TOPI USANG DAN PUISI

24 4 2
                                    

Leiga oh Leiga. Bagiku, usiamu belum cukup matang untuk mengemban kisah cinta seperti itu. Memang, cinta tak pandang usia, cinta seperti cahaya yang dapat memasuki celah sekecil apa pun, tapi ingat, cinta yang seperti cahaya itu, Leiga, akan datang pada siapa saja yang telah siap menerimanya.

***

Siapa pun-barangkali-akan setuju dengan sebuah pernyataan bahwa masa-masa SMA adalah masa yang paling indah. Begitu banyak perasaan baru yang belum ada sebelumnya, begitu banyak peristiwa baru yang belum dialami sebelumnya. Mungkin cinta, mungkin juga luka. Mungkin bagiku, mungkin juga bagi Leiga.

Leiga, sejak masa orientasi, kukenal sebagai pribadi yang pendiam, penyendiri. Waktunya lebih sering dihabiskan dengan duduk sendiri di bawah pohon palem taman sekolah, atau di sudut kantin, tempat sekiranya tidak ada yang terlalu memerhatikan tempat itu.

Awalnya, aku mengira kalau kebiasaan menyendirinya itu karena dia merasa minder dengan penampilannya: tak pernah melepaskan topi lusuh, jaket usang, dan sepatu yang itu-itu saja. Ternyata bukan. Leiga lebih senang dengan dunia yang diciptakannya sendiri. Sebuah dunia yang damai menurut imajinasinya. Dunia yang berputar alun seiring kata-kata yang dituliskannya dalam puisi atau cerita-cerita.

Pernah suatu hari, kujumpai dia-seperti biasa-duduk di sudut kantin, memesan minuman kegemarannya, jus melon. Matanya menatap satu per satu, dalam-dalam, setiap siswa yang datang ke kantin itu. Dia seolah-olah ingin membaca seluruh hidup mereka dan menuliskannya di atas secarik kertas. Setengah jam, dia duduk di sana. Sebuah puisi rampung ditulisnya. Aku tahu semua itu dari wajahnya yang memancarkan kepuasan, tarik-hembus napasnya yang lapang.

Ah, bel tanda waktu istirahat telah habis berbunyi, mematahkan kenyamanan Leiga. Dia bergegas mengenakan jaket lusuh yang sempat dilepaskannya tadi kemudian tergesa-gesa pergi dari sana. Dia lupa. Topi yang biasanya tak pernah lepas, puisi yang ditulisnya tertinggal.

Tak terlalu lama, setelah semua siswa kembali ke kelasnya masing-masing,seorang-yang sepertinya-siswi berjalan menuju sudut yang ditinggalkan Leiga.Dia berdiri sejenak, membaca tulisan Leiga, kemudian pergi dengan membawa topiusang milik Leiga juga puisi yang dibacanya. Rupanya, bukan hanya aku yangmemperhatikan kebiasaan Leiga selama ini.

Zeint & LeigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang