MALAM BERSAMA ZEINT

7 2 0
                                    

Leiga bukanlah anak yang berasal dari keluarga berada. Dia anak satu-satunya. Kedua orang tuanya hanya pedagang pakaian di pasar tradisional dengan jongko yang sangat sederhana. Mereka tinggal di rumah sederhana yang dikelilingi sawah dan sebuah kolam ikan, agak jauh dari tetangga. Dari jalan besar, meski tidak terlalu, akses ke rumah mereka hanya bisa ditempuh sepeda motor.

Rumah mereka memang sederhana, tapi begitu asri, nyaman untuk keluarga kecil mereka yang harmonis. Bila malam tiba, suara binatang sawah, gemercik air, seolah menjadi pengantar tidur paling mesra. Pemandu Leiga menuju lamunan paling dalam. Seperti malam ini.

Malam ini, Leiga duduk di halaman, memandang jauh. Lamunannya menggenang, berusaha menangkap-nangkap wajah Zeint. Sebuah gitar yang biasanya ia petik, kini hanya dipeluknya erat, menopang tubuhnya.

"Kamu tidak ke luar, Ga?" menyingkap tirai jendela, "ini malam minggu, lho," goda Gaman, ayah Leiga.

Leiga tidak menjawab. Ia hanya menoleh dengan senyum kecil tersungging.

"Kalau tidak ada rencana ke luar, motormu masukkan." Rahlia, ibunya Leiga menimpali dari tengah rumah.

"Ia, Bu," jawab Leiga singkat. Leiga hendak berdiri, tapi sudut matanya menangkap cahaya lampu mobil di jalan besar. Mobil itu berhenti tepat di persimpangan menuju rumahnya.

Dari dalam mobil itu, ke luar seorang perempuan, walaupun hanya diterangi lampu jalan remang-remang, Leiga mampu melihat kalau perempuan itu mengenakan baju merah. Rambutnya yang panjang ditiup angin, bergerak seirama dengan lenggokkan padi di sepanjang jalan yang ia lewati. Menuju ke tempat Leiga berdiri mematung.

Semakin lama, wajah perempuan itu semakin jelas.

"Astaga! Zeint!" teriak Leiga di dalam hati.

"Hai ...." Zeint menyapa Leiga. Tentu dengan senyumnya yang membulan sabit, "simpan dulu pertanyaan-pertanyaanmu itu, ya, aku capek," lanjut Zeint. Tangannya begitu akrab mendorong tubuh Leiga untuk menjauh dari kursi panjang yang tadi diduduki Leiga.

"Nah, sekarang, silakan, pertanyaan pertama!" Zeint seperti menantang.

Leiga tidak berkata apa-apa. Dia kikuk.

"Ada tamu, Ga?" tanya ayah Leiga dari dalam rumah.

Leiga tidak menghiraukan pertanyaan itu. Perhatiannya masih ditelimeng kedatangan Zeint yang tiba-tiba.

Karena tidak ada jawaban dari Leiga, ayahnya mengintip dari balik tirai.

"Bu, sini, Bu!"

"Ada apa, Pak?" tanya ibunya Leiga.

"Cepat, Bu!" memaksa.

Setelah Rahlia berada di dekat Gaman, ikut mengintip. Gaman melanjutkan perkataannya. "Sepertinya, teman Leiga itu perempuan, ya, Bu."

"Mana?" menajam-najamkan penglihatan, "iya, Pak. Cantik."

Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas, percakapan mereka mirip pasangan yang sedang menyaksikan film komedi di bioskop: ada tawa yang tertahan.

Sementara itu, di luar rumah, Leiga memberanikan diri membuka perkataan.

"Zeint ...,"

"Apa, Lei?"

"Kamu barusan panggil aku apa?"

"Lei. Emangnya kenapa, nggak boleh?"

"Boleh saja sih. Kamu lho orang pertama yang manggil begitu,"

"Masa?"

Zeint & LeigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang