Hujan selalu memiliki kenangan tersendiri dalam hidupku. Bukan sebab tetesannya yang kerap menyamarkan luka. Namun, hujan adalah saksi. Bening telaga kasih Bapak yang tak pernah surut. Orang tua tunggal yang kumiliki semenjak kepergian Ibu.
Ketika hujan tiba dan kami harus meringkuk dalam rumah berdinding kayu. Maka akan ada selimut tebal membungkus tubuhku. Laki-laki itu mencukupkan dirinya hanya dengan selembar sarung usang.
Suatu malam Bapak pergi menembus hujan untuk membelikanku obat. Ia tak sanggup melihatku menggigil akibat demam. Beberapa hari setelahnya ia jatuh sakit. Aku sangat marah saat itu. Sebab kepeduliannya terhadapku, membuatnya lupa untuk memedulikan dirinya sendiri.
Saat menjelang ujian kelulusan tiba, hujan kembali datang. Gemuruh air menciptakan simfoni mengiringi malam-malam yang kami lewati.
Bapak menghabiskan waktu menemaniku belajar semalaman. Ia tampak lelah dan berusaha menahan kantuk setelah seharian bekerja. Hanya agar aku tetap terjaga saat sedang berjuang.
Malam berikutnya hujan turun semenjak senja. Selepas Magrib semangkuk mie instan dan segelas teh hangat telah Bapak siapkan untukku.
"Bapak nggak makan?"
"Nanti. Kamu makan saja dulu, habiskan ... Bapak mau ngeringin sepatumu yang basah." Bapak mengusap pucuk kepalaku sebelum berlalu.
Aku mengangguk sambil menyuap gulungan mie instan buatannya.
***
Selesai makan aku beranjak menuju dapur. Kudapati Bapak tengah meniup bara dengan seruas bambu. Asap membumbung melewati sela-sela tungku. Sepasang sepatuku berjajar di sisi tungku menyandar pada kayu bakar.
Tak sengaja tatapanku tertumbuk pada kerak nasi kehitaman dan kuah mie instan dalam periuk di sebelah kakinya.
"Sudah makannya?" tanya Bapak sambil membolak-balik posisi sepatu.
Cepat-cepat kutaruh mangkuk kotor ke dalam ember dan berlalu tanpa menghiraukan pertanyaannya. Sebongkah batu seakan menyumbat kerongkonganku.
Dari balik tirai pemisah dapur aku mengintip. Bapak tengah melahap kerak nasi bercampur kuah mie instan dengan suapan besar-besar. Pemandangan itu membuat dadaku bagai dihantam batu besar.
Bapak menyadari keberadaanku. Ia menoleh lewat bahu, "Lif, buruan belajar. Nanti Bapak temani."
"Ya, Pak," sahutku sengau menahan sebak.
Di kamar, kelopak mataku sudah tak sanggup menampung embun bening yang berdesakan keluar.
Kutelungkupkan wajah di meja berbantal kedua lengan. Bapak mendekat. Kurasakan remasan tangannya di pundakku, lalu beralih mengusap kepala.
"Ayo berjuang bersama. Tak boleh ada yang menyerah."
Demikian cara Bapak mengobarkan semangat. Agar aku-Nadim Alif, putranya-tak pupus harapan meraih cita. Semangat boleh redup tapi jangan pernah membiarkannya padam. Meskipun kemiskinan melingkupi kehidupan kami.
Dalam hati kurapal pinta, semoga suatu hari nanti aku bisa membahagiakannya.
Bapak.
Seluruh waktunya ia habiskan untuk bekerja dan mendidikku. Profesi guru honorer sekolah dasar tak mencukupi kebutuhan kami. Bapak harus banting tulang mengais rupiah. Tanpa meninggalkan kewajiban kepada Tuhannya.
Sementara aku tak pernah diperbolehkan untuk membantu. Tugasku hanyalah belajar dan menyelesaikan pendidikan dengan baik.
Semua perjuangan Bapak lakukan dalam diam. Tak banyak kata diucapkannya. Ia lebih banyak berbicara lewat usapan tangan, tatapan teduh, dan juga doa.
![](https://img.wattpad.com/cover/327985810-288-k718318.jpg)