Leiga tidak menjawab. Ia seperti terkena tenung maha dahsyat, hanya mampu menuruti kata-kata perempuan itu.
"Kenalin, Zeint." Perempuan itu menyodorkan sebelah tangannya.
"Leiga."
Entah apa yang mereka bicarakan. Lebih dari satu jam mereka seperti sepasang pipit beradu kicau, bertengger pada kabel listrik tegangan tinggi. Zeint mahir sekali mengalirkan kata-kata melalui bibirnya yang merah alami. Tidak seperti Leiga. Dia hanya senyum sekali-kali, bahkan ia seperti tak mampu membalas tatapan mata Zeint.
"Kamu, nggak masuk kelas?" tanya Zeint.
Lagi-lagi, Leiga tidak menjawab. Meskipun tampak terkejut, tapi dengan cepat, raut itu ia sembunyikan. Sepertinya, ia begitu menikmati percakapan itu.
"Sudah, ah, aku pergi dulu," pungkas Zeint sambil berdiri, "ini topimu."
Seketika, Leiga menyambar topi itu dari tangan Zeint.
"Biasa saja, woi!" buncah Zeint disusul senyuman manis. Rupanya, topi itulah yang dari tadi disembunyikan Zeint di balik punggungnya.
"Topiku!" ucap Leiga pelan. Matanya terus menelisik topi yang sekarang ada dalam genggamannya, seperti ingin meyakinkan kalau topi itu benar-benar miliknya.
"Tapi, puisinya buat aku ya." Zeint mengucapkan kalimat itu sambil berlalu, menjauhi Leiga, tidak menoleh. Langkahnya gembira. Urai rambutnya yang ditiup angin seolah-olah cerminan isi hati Zeint yang dipenuhi keceriaan.
Aku tahu, sepeninggal Zeint, banyak penyesalan dirasakan Leiga. Aku juga tahu, salah satu penyesalan Leiga adalah ia tak mampu menghentikan langkah Zeint, mengucapkan terima kasih.
Dalam hati, Leiga mengakui kalau dia terpesona oleh segalanya tentang Zeint. Sayang, dia tidak sempat bertanya lebih banyak. Sudah satu semester lebih berada di sekolah itu, baru kali ini, dia bertemu dengan Zeint.
***
Tidak terasa, sudah seminggu berlalu sejak pertemuan Leiga dengan Zeint. Setiap hari, setiap ada kesempatan, Leiga selalu ada di sudut kantin itu. Namun, tak satu pun puisi yang ia tulis. Tujuannya sudah lain dari biasa. Ia ingin bertemu dengan Zeint. Tidak berhenti sampai di sana, dari kelasnya yang ada di lantai dua, Leiga menajam-najamkan pandangan, mencari-cari Zeint. Ah, Zeint tak kunjung tertangkap matanya. Zeint lenyap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeint & Leiga
Teen FictionLeiga oh Leiga. Bagiku, usiamu belum cukup matang untuk mengemban kisah cinta seperti itu. Memang, cinta tak pandang usia, cinta seperti cahaya yang dapat memasuki celah sekecil apa pun, tapi ingat, cinta yang seperti cahaya itu, Leiga, akan datang...