"Iya, kamu yang pertama."
"Semoga juga jadi yang terakhir, ya." Zeint tersenyum.
Mendengar jawaban Zeint, Leiga melirik Zeint penuh pertanyaan.
"Eh, barusan, kamu mau ngomong apa?" lanjut Zeint.
"Em ... kok kamu bisa tahu rumah aku?"
"Aku pernah ngikutin kamu, hehe ...."
"Hah ... kapan?"
"Kira-kira, seminggu yang lalu, lah," memandang jauh, menyusuri pematang demi pematang sampai garis bukit di kejauhan, "sepulang dari rumah sakit."
"Siapa yang sakit, Zeint?" tanya Leiga sedikit terkejut.
"Eh ... emm ... sepulang jalan-jalan, maen." Zeint menjawab pertanyaan Leiga sedikit gelagapan.
"Oh, syukurlah kalau begitu, kirain," diam sejenak, "oh, ya, kamu ke mana saja, kok ngilang gitu aja?" imbuh Leiga.
Sebelum menjawab pertanyaan Leiga, Zeint seperti memikirkan sesuatu. Hal itu tampak jelas dari raut mukanya.
"Rahasia," tukasnya singkat.
"Oh, ... eh, sebenarnya kamu kelas berapa?"
"Rahasia juga, hehe,"
"Hmm, ... kamu seneng main rahasia-rahasiaan, ya, hehe."
"Maaf, Lei ... kamu jangan marah," sesal Zeint.
"Kenapa harus marah, itu hak kamu, mau jawab apa nggak, cuma ...," kalimat Leiga tak tuntas.
"Cuma apa, Lei?"
"Cuma ... aku gak tahu kenapa, em ...." Leiga tampak ragu-ragu.
"Gak tahu kenapa apa?" Zeint mencubit lengan Leiga.
"Rahasia ..., wew," tertawa, "memangnya kamu saja yang bisa main rahasia-rahasiaan."
"Ah ..., dasar," tersenyum, kemudian kembali berubah sendu, "kamu memang beda, Lei."
"Beda apanya?" tanya Leiga.
"Rahasia ... wew," kembali tertawa, "sudah ah, Lei, aku pulang dulu. Kasihan Pak sopir kelamaan nunggu," beranjak dari tempat duduknya.
"Nggak mau ketemu orang tuaku dulu, Zeint?" ada sedikit kekecewaan yang tiba-tiba saja muncul dari tatapan Leiga.
"Nanti saja, kalau aku ke sininya siang. Sampaikan saja salamku untuk mereka, ya." Zeint tidak menunggu balasan lain dari Leiga.
"Iya, deh. Maaf ya, nggak antar kamu sampai sana."
Zeint tidak menjawab, tapi isyarat palingannya lebih dari sekedar jawaban bahwa semuanya baik-baik saja.
Dari kejauhan, Leiga tak melepas tatapannya. Dia mampu melihat bagaimana Zeint meninggikan kerahnya, menahan angin yang berembus semakin kencang. Ada yang aneh ketika Zeint membuka pintu mobilnya: tatapannya memancarkan kesedihan.
"Maafkan aku, Zeint. Aku belum bisa mengatakan kalau selama kamu tidak ada, ingatanku terus saja berpaut padamu," gumam Leiga, sambil membalik tubuh, hendak masuk rumah.
"Jadi namanya Zeint, ya," seloroh ibunya sambil tertawa kecil kemudian mendahului Leiga masuk. Ternyata, sepeninggal Zeint, ibunya sudah ada di belakang Leiga. Mendengar apa yang digumamkan Leiga.
"Apaan sih, Bu." Leiga menyusul ibunya masuk.
Di tempat lain, dalam sebuah mobil, pada waktu yang nyaris bersamaan.
"Maafkan aku, Lei ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zeint & Leiga
Teen FictionLeiga oh Leiga. Bagiku, usiamu belum cukup matang untuk mengemban kisah cinta seperti itu. Memang, cinta tak pandang usia, cinta seperti cahaya yang dapat memasuki celah sekecil apa pun, tapi ingat, cinta yang seperti cahaya itu, Leiga, akan datang...