Ibarat mata pisau yang menghujam berkali-kali. Mimpi buruk itu mungkin takkan benar-benar bisa dilupakan.
Barangkali ia pun tak tahu, jika bayangnya memeram hidupku selama bertahun-tahun.***
Tujuh tahun yang lalu ....
Agita, siswa kelas 12 di sekolah tempatku mengajar. Aku mengenalnya sebagai siswa dengan prestasi di atas rata-rata. Cukup menonjol di beberapa mata pelajaran. Bahasa dan Sastra salah-satunya, mata pelajaran yang kuampu selama mengajar di sana.
Hari itu hujan mengguyur sejak siang. Air seperti ditumpahkan ke bumi dengan dahsyatnya. Beberapa pekerjaan menahanku untuk pulang lebih lambat. Menyiapkan materi dan tugas siswa, demi menghadapi UAN tiga bulan mendatang.
Kuraih cangkir dan berdecak, mendapati sisa ampas kopi di dasarnya. Lalu beranjak mendekati dispenser, berniat menyeduh secangkir lagi.
Dari tempatku berdiri, sekelebat siswa perempuan berseragam putih kotak-kotak abu, melintasi selasar ruang guru.
Kulirik arloji, waktu menunjukkan pukul 15:55. Hampir dua jam melampaui bel pulang sekolah. Seingatku ekstra kurikuler sedang ditiadakan menjelang ujian. Sore-sore dengan kondisi hujan begini, kenapa masih ada siswa berkeliaran di sekolah?
Tepat pukul lima, hujan sedang deras-derasnya. Beruntung semua pekerjaan sudah terselesaikan. Kuperiksa ulang untuk memastikan. Meregangkan otot sejenak, memasukkan laptop, dan bersiap pulang.
***
Hujan kian menderas. Aku menyusuri bangunan sayap barat menuju parkiran. Memutari dua pertiga bagian gedung sekolah, untuk menghindari kuyup.
Kubenamkan dua belah tangan ke saku celana. Menghalau udara dingin, yang membawa percikan tampias. Sambil lalu kuamati sekitar. Di sana, di tepi ring lapangan basket, seorang siswa perempuan berdiri menunduk di bawah hujan. Rinai yang deras sedikit mengaburkan pandangan. Membuatku sulit mengenali siapa, dan dari kelas mana siswa tersebut.
Awalnya kupikir lebih baik mengabaikannya. Mungkin anak itu terlalu gabut di sela-sela menunggu jemputan. Namun, sisi hati mulai menerka-nerka. Orang tua mana yang membiarkan putrinya lambat pulang, hingga menjelang petang. Terlebih di kondisi cuaca hujan begini.
Mobil yang sedianya telah mencapai gerbang parkiran kembali kuhentikan. Aku tak tahan lagi untuk bersikap acuh tak acuh. Kujangkau payung yang tersimpan di jok belakang. Lalu secepatnya mengayun langkah menuju lapangan basket.
"Agita?" pekikku berlomba derasnya hujan.
Ia tengadah dan berbalik ketika naungan payung menghalau jarum-jarum langit menimpa kepalanya.
"Pak Ega ...." Agita menggumam namaku di sela gemeretak gigi dan bibir kebiruan.
"Kenapa hujan-hujanan?"
Ia hanya menggeleng.
"Belum dijemput?"
Agita menunduk tanpa menjawab pertanyaan.
"Pulang sekarang ... saya antar!"
Lagi-lagi ia hanya menggeleng.
"Pulang, Agita ... sebentar lagi ujian, jangan sampai kamu jatuh sakit setelah ini."
Akhirnya ia menurut. Kami beriringan di bawah naungan payung menuju tempat parkir.
***
Kuputuskan membawa Agita ke warung steak langganan. Setelah berulangkali menanyakan di mana tempat tinggalnya. Namun, tak jua kudapatkan jawaban.
"Pakai ini,"
Agita menerima hoodie yang kuulurkan. Sedikit membuatnya 'kelelep'. Lebih baik daripada membiarkannya dengan seragam lepeknya.