat fajar. Apa masih ada waktu untuk kita melarikan diri ketika matahari terbit?"

Shou terlihat berfikir sejenak. "Kita bisa melakukan teleportasi ketika sampai. Lebih baik jangan terlalu dipikirkan, sepertinya aku punya beberapa rencana bagus."

"Sungguh?" Claress menatap curiga. Ia takut dengan Shou dan ide-ide konyolnya yang tiba-tiba terlintas ketika mabuk laut.

"Percayalah padaku," ujar Shou datar. "Kau terlihat seperti meragukanku sejak tadi, belum tahu saja aku ini salah satu pemburu terhebat dan berbakat di Grimehall."

"Baiklah, tuan pemburu yang hebat. Aku sungguh mempercayaimu," ejek Claress.

"... Dan berbakat," tambah Shou.

Claress berdecak kesal. "Apapun itu!"

Mungkin, pria itu hanya ingin mencairkan suasana. Entah dorongan darimana ia bersikap narsis seperti beberapa saat yang lalu, rasanya seperti sesuatu mulai melengkapi dirinya satu-persatu. Aliran hangat yang menjalari ulu hatinya terasa menenangkan jiwa meski hanya sesaat. Perasaan apa ini? Aku merasa ... kembali?

Setelah dua jam menunggu dalam keheningan yang seakan abadi, Claress dan Shou mulai diserang rasa kantuk yang semakin lama semakin terasa sulit untuk tetap terjaga. Tak lama kemudian, suara derap kaki terdengar menuju beranda kapal, disusul oleh sebuah suara bariton seseorang yang ada di belakang sana.

"Ini sudah tepat pukul dua belas malam, giliran kami yang berjaga."

"Ah, baiklah. Aku sudah begitu lelah. Kalau begitu, selamat berjaga, kawan."

"Ya, serahkan pada kami."

Suara derap kaki kembali terdengar. Shou dan Claress mulai dilanda rasa was-was, mulai bersiaga jika saja mereka—para prajurit bayangan yang baru saja datang—berkeliling mengecek barang yang mereka bawa, atau memastikan adanya penyusup yang diam-diam menumpang. Namun sepertinya, bukan itu yang mereka takutkan. Shou mencoba untuk sedikit mengintip dari celah-celah kotak kayu, terlihat beberapa orang berkerumun.

"Satu jam lagi kita akan melewati pulau Norah, tempatnya para makhluk terkutuk bersembunyi. Sekuat apapun kalian, jangan berjaga sendirian. Berpencarlah dan jaga setiap sudut kapal oleh tiga orang. Jika tersisa dua, jadikan empat orang," ujarnya dengan serius. "Dengarkan aku jika tak ingin mati."

"Kami mengerti."

Terdengar seperti hal yang serius. Shou baru mendengar Pulau Norah. Tempat para makhluk terkutuk berkumpul, katanya? Apakah sejenis Hydra Nravuz yang ia dan Arno buru beberapa hari lalu? Perjalanan ini perlahan-lahan memberitahu sesuatu yang belum ia ketahui sebelumnya. Ia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi pada ingatannya. Dan kenapa pula Shou tak membeli ramuan yang bisa memulihkan ingatan di toko Aomi?

Menepuk jidat, Shou mulai merasa selama ini begitu bodoh. Terlalu bodoh untuk hidup. Tidak. Bahkan toko ramuan dan obat-obatan tak pernah terpikirkan keberadaannya, apalagi ia tak pernah banyak bertanya pada orang-orang sekitar. Apa saja yang ia lakukan selama ini? Berburu, berburu, dan berburu. Menjual hasil buruan, mendapat uang, makan, tidur, lalu mimpi buruk. Hanya seperti itu?

Diliriknya Claress, perempuan itu kini tertidur, bersandar pada kotak kayu. Shou menghela nafas, ia menggeserkan kepala Claress pelan, membuatnya bersender pada bahu. Setidaknya kepala perempuan itu tak sakit ketika bangun, karena hoodie yang ia kenakan cukup tebal dan hangat.

Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan jika gadis itu telah bangun. Kini, Shou perlu berjaga malam sendirian, dari para awak kapal, dan hal yang akan terjadi nanti. Mungkin, semesta tak mengijinkan mimpi itu kembali datang menjadi bunga tidurnya, meski hal tersebut keliru. Itulah mengapa, ada saja pengganggu ketika Shou hendak terlelap. Ia bahkan tak pernah tidur dengan tenang, hal itu membuatnya lelah bahkan untuk berfikir hal yang memberatkan hati.

Di keheningan malam, Shou merenung. Rasanya baru pertama kali ia memikirkan tujuan hidup seserius ini. Lalu tiba-tiba, kapal layar berguncang, semakin lama semakin hebat. Para awak kapal terdengar histeris karena salah satu dari mereka terlempar ke lautan. Claress terbangun, ia segera tahu apa yang sedang terjadi. Shou agak linglung, sebab gadis itu memeluk tangannya dengan erat. Memang itu yang terbaik agar tak ikut terlempar bersama beberapa awak kapal yang kurang beruntung. Apalagi tak ada pegangan lain yang bisa membuat mereka bertahan selain tiang layar. Sebelah tangan Shou yang bebas memeluk erat tiang kayu tersebut. Tak peduli jika balok-balok kayu di sekitar mereka terombang-ambing di beranda.

"Bahaya! Cepat masuk kedalam!" seorang prajurit bayangan berteriak histeris.

"Tidak, prioritaskan barang-barang yang ada disini! Nyawa kalian nomor dua! Selalu ingat ancaman Duke Maximilian!" prajurit yang lain menyahut dengan tegas.

Meski bertudung, kekesalan mereka terlihat kentara di wajah. Masing-masing dari mereka memegang tombak dan bersiaga di dekat balok-balok kayu yang ditumpuk. Kapal masih terombang-ambing, padahal sebelumnya air laut setenang hutan Pagramantis di tengah malam. Tiba-tiba saja gelombang seolah datang di setiap arah, hendak membuat kapal karam. Shou dan Claress tetap bertahan di posisi mereka sambil tetap bersembunyi.

"Kita sudah sampai di Pulau Norah, seharusnya tak lama lagi kita sampai," ujar Claress tergesa-gesa.

Shou mengedarkan pandangannya, mencoba untuk menembus kabut tebal disekeliling kapal. Samar-samar ia melihat dataran di sebelah kapal, sepertinya itu Pulau Norah. Ketika kabut perlahan menipis, sosok bayangan besar tampak di dekat pulau. Sepasang mata kuning menyala terlihat menatapnya dengan mengintimidasi. Shou agak merasa takut dengan sosok itu, monster berkepala naga dengan leher panjang, ia terlihat seperti raksasa meski dari kejauhan. Kapal layar yang ditumpangi Shou mungkin hanya seukuran leher. Mungkinkah monster itu yang membuat kapal berguncang? Tapi, kenapa dia diam saja disana?

"Dia—"

"Kapten, ada monster di dekat pulau!"

Tiba-tiba seorang prajurit bayangan berseru diantara balok kayu yang tersusun, tepat disamping mereka berdua. Shou dan Claress segera merapat dan kembali bersembunyi, lalu derap kaki terdengar menghampiri prajurit bayangan itu.

"... Ini gawat. Lagipula monster itu hanya diam. Seharusnya kapal berlayar lebih jauh lagi dari pulau. Meski begitu, pelayaran harus tetap dilanjutkan. Tidak mungkin kita akan berlabuh di pulau monster itu?"

Setelah berkata seperti itu, tiba-tiba monster yang disebut menenggelamkan diri kedalam lautan, kabut disekitar mulai menghilang dan ombak kembali tenang. Semua orang di beranda kapal menghela nafas. Ketegangan diantara mereka seketika menghilang setelah hambatan tak terduga pergi dengan sendirinya.

"Tiga puluh menit lagi kita akan sampai, bersiaplah!" ujar sang kapten.

"Kita masih sempat!" ujar Claress antusias. "Sepertinya kita akan melewati hutan Leinet. Tapi, berapa batas jarak yang bisa kau tempuh untuk berteleportasi?"

"Jika jaraknya seperti antara kapal dan Pulau Norah, itu mustahil. Aku tak pernah mengecek sebarapa jauh aku bisa berpindah tempat," jawab Shou. "Tapi, mungkin jika jaraknya sedikit lebih dekat, tidak ada salahnya untuk mencoba."[]

Magical PhantasmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang