Diplomat - 1

642 82 6
                                    

Invoice pengiriman barang di genggaman Mark berkibar di bagian ujungnya terkena hembusan angin. Sudah memasuki tengah tahun yang artinya beberapa daerah di Indonesia akan mengalami kemarau. Awal kemarau selalu berarti angin kencang. Angin berada dimana-mana dan tidak luput datang ke stasiun tempat Mark berada sekarang.

Mark akan pindah-tidak bisa disebut pindah karena sebetulnya Mark sekarang di tanah rantau dan dia akan pindah kembali ke rumah. Untuk itu dia perlu mengemasi barang-barangnya dari kosan. Kemudian memutuskan sebagian dia jual ke teman yang butuh dan sebagian mengirimnya dengan bantuan ekspedisi kereta sebab dirasa cukup efisien daripada ekspedisi lain atau ketimbang harus membawanya dengan kendaraan pribadi.

"Om Matt sudah sadar."

"Puji Tuhan." Mark menggumam syukur atas informasi yang diberikan kakak sepupunya mengenai kondisi terkini papa Mark yang tempo hari jatuh sakit dan 24 jam kebelakang tak sadarkan diri total. Berita lega itu bikin Mark menghela nafas dalam-dalam.

"Gue berangkat malam ini juga, Bang."

"Gak usah buru-buru. Lo kelarin dulu urusan lo disana."

"Aman, bang. Handover gue udah selesai. Barang-barang udah gue kirim. Tinggal gue pulang. Gak tenang kalo gak pulang malam ini juga."

"Terserah lo. Jangan capek aja sih. Gue gak mau denger kabar buruk lagi pokoknya."

"Aman."

Sambungan putus dan Mark melajukan mobilnya ke jalan utama.

Perjalanan pulang selalu punya hipnotis tersendiri bagi Mark. Awalnya dia tidak ingin merantau sebab mempertimbangkan akan meninggalkan Papa sendiri. Namun justru Papa yang mendorong Mark untuk pergi dari rumah mencari peluang pekerjaan yang lebih besar. Kini pekerjaan lumayan itu Mark tinggalkan demi Papa.


*




Papa baru bisa duduk setelah 5 hari dirawat dan terhitung baru 2 hari kemarin Mark pulang, tapi pria itu sudah bisa mengomel agar Mark segera mencari pekerjaan baru. Katanya, menganggur lama-lama bikin miskin. Emang iya, sih.

Bukannya sombong, Mark masih punya tabungan lebih dari cukup meskipun dia mau menganggur setahun ditambah beberapa bulan. Apalagi ditambah pesangon yang dia terima usai resign. Jadi sekarang Mark fokus pada kesehatan Papa dulu. Tapi agaknya Papa memahami ini sebagai rasa malas.

"Uang tabungan itu simpen aja jangan diambil. Buat nikah."

Mark berdecak pelan.

"Kamu gak mau nikah?"

"Ya mau."

"Meski belum ketemu jodohnya. Nabung dulu aja. Kayak papa dulu. Pantang jadi lelaki miskin buat mama kamu. Kamu juga harus begitu. Papa gak mau ya menantu papa harus minta dulu baru dikasih. Lelaki itu harus pinter baca situasi hati pasangan. Kalo udah pinter, pasti harmonis." Mark curiga Papa sakit hanya untuk menerima infus agar dirinya punya kekuatan lebih berbicara panjang lebar dengan nada nyebelin, meski topik obrolannya baik. "Mamamu dulu, pernah ngeluh soal kekurangan duit atau kasih sayang papa ke kamu?"

Gak pernah. Mark jawab sendiri dalam hati.

"Karena papa pinter cari celah buat bahagiakan mama kamu."

Bila papa bicara begini saat mendiang mama masih ada, Mark jamin akan ada adu ejekan antara kedua orang tuanya karena mereka berdua adalah tipe pasangan yang mengungkapkan perasaan dengan saling mengolok-olok satu sama lain.

"Papa seumuran kamu memang belum nikah, sih. Tapi seenggaknya udah punya calon ya mama mu itu." Mark lihat papa sengaja merubah sedikit posisi duduknya demi melihat laman pencari kerja di laptop Mark. "Pede aja ngelamar kerja yang sekiranya cocok. CV kamu kan udah lumayan."

"Iya, Pa, iya."

Ada hening di 5 menit berikutnya sebab Papa memilih tidur. Jam menunjuk pukul 2 siang sekarang alias saat matahari tengah dalam posisi paling terik.

Mark hendak menutup laptop dan mencari es cincau yang ada di depan rumah sakit waktu ada pemberitahuan dari memo mengenai acara pernikahan sepupunya yang tinggal 22 hari lagi.

Pantas saja papa getol menyindir dirinya perihal pekerjaan dan jodoh.

*


Malam ini di rumah sakit tidak sesunyi hari kemarin. Sebab 2 sepupu Mark datang. Dalihnya ingin menemani Mark begadang menunggu tapi beralih keempatnya menonton siaran langsung Indonesia lawan Korea Selatan lewat televisi yang disediakan di kamar inap ini. Bisa ditebak kalo yang paling semangat adalah yang paling tua diantara mereka. Mark jadi sedikit lega melihatnya sebab berarti semangat hidup papa agaknya sudah kembali normal. Mungkin lusa atau besok papa bisa kembali pulang.

"Sayap kanan Korsel lemah, tuh. Celahnya lebar banget. Kewalahan kali didesak habis-habisan sama Garuda. Kalo nanti ada adu pinalti kudu ngincer bagian kanan." Komentar papa yang berapi-api betulan menunjukkan kondisinya yang mulai membaik.

"Bener, Om. Kudu ngincer back kanan nih." Jae, sepupu Mark yang juga calon pengantin, menimpali pertandingan yang makin panas meski baru berlangsung 15 menit.

"Offside!" Jo, sepupu Mark yang satunya menunjuk-nunjuk televisi. "Percaya sama gue itu tuh offside gak jadi gol!"

Untung kamar ini hanya khusus untuk Papa sehingga pasien yang terganggu hanyalah Papa meski Papa tampak sama sekali tak terganggu dengan suara keras keponakannya yang menggelegar. Mark saja sampai kaget hingga laptop di pangkuannya geser ke samping.

Ada hening sejenak di antara mereka menunggu wasit melihat mesin VAR untuk memutuskan apakah skor yang didapat Korea Selatan lenyap atau tidak. Dan saat hasilnya keluar dengan menguntungkan posisi Indonesia, teriakan mengharu biru pun keluar dari mulut para pria dewasa yang menonton di kamar ini. Termasuk Mark ikutan senang tim lawan tidak jadi mendapatkan skor meski sedari tadi dia hanya sekilas-sekilas saja memperhatikan pertandingan. Sebab tengah sibuk memeriksa akun LinkedIn HRD dari DEKRA yang tadi sore mengirimkan chat atas letter offers yang Mark kirim lusa kemarin. Mark juga memeriksa akun yang terkoneksi dengan tim HRD perusahaan tersebut. Mark tengah melakukan cross check sebab dia mendadak tidak ingat detail perusahaan ini karena mereka bukan satu-satunya perusahaan yang Mark incar. Mark sadar dia lupa saking banyaknya distraksi yang membuatnya harus fokus ke hal lain beberapa hari ini dan melupakan lamaran kerjanya yang sudah dilirik.

Mark asyik scrolling waktu dia melihat nama teman lamanya di SMA muncul di bagian koneksi HRD itu. Jemarinya lanjut klik-klik dan scrolling karena teman-teman di masa SMA kembali muncul di bagian connect. Mark menekan ikon connect di nama-nama yang familiar berharap bisa menyambung tali pertemanan yang lama tak terhubung. Banyak diantara mereka teman SMA dan SMP Mark. Mark menelusuri satu per satu sampai kemudian netranya menangkap foto profil yang sangat tak asing. Mark menekan profil itu lantas malah termenung sendiri membaca summary dan riwayat sekolah.

Ini... beneran Renjunaris yang itu?


 beneran Renjunaris yang itu?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









{•}

n/:

Jangan komenin profil LinkedIn Renjun plis itu dibuat seorang beginner yang gak kapok mencoba (baca: ranes).

Diplomat [MarkRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang